Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.
Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama. “Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu. “Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia. “Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya. “Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat. Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka. “Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?” “Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama. Galih mendesah. “Ya udah, jadi, kapan aku harus ketemu Elda anaknya tante Ranti itu?” “Gimana kalau besok malam? Di Cafe Djo. Kalian ngobrol santai aja. Kalau udah cocok baru ketemu sama keluarga besarnya,” kata mamanya. “Oke, Bu. Ibu bisa kirim kontaknya ke aku. Nanti aku hubungi dia. Ya, ya, boleh sekalian fotonya juga supaya aku nggak salah orang,” kata Galih. Sambungan telepon terputus. Ketukan di pintu membuat Galih harus kembali menahan tubuhnya yang lelah. Dia mengayun langkah gontai untuk membuka pintu. Wajah tampan anak lelakinya menyambut pandangannya. “Pa. Boleh aku masuk? Aku mau ngobrol,” katanya. “Okay. Tapi, Papa perlu mandi dulu. Papa capek banget hari ini. Boleh?” Jason menganggukkan kepalanya. Dia duduk di kursi empuk depan meja komputer papanya. Galih meraih handuk miliknya dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Di bawah guyuran air hangat yang membuat nyaman otot-otot tegang di seluruh tubuhnya, Galih kembali teringat dengan wajah tutor matematika Jason itu. Dari penolakan gadis itu, dia tak mengerti jika semua pesona yang ada pada dirinya bisa membuat perempuan tak nyaman bahkan menjauh. Dia bahkan tak terlihat seperti laki-laki di depan gadis itu. Usai membersihkan diri dan mengganti bajunya dengan kaus tanpa kerah dengan celana spandeks sepanjang lututnya, Galih duduk di sisi tempat tidur. Menunggu cerita Jason. “Oke, Boy. Ada cerita apa hari ini?” tanyanya. “Pa, aku mau nanya. Tapi, janji ya, Papa nggak akan marah?” Galih mengernyit, tetapi kemudian mengangguk. “Apa? Apa yang perlu Papa jelasin?” “Pa … apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa buat perempuan hamil?” Galih terbelalak. Dia mengorek telinganya dengan kelingking, memastikan jika pendengarannya tak bermasalah. “Papa nggak salah denger, kok. Aku tanya, apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa bikin mereka hamil?” Bukannya menjawab, Galih justru balik bertanya pada anak lelakinya itu. “Kamu denger dari mana, Boy? Siapa yang ngasih tau itu sama kamu? Om Evan, ya?” Jason menggeleng. “Aku denger dari cewek di kelas sebelah. Dia nyuruh aku jauh-jauh dari dia. Galak banget lagi!” Galih tertawa tetapi menyadari raut wajah anak lelakinya cemberut, dia menghentikan tawanya. “Itu nggak bener, Boy. Dengar, ya. Perempuan itu nggak akan hamil hanya karena pegangan tangan sama kamu, atau mandi di kolam renang yang sama dengan kamu. Semua itu nggak bener. Tapi … ada tapinya, ya. Kamu nggak boleh pegang tangan perempuan sembarangan kalau belum dewasa dan belum siap menikah.” “Jadi kalau udah dewasa dan udah siap menikah boleh ya, Pa?” Galih mengangguk pelan meski ragu. Dia khawatir tak bisa memberikan pemahaman pada Jason. “Aku ngerti sekarang, Pa. Terus Pa, kalau mantap-mantap itu apa, Pa?” Pertanyaan Jason membuat Galih menutup wajahnya. Jason yang sempat kebingungan dengan ayahnya itu bertanya apakah Galih baik-baik saja. “Papa cuma kaget sama pertanyaan kamu. Menurutmu, mantap-mantap itu apa, Boy?” “Ya … sesuatu yang menyenangkan. Kayak main game, pergi jalan-jalan sama Papa atau temen-temen, belajar sama Miss Dea juga.” Wajah dan telinga Galih memerah ketika Jason menyebut nama Dea. Otak lelakinya lantas membayangkan wajah gadis itu dalam dekapannya. “Oke. Kayaknya cukup. Kamu bener. Sekarang kamu udah ngerti, Boy. Ingat, kalau kamu suka sama cewek, bilang. Bukan malah mengganggunya atau bahkan ngajakin pacaran. Kamu belum dewasa. Ada masanya untuk ngajak cewek pacaran sampai menikah. Oke?” Jason mengangguk-angguk. “Thanks ya, Pa! Aku balik ke kamar kalau gitu. Semoga Papa bisa cepet dapet pacar dan menikah,” katanya sebelum berlalu. Galih terkekeh-kekeh mendengar kalimat Jason. Dia ingin menikah, tetapi tidak siap dengan proses panjang sebelum pernikahan. “Apa takdirku nggak bisa nemuin seseorang yang akan jadi pengganti Amel lagi?” Dia bertanya pada takdirnya sendiri. *** Usai pamit pada Jason, Galih melajukan mobilnya menuju Cafe Djo, tempat yang disepakati oleh mamanya dengan tante Ranti untuk bertemu dengan anak gadisnya. Galih memarkir mobil miliknya di luar area parkir Cafe, lalu berjalan menuju Cafe yang ramai dipenuhi pengunjung berusia dewasa muda itu. Galih menghubungi nomor kontak yang diberikan mamanya. Seorang gadis dengan kaus crop top lengan panjang dipadu celana jeans highwaist itu melambaikan tangan ke arahnya sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. Galih balas melambai, lalu memutuskansambungan telepon ke nomor gadis itu. Secangkir frappuccino dengan roti panggang dioles selai kacang di atasnya sudah tersedia di meja. Galih mengulurkan tangannya ke arah perempuan itu. “Galih,” katanya sebelum menarik kursi untuknya sendiri. Perempuan itu menjabat tangannya, “Elda. Kak Galih pasti sudah tau kalau aku anak tante Ranti, ‘kan?” kata perempuan itu, tanpa basa-basi. Galih melepaskan topi baseball miliknya di meja. “Ya, aku tahu. Itu alasan aku setuju ketemu di sini,” katanya. “Tapi maaf, Kak Galih. Jujur aja, ya. Aku kurang suka dengan cara berpakaian Kak Galih. Kaus oblong sama topi itu bukan tipe ideal aku banget untuk jadi suami. Ya meskipun Kak Galih ganteng dan tinggi kayak temen-temen bule aku, tapi kayaknya kita nggak usah lanjutin pertemuan ini, ya? Aku bakalan bilang sama mamaku. Jadi, Kak Galih nggak usah repot-repot lagi dateng ke rumah aku nanti.” Galih hanya mengulas senyum. “Kebetulan kalau gitu. Aku juga sama sekali nggak ada niat untuk melanjutkan perkenalan ini lebih jauh. Kalau begitu, silakan nikmati malammu. Aku permisi.” Galih berlalu dari meja cafe Djo tanpa memesan menu apapun selain kekesalan luar biasa. Dia sudah merendahkan diri dengan datang menemui gadis itu. “Emang bener, ya. Buah jauh nggak jauh dari pohonnya. Nggak anak, nggak ibunya. Sama-sama bikin kesal!” Galih mengarahkan tinjunya ke setir mobil. Di tengah emosinya yang tidak stabil, bukannya berbalik menuju rumah, Galih justru memutuskan untuk melajukan mobilnya ke sebuah pusat perbelanjaan. Galih turun dengan tergesa-gesa hingga tak sengaja menabrak kantong belanja seorang perempuan. Kantung berisi kebutuhan rumah tangga itu berserak di lantai. Galih buru-buru berjongkok untuk membantu perempuan itu. “Maaf, maaf. Saya nggak sengaja.” “Nggak ‘pa-pa kok, Mas. Saya yang nggak ngeliat tadi. Nggak ‘pa-pa.” Dari suara perempuan itu, Galih menduga jika dia berusia lebih muda darinya. “Sekali lagi maafin saya,” kata Galih lalu mengulurkan tangannya. Perempuan itu menyambut uluran tangannya lalu berlalu. Galih menatap punggung perempuan itu sesaat sebelum meneruskan langkahnya menuju salah satu toko yang menjual pakaian pria. Dia memang sengaja memakai pakaian yang nyaman untuk bertemu dengan Elda. Namun, melihat reaksi Elda yang langsung menolaknya, membuat Galih tak ingin lagi mencoba dekat dengan perempuan manapun yang direkomendasikan oleh ibunya. Tak peduli lulusan universitas luar negeri sekalipun. “Emang udah bener aku ngejar Miss Dea, bukan malah nerima tawaran ibu untuk kenalan sama cewek-cewek yang cuma bisa ngandelin nama orang tuanya!” tangan Galih mengepal. Dia kesal ketika teringat kejadian tempo hari di rumahnya, ketika Evan dengan terang-terangan mengaku jika dia ada hubungan istimewa dengan Dea. Ditambah lagi, fakta jika dia adik laki-lakinya yang sangat menyebalkan dan haus perhatian! “Cih! Bisa apa sih Evan? Menang muda doang!” Tak ingin menarik perhatian orang sekitar, Galih akhirnya memilih untuk menelan emosinya sendiri. Selesai membayar belanjaan di kasir, dia kembali menuju mobil. Bukannya memutar arah menuju rumah, Galih justru melajukan mobilnya menuju Hotel Bulan.Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi WhatsApp. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.
Galih membuka matanya ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dua kancing kemeja atasnya terbuka, dan perempuan yang menemaninya semalam meninggalkan kamar tidur yang berantakan.“Ah, syukurlah dia udah pulang. Aku nyenyak banget tidurnya.”Galih bermaksud untuk membersihkan diri sebelum kembali dengan rutinitas hariannya ketika nada pesan masuk terdengar dari ponselnya. Nama kontak Miss Dea tercantum di pesan dorong yang tertampil di layar ponselnya.‘Maaf, Pak Galih. Evan jemput saya di rumah. Pak Galih bisa fokus ke pekerjaan Bapak dan saya akan mengajar Jason seperti biasa.’ Isi pesan dari gadis yang menarik perhatiannya itu membuat perasaan Galih sedih sekaligus kesal.“Di antara sekian banyak laki-laki, kenapa harus adek sendiri, sih?” Dia mengacak tatanan rambutnya yang mulai memanjang.“Harusnya Evan cari cewek lain. Kenapa harus Miss Dea yang lebih dewasa secara umur dari dia? Miss Dea itu tipe ideal banget,
Dea mengulas senyum lalu mengatupkan bibirnya. Melihat hal itu, Winda justru menggenggam tangan gadis itu. “Nggak usah terlalu buru-buru. Pelan-pelan aja nggak apa-apa. Nak Dea bisa kenalan lebih dekat sama Galih,” kata Winda. “Nek,” Jason duduk di sisi wanita itu. Winda mengusap rambut Jason dengan lembut. “Dokter bilang Papa kelelahan dan stres. Apa mungkin karena kerjaan Papa banyak, Nek?” bocah kecil itu bertanya pada Winda. “Papamu terlalu banyak menanggung beban. Kasihan dia. Mungkin ini saatnya papamu mencari istri, Jason. Kalau Jason mau punya mama baru?” Kalimat Winda membuat tangan gadis di sisinya terasa dingin. “Kalau aku terserah Papa, Nek. Pokoknya aku mau yang baik dan cantik, kayak Miss Dea,” Jason menunjuk gadis itu. Winda kembali menggenggam tangan Dea yang terasa dingin. “Gimana, Nak Dea? Jason sudah setuju. Sekarang tinggal kamunya.” “Saya …” Tak lama berselang, lelaki dengan jas dokter itu berada di antara mereka. “Saya sudah kasih Galih obat, Tante
Galih membuka pintu rumahnya begitu bel ditekan dua kali. Buket bunga mawar berwarna merah dengan baby breath itu berpindah ke tangan gadis di depannya.“Makasih banyak, Pak Galih. Ya ampun, saya jadi nggak nyaman,” kata gadis itu.Galih menghiraukan tatapan tajam dari lelaki tampan yang berdiri di sisi gadis itu —adik kandungnya sendiri. Dia mempersilakan keduanya masuk.Di meja makan, aneka hidangan yang memanjakan mata dan aroma harum menguar, membuat tak sabar untuk segera mencicipi kelezatan hidangan itu. Galih menarik kursi untuk gadis itu, mempersilakan gadis itu untuk duduk.“Terima kasih, Pak Galih sudah repot-repot,” kata gadis itu.“Saya senang sekali, Miss Dea,” katanya.Galih duduk di hadapan gadis itu. Sedangkan Evan memilih menarik kursi di samping gadis itu. Ketiganya berada dalam suasana tak nyaman.Galih menatap Dea bergantian dengan wajah menyebalkan Evan. Di hadapann
Evan menatap kakak lelakinya tanpa berkedip. Kaus tanpa kerah dengan celana panjang jersey itu membuat penampilan lelaki itu berbeda. Galih yang selama ini perfeksionis, dewasa dan berwibawa mendadak berubah menjadi Jamal yang terlihat sangat ‘biasa saja’ dalam pandangan Evan.“Mas Galih nggak salah pake baju kayak gini buat nyari cewek?” tanya Evan.Galih mengerutkan kening sebelum berkata sarkas. “Kamu nggak ngerasain gimana susahnya aku karena menjadi Galih selama ini. Jadi nggak usah sok peduli. Kamu sekarang jadi Bos aku. Panggil aku Jamal, bukan Galih!”Evan berusaha kembali memberinya nasehat. “Oke, oke. Tapi maksudnya, Mas Galih yakin ini bakalan berhasil? Gimana kalau misalnya cewek itu justru sakit hati karena kebohongan Mas Galih?”“Itu urusan belakangan. Pokoknya aku cari calon istri yang baik dan tulus tanpa memandang siapa aku,” Galih menyahut sambil mulai memotong kertas dengan pisau pemotong di meja besar.
Galih menatap undangan di tangannya. Undangan itu diantar oleh ibunya sendiri, sepulang dia bekerja di Percetakan Gemilang yang dikelola Evan. Foto gadis yang dikenalnya itu terlihat cantik dalam balutan busana pengantin. Sang pria yang menjadi pasangannya tampak lebih tampan mengenakan jas berwarna hitam. Pria itu, tak lain adalah adik kandungnya sendiri.“Aku harus dateng sama siapa? Masak sama Jason?” keluhan keluar dari bibirnya.Dia kemudian berpikir untuk mengajak gadis itu. Gadis yang baru dikenalnya satu pekan lalu. “Aster, ya? Apa dia mau? Tapi, kalau nggak dicoba, nggak akan pernah tahu hasilnya ‘kan?”Galih sudah memutuskan. Dia akan mendekati gadis itu tanpa menunggu lebih lama. Dia ingin segera membawa gadis itu dalam pelukannya. Namun, bagaimana caranya agar gadis itu tidak mengetahui identitas dirinya yang sesungguhnya?“Kayaknya aku emang harus ngomongin ini sama Evan kalau nggak mau dia ngerusak rencana aku. Da
Jam di ponselnya menunjuk pukul enam tepat, ketika mahasiswa-mahasiswi yang selesai kuliah sore di area Kampus Metropolitan mulai meninggalkan Kampus. Galih pamit pada Iwan untuk pulang lebih dulu. Dia menyandang tas pinggangnya di punggung. Dengan postur tegap itu, dia berjalan menyusur sepanjang jalan menuju Halte terdekat.“Kang Jamal …!” seru suara perempuan. Galih menghentikan langkahnya sejenak sebelum menoleh. Gadis yang mengikat rambut panjangnya mirip ekor kuda itu melambai ke arahnya.Dia bukan laki-laki yang membuat perempuan repot, sehingga Galih berbalik arah untuk menuju gadis itu.“Ih padahal ‘kan nggak apa-apa Kang Jamal nunggu di sana aja,” kata gadis itu.“Saya nggak mau bikin kamu capek, Neng Geulis.”Ada senyum di wajah gadis itu. “Kang Jamal umurnya berapa sih? Hobinya apa?”Pertanyaan dari gadis itu membuat Galih sedikit terkejut. Namun, dia segera mengatur ekspresi wajahnya.
Ketika azan dzuhur berkumandang, Iwan pamit lebih dulu pada Galih untuk menunaikan sholat. Galih dengan sigap menggantikan pekerjaan Iwan untuk meneruskan memotong tumpukan kertas yang tebalnya empat sentimeter itu.Buku berjilid hard cover dengan tulisan Skripsi yang diketik dalam huruf kapital Times New Roman itu menarik perhatian Galih. Dia mengenang saat menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi.“Jadi inget perjuangan masa lalu,” gumamnya.Dia juga membantu menutup pintu geser Percetakan Gemilang, mengganti papan pengumuman dari Buka menjadi Istirahat. Iwan dengan rambut basah muncul dari pintu belakang.“Mau makan siang, Bos? Makasih ya udah bantuin kerjaan aku,” kata Iwan.Galih hanya menepuk bahu Iwan. Lelaki itu lalu meninggalkan Percetakan Gemilang menuju rumah makan di depan ruko mereka. Sebuah janji harus ditepatinya.Gadis yang menutupi wajahnya dengan poni depan lurus itu melambai ke ara
Beberapa lembar dokumen di dalam map berwarna merah itu berada di tangan Galih. Dia membolak-balikkan kertas berisi kontak dengan foto gadis itu. Sambil menatap foto itu dan mengusap dengan jarinya, Galih menyeringai.“Pada akhirnya kita memang ditakdirkan berjalan di jalan yang sama, sayang. Dan ini bikin aku gila,” katanya.Pintu ruangan auditorium itu dibuka. Sandra melangkah lebih dekat ke meja Galih.“Semuanya sudah siap, Pak. Pak Galih ingin melihat proses wawancaranya?” tanya Sandra.Galih mengangguk. Sambil menyilangkan kakinya, dia memutar-mutar stylus pen di tangannya.“Ya. Karena saya ingin tahu sampai mana kemampuan mereka. Kalau ada yang bagus, saya bisa langsung rekrut jadi sekretaris saya untuk menggantikan Tasya,” katanya.Sandra mengangguk. Dia memanggil per kelompok yang terdiri dari lima orang pelamar kerja di perusahaan mereka.Rein dan Salma duduk di sisi Sandra. Mereka mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan posisi pekerjaan para pelamar. G
Sebuah pengumuman lowongan pekerjaan yang diposting di sebuah sosial media berita daring itu membuat Aster tertarik. Dia buru-buru mengubah posisinya yang semula berbaring di atas kasur menjadi duduk.“Bagus banget nih! Cuma butuh pengalaman kerja aja. Ditambah lagi, nggak ada persyaratan usia sama pendidikan minimal. Coba daftar, deh! Daripada nganggur ‘kan? Kali aja bisa lebih cepet move on dari Mas Duda!”Aster membuka laptop miliknya, merangkai kalimat demi kalimat untuk melamar pekerjaan itu. Dia lalu mengarahkan ponselnya untuk membuat foto selfie dirinya, dan mengeditnya dengan aplikasi di ponselnya. Setelah semua persyaratan cukup, Aster lalu mengunggah semua dokumen persyaratan dan surat lamaran kerja itu dalam satu lampiran di e-mail.“Mari kita coba keberuntungan lainnya,” katanya sebelum menekan tombol enter untuk mengirim e-mail itu ke perusahaan yang ditujunya.Sementara itu, Galih sedang memilih beberapa lembar dumi logo perusahaan yang baru didesain ulang oleh tim krea
Galih tak menjawab pertanyaan Aster. Dia menyerahkan tas jinjing yang dibawanya untuk Aster.“Buat kamu, Neng. Aku pulang dulu,” katanya lalu kembali mengayun langkah ke mobil.Tak lama kemudian, lelaki tampan itu menancap gas mobilnya. Berlalu dari rumah itu.“Kenapa sih? Apa maksudnya?” Aster yang masih kebingungan hanya bergeming. Lelaki di sampingnya mengerti situasi itu.“Kayaknya dia cemburu sama aku, Kak,” kata lelaki itu.Aster tertawa pelan. “Whaaat? Cemburu?”‘Aku bahkan udah pernah bilang putus sama dia,’ batin Aster.Lelaki itu mengangguk. “Aku cowok lho Kak, ngerti perasaan sesama cowok,” katanya.“Ya. Tapi, hey … cemburu sama kamu? Astaga!” Aster menepuk keningnya sendiri. Lelaki itu tertawa. “Kakak harus peka sama perasaan cowok. Meskipun nggak ada hubungan apa-apa, cowok bakalan cemburu kalau ceweknya sama cowok lain. Apalagi sampe nganterin ke rumah.”“Berarti salah kamu! Kamu yang maksa buat nganterin aku!” kata Aster.Gadis itu menunjuk lelaki muda di sampingnya. D
Aster menyerahkan surat pengunduran diri pada lelaki yang menjadi atasannya selama ini. Dia memberi hormat pada lelaki itu sebelum melangkah ke luar ruangan itu.Di ruang arsip, dia menemui Darren untuk pamit sebagai sesama rekan kerja. “Makasih banyak Ren, kamu udah bantuin aku selama ini.” katanya.Lelaki itu merentangkan tangannya untuk memberi pelukan semangat pada Aster. “Baik-baik, ya. Kamu juga bisa ngabarin aku lewat sosmed atau ngirim undangan pernikahan misalnya.”Aster tertawa. “Iya, nanti kalau aku nikah aku undang kamu,” katanya.“Beneran udah mau nyebar undangan?”Aster menggeleng. “Belum. Aku juga nggak tahu gimana ke depannya, tapi aku bakalan istirahat dulu sebelum nyari kerjaan baru.”Rekan kerja Aster itu mengangguk-angguk. Dia melambaikan tangan ketika Aster berlalu dari ruangan itu.Aster menyusuri jalanan tanpa tujuan. Dia melewati area Kampus dengan suasana hiruk-pikuk itu. Kakinya terus berjalan menyusuri jalanan di sepanjang komplek pendidikan itu. Tiba di per
Tanpa memberi kabar apapun, Galih mendatangi rumah petak yang ditempati Aster. Gadis itu terbelalak ketika membukakan pintu untuknya.“Kang Jamal,” gadis itu ingin memeluk laki-laki di hadapannya. Namun, dia tak ingin terlalu mengumbar perasaannya.“Boleh aku masuk, Neng?” tanya Galih.Aster menganggukkan kepala sebagai jawaban. Semburat jingga di langit menjadi saksi bisu perasaan kedua orang yang saling memendam perasaan masing-masing.Galih duduk berhadapan dengan gadis itu. Gadis yang wajahnya masih menghiasi mimpi-mimpi malamnya.“Maaf, saya bikinin kopi dulu, Kang. Tunggu sebentar!” kata Aster, lalu meninggalkan Galih di ruang depan.Galih menggosokkan kedua telapak tangannya. Dia tak tahu harus memulai obrolan mereka dari mana.Aster kembali beberapa menit kemudian, meletakkan cangkir kopi dengan uap mengepul di udara. Galih mengangguk, lalu membuka kancing lengan kemejanya.“Diminum, Kang,” katanya.“Makasih, Neng,” Galih meraih cangkir kopi itu, menyesapnya sedikit sebelum me
Aster masih terdiam di posisi sama, sambil menyembunyikan wajah di balik lututnya, dia berkali-kali mencoba untuk tak terpaku pada masa lalu yang melenakan bersama Jamal. Karena sebenarnya yang ada bersamanya bukanlah Jamal, melainkan Galih.Dan Galih sama sekali bukan Jamal. Dari cara berpakaian, berbicara, sampai pekerjaan mereka.“Apa bener aku suka Jamal apa adanya? Kalau gitu kenapa nggak minta dia jadi Jamal aja kalau sama aku? Atau, sebenernya cuma ego aku yang terluka karena ngerasa nggak dianggap sama sekali sama dia?”Aster mengacak sisiran rambutnya. Beberapa kali dia bahkan mengumpat diri sendiri.Tangan gadis itu lalu meraih ponselnya, membuka pesan suara yang dikirimkan oleh kontak yang masih belum berganti nama itu.“Aku sakit Neng, bisa video call nggak? Biar aku bisa ngobatin kangen ini.”Gadis itu tak membalasnya. Dia terlalu enggan untuk membalasnya karena itu sama saja dengan membuatnya terlihat remeh di depan lelaki itu. Dan dia sama sekali tidak ingin lelaki itu
“Aku sakit, Neng. Kita bisa video call, nggak? Aku kangen kamu.”Galih mengirimkan kalimat itu melalui pesan suara ke nomor kontak Aster yang masih disimpannya dengan nama Pacar. Jason yang sedang berada di sisi tempat tidur lelaki itu hanya bisa menertawakan tingkah konyol papanya itu.“Ternyata Papa punya kebiasaan unik, ya? Kalau habis putus pasti demam,” kata Jason sambil tertawa.Galih dengan cepat menyanggah, “Papa demam karena kecapekan bukan karena putus.”“Tapi waktu ngedeketin Mama Dea dulu juga gitu ‘kan? Papa sampe sakit waktu itu.” Jason tak mau mengalah dengan argumennya.“Udah dibilangin bukan karena itu, tapi karena Papa kurang istirahat. Jadwal Papa padet banget soalnya,” keluhan kembali keluar dari bibir Galih.Jason kembali mengarahkan termometer infra merah ke kening Galih. Angka 38,7 derajat Celcius dengan lampu indikator merah membuat Jason berdecak.“Demamnya masih belum turun juga. Aku telponin Mama Dea biar sekalian bawa dokter ke sini ya, Pa.”“Eh, jangan! Bu
Galih menyandang tas pinggang ke bahunya. Dia mengenakan kaus berkerah dengan celana spandeks dengan sepatu sport yang nyaman. Dia berharap bisa menyelesaikan masalah dengan Aster sekaligus bertemu kembali dengan Iwan dan juga rekan kerja lainnya di Percetakan Gemilang.Galih memutuskan untuk mengendarai Audi merah miliknya karena dia tak lagi harus berperan sebagai Jamal meskipun dia tak keberatan dengan hal itu. Namun, demi menunjang pekerjaannya, dia harus menjadi seorang Galih. Bukan Jamal.Semalam Galih mengirimkan pesan ke nomor Aster, yang berakhir tanpa jawaban dari gadis itu. Hal itu membuatnya ingin mencari jawaban.‘Apa mungkin hubungan kami selesai tanpa penjelasan gitu aja? Gimana dengan rencana kami selama ini? Gimana sama Jason kalau kali ini juga aku harus putus sama perempuan baru yang udah deket sama dia?’ Pertanyaan-pertanyaan itu ada di benak Galih.‘Di saat aku udah bahagia karena dia tahu siapa aku sebenernya dan pekerjaanku, malah masalahnya langsung kayak gini.
Galih tercenung menatap ponselnya setelah mendengar kalimat kekasihnya itu melalui telepon. Gadis itu bahkan memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Namun, panggilan dari Tasya membuatnya tak bisa menghubungi kembali gadis itu melalui panggilan telepon. Dia kembali menyimpan ponselnya.“Ini Bos, storyboard yang dibikin sama Rein dan Sheela,” kata gadis berambut cokelat yang menjadi sekretaris pribadinya itu lalu menyerahkan tablet berisi rancangan cerita untuk video iklan mereka.Galih meraih tablet yang disodorkan Tasya itu, melihatnya sekilas. “Bagian ini gimana kalau ditambah efek dramatis kayak adegan terbang di film Harry Potter itu? Kayaknya bagus dan lebih relate kayaknya sama audiens yang jadi target pasar.”“Oke, kasih aja catatan di situ, Bos. Tim wardrobe lagi bikin kostum yang sesuai, ala peri tapi versi idol gitu ceritanya.”“Bagus. Sekarang idol lagi disenengin sama semua kalangan. Jadi, visual harus diutamakan di sini. Kalau audio, udah oke?”“Udah, Bos. Rein sama