Perlahan, Raihan melonggarkan pelukannya pada pinggang kecil Rania. Tangan kanannya menyentuh tengkuk leher si manis dan ditarik pelan ke dekat wajahnya.
Reflek kaki Rania sedikit berjinjit untuk menyesuaikan posisi.Raihan mendaratkan bibir merahnya pada bibir mungil dan basah milik Rania. Perlahan, kembali Raihan menarik pinggang Rania agar tubuh wanita itu semakin menempel pada tubuh miliknya.Raihan melumati bibir Rania dengan lembut, menumpahkan segala isi hatinya yang sudah ia tahan selama empat tahun ini. Tentu saja, Rania membalasnya karena Rania juga merindukan sosok tersayangnya.Mereka terus terlelap dalam pagutan ciuman romantis musim dingin. Tidak terlalu dingin untuk mereka yang saling menghangatkan. Yang kedinginan hanya penulis cerita dan pembaca, mungkin.Kegiatan mereka cukup intensif atau bahkan tangan Raihan hampir masuk ke dalam baju Rania. Karena perasaan yang saling menggelegarlah mereka hampir nekat melakukan y"Vano lain kali jalannya harus hati-hati ya, dahimu merah sekali, Nak," ucap Rania yang sedang memangku Vano di atas sofa. Dibawah sana, Raihan yang mengusap tangan Vano dengan khawatir. Raut wajahnya gelisah saat memperhatikan rona kemerahan di dahi Vano yang disertai sedikit benjolan. "Padahal kemarin sudah janji untuk berhati-hati," timpal Raihan menambahi. Kini, laki-laki itu mengolesi salep ke dahi Vano dengan gerakan pelan dan bergetar. Rania yang memperhatikannya, tersenyum getir. Segitu tremornya Raihan menghadapi Vano yang terluka. "Ano mau yobot gudamna, makanya layi, Paman ...," balas Vano sambil membuka kotak robotnya. Dia mengeluarkan robot gundamnya dengan senyuman lebar yang cerah. Sungguh, anak itu bahagia dengan mainan barunya tersebut. "Oh, iya. Buna ingin bilang sesuatu pada Vano. Vano harus mendengarkannya, ya," kilah Rania sambil menurunkan Vano dari pangkuannya. Ikut berjongkok di samping Raihan, membiarkan si putra bungs
"Benar, asal Ano tidak marah lagi pada Handa dan mau menjadi anak Handa." Raihan menyentuh punggul kecil Vano dan diusap pelan sekali. Memberikan ketenangan pada si kecil yang akhir-akhir ini kelihatan sedang tidak sehat. Vano bergerak memeluk leher Raihan dengan erat. "Yumah angkasa utuk Ano kan, Handa? Handa akan membeyikan utuk Ano?" tanyanya sekali lagi untuk meyakinkan ucapan handanya. Raihan menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Akan Handa belikan untuk Vano. Sekarang Vano menjadi anak Handa, kan?" Matanya kian memerah menunggu jawaban Vano. Vano kecil tersenyum menampilkan deretan giginya yang lucu pada Raihan. "Baikyah, Ano uga anak Handa belalti." Raihan tersenyum lebar dan memeluk putra kandungnya erat-erat. Gemuruh euphoria dan ikatan batin sangat terasa saat tubuh mungil Vano berdempetan dengan tubuh Raihan. Malam ini, sungguh malam yang paling bahagia bagi Raihan dan akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya.
Rania berjalan ke arah kamar David dan meninggalkan Jihan yang duduk di atas sofa. Wanita itu perlahan masuk tanpa menimbulkan suara pijakan kaki agar tidak mengganggu anaknya yang masih tertidur lelap. Dia tersenyum tipis saat putranya berada di dalam dekapan ayahnya. Pemandangan dan momen yang manis untuk diperhatikan. "Mas ... Mas ... bangunlah," bisik Rania di telinga Raihan. Tangannya menyentuh bahu Raihan dan digerak-gerakkan. Raihan hanya menggeliat sedikit dan enggan untuk membuka matanya. Langkah selanjutnya, Rania menepuk pelan dada Raihan. "Mas ... Mas Raihan, bangunlah," bisiknya lagi hingga Raihan membuka kedua matanya. Laki-laki itu membawa tubuhnya untuk bangun dan duduk di pinggiran ranjang. Tanpa sadar, Raihan telah menarik pinggang Rania untuk didudukkan di pangkuannya. Rania dengan cepat menghindar, sudah cukup kemarin melepas rindu. Sekarang, Rania harus tahu posisinya. Dia hanya seorang Buna Vano, bukan wanita milik Raihan Atmadja.
Cup! Raihan memberikan ciuman lembut di bibir Jihan. Dengan senang hati, Jihan menerima dan membalasnya kembali. Mereka saling bertukar kehangatan dengan euphoria yang menyelimuti hati. Semakin lama semakin dalam, Raihan menuntun Jihan sampai ke atas kasur. Lembut dan sayang, dirinya membaringkan wanitanya dengan telaten dan tidak akan mengasari sedikit pun. Raihan mulai membuka bajunya sendiri dan membantu melepaskan baju Jihan secara perlahan. Bibirnya terus mendarat pada bibir Jihan dengan sangat erotis. Jihan juga tidak tinggal diam, tangannya bermain di dada calon suaminya dan mengelusi perut berotot lelaki itu. Benar, pagi itu hanya ada kehangatan yang membara dalam ranjang berukuran besar tersebut. Bibir Raihan berpindah ke dada Jihan dan membuat tanda kemerahan disana. Dia membuat tanda bahwa Jihan adalah miliknya, wanita yang akan menjadi istrinya kelak dan akan diperlakukan layaknya seorang ratu yang berkuasa di istana mereka nanti.
Pagi itu, Rania bersama Renan membawa Vano ke rumah sakit karena kondisi Vano yang tiba-tiba drop dan wajahnya yang juga pucat. "Nomor antrian lima, sekarang sudah antrian ketiga. Sebentar lagi, giliran Ano," ucap Renan yang sedang memasukkan mainan pesawat milik Vano ke dalam tas slempang Rania. Wanita itu tengah memangku anaknya yang sejak tadi pagi mulai merasa lemas. Mobil tayo di tangan kirinya juga ikut loyo karena tidak dimainkan. Sebenarnya, ingin membawa robot gundam, tapi tidak jadi karena Rania melarangnya. "Kau duduklah, Ren, kau dari tadi terlihat grasak-grusuk," kilah Rania sambil menarik lengan Renan untuk duduk di sebelahnya. "Ah, iya," jawab Renan sambil mengambil posisi duduk di sebelah Rania. Laki-laki itu bahkan menyandangkan tas slempang Rania ke lehernya. Hati Rania bergetar, Renan memang sangat perhatian padanya. "Ren …," panggil Rania dengan nada suara yang bergetar di akhir perkataan. "Iya?" jawab R
Setelah perdebatan berakhir, Raihan membawa Vano untuk menaiki mobil putar yang ada di mall seperti kemauan anaknya, laki-laki ini tentu mengajak Jihan untuk menemani. Setelah selesai puas bermain sebentar, mereka pulang menuju kediaman Atmadja. Hani sangat menyukai ketika Vano mengunjungi dan menginap di rumahnya. Kesempatan, satu kata yang memberuntungkan Renan malam ini. Dia mengajak Rania kencan. Hah? Kencan? Bagi Renan seperti kencan, entah kalau Rania menganggapnya apa. "Aku ingin naik bianglala, tapi aku takut …," ucap Rania sambil memakan kembang gulanya dengan lahap. "Aku juga ingin naik itu, apalagi kalau listriknya mati dan kita berada di puncak paling atas, aku suka," ulas Renan, matanya berbinar menatap puncak bianglala yang terang karena dipenuhi lampu-lampu cantik. "Apanya yang disukai? Bukannya mengerikan berada di puncak paling atas?" "Aku suka. Dengan itu aku bisa mencium Rania di atas sana. Rania kan penakut, mau t
"Handa Enannn," sapa Vano dari meja makan pagi ini, di kediaman keluarga Atmadja. Raihan yang berada di samping anaknya reflek menoleh ke arah Renan yang berjalan ke arah meja makan dan mengambil posisi duduk tepat berseberangan dengan Raihan. "Hey, sayang," balas Renan dengan melebarkan senyumannya. Wajah Vano terlihat lebih fresh dibandingkan dengan terakhir kali bertemu. "Ren, pinggangmu kenapa? Kau berjalan juga rada aneh," tegur Hani yang melihat jalan Renan sedikit miring kesakitan. Bahkan, Hani sempat ikutan meringis ngilu. "Hampir encok Bu, ada kesalahan teknis." Renan menjawab pertanyaan ibunya dan mengambil piring untuk wadah nasi kuning sebagai sarapan. "Kau salah tidur, Nak?" "Tidak, Bu," jawab Renan. Akibat berciuman dengan Rania di komedi putar itu, pinggang Renan sedikit encok karena posisi yang tidak enak. Tidak mungkin memberi jawaban jujur pada sang ibu, bisa terjadi perang dunia ketiga dengan Ra
"Biarkan saja, nanti giliran kita lagi yang menjenguk anak kita ya, Buna," kilah Renan sambil mengusap surai kehitaman milik Rania. Dia sangat menyayangi Rania dengan tulus dan selalu ikut merasakan sakit jika Rania juga sakit. Perkataan Renan barusan membuat keduanya kembali ke ingatan semalam, saat mereka berciuman di komedi putar. Mereka sama-sama melepaskan pelukan masing-masing dan menatap canggung. Bayang-bayang bibir yang menyatu kembali membuat jantung mereka merekah dan penuh detakan yang tidak teratur. "Leher-""Pinggang-" Ucapan mereka bersamaan dan sama-sama tercekat dalam tatapan yang malu-malu. "Kau-" "Kau-" Lagi, mereka mengucapkan bersamaan, sungguh sangat manis interaksi keduanya. "Ran-" "Ren-" Mereka kenapa, sih? Jodoh, nih? Hehe. Mereka saling menatap dalam keterdiaman. Pikiran mereka sama-sama bercabang dan menduga-menduga. Satu … dua … tiga …. "