Cup!
Raihan memberikan ciuman lembut di bibir Jihan. Dengan senang hati, Jihan menerima dan membalasnya kembali. Mereka saling bertukar kehangatan dengan euphoria yang menyelimuti hati. Semakin lama semakin dalam, Raihan menuntun Jihan sampai ke atas kasur. Lembut dan sayang, dirinya membaringkan wanitanya dengan telaten dan tidak akan mengasari sedikit pun.Raihan mulai membuka bajunya sendiri dan membantu melepaskan baju Jihan secara perlahan. Bibirnya terus mendarat pada bibir Jihan dengan sangat erotis.Jihan juga tidak tinggal diam, tangannya bermain di dada calon suaminya dan mengelusi perut berotot lelaki itu. Benar, pagi itu hanya ada kehangatan yang membara dalam ranjang berukuran besar tersebut.Bibir Raihan berpindah ke dada Jihan dan membuat tanda kemerahan disana. Dia membuat tanda bahwa Jihan adalah miliknya, wanita yang akan menjadi istrinya kelak dan akan diperlakukan layaknya seorang ratu yang berkuasa di istana mereka nanti.Pagi itu, Rania bersama Renan membawa Vano ke rumah sakit karena kondisi Vano yang tiba-tiba drop dan wajahnya yang juga pucat. "Nomor antrian lima, sekarang sudah antrian ketiga. Sebentar lagi, giliran Ano," ucap Renan yang sedang memasukkan mainan pesawat milik Vano ke dalam tas slempang Rania. Wanita itu tengah memangku anaknya yang sejak tadi pagi mulai merasa lemas. Mobil tayo di tangan kirinya juga ikut loyo karena tidak dimainkan. Sebenarnya, ingin membawa robot gundam, tapi tidak jadi karena Rania melarangnya. "Kau duduklah, Ren, kau dari tadi terlihat grasak-grusuk," kilah Rania sambil menarik lengan Renan untuk duduk di sebelahnya. "Ah, iya," jawab Renan sambil mengambil posisi duduk di sebelah Rania. Laki-laki itu bahkan menyandangkan tas slempang Rania ke lehernya. Hati Rania bergetar, Renan memang sangat perhatian padanya. "Ren …," panggil Rania dengan nada suara yang bergetar di akhir perkataan. "Iya?" jawab R
Setelah perdebatan berakhir, Raihan membawa Vano untuk menaiki mobil putar yang ada di mall seperti kemauan anaknya, laki-laki ini tentu mengajak Jihan untuk menemani. Setelah selesai puas bermain sebentar, mereka pulang menuju kediaman Atmadja. Hani sangat menyukai ketika Vano mengunjungi dan menginap di rumahnya. Kesempatan, satu kata yang memberuntungkan Renan malam ini. Dia mengajak Rania kencan. Hah? Kencan? Bagi Renan seperti kencan, entah kalau Rania menganggapnya apa. "Aku ingin naik bianglala, tapi aku takut …," ucap Rania sambil memakan kembang gulanya dengan lahap. "Aku juga ingin naik itu, apalagi kalau listriknya mati dan kita berada di puncak paling atas, aku suka," ulas Renan, matanya berbinar menatap puncak bianglala yang terang karena dipenuhi lampu-lampu cantik. "Apanya yang disukai? Bukannya mengerikan berada di puncak paling atas?" "Aku suka. Dengan itu aku bisa mencium Rania di atas sana. Rania kan penakut, mau t
"Handa Enannn," sapa Vano dari meja makan pagi ini, di kediaman keluarga Atmadja. Raihan yang berada di samping anaknya reflek menoleh ke arah Renan yang berjalan ke arah meja makan dan mengambil posisi duduk tepat berseberangan dengan Raihan. "Hey, sayang," balas Renan dengan melebarkan senyumannya. Wajah Vano terlihat lebih fresh dibandingkan dengan terakhir kali bertemu. "Ren, pinggangmu kenapa? Kau berjalan juga rada aneh," tegur Hani yang melihat jalan Renan sedikit miring kesakitan. Bahkan, Hani sempat ikutan meringis ngilu. "Hampir encok Bu, ada kesalahan teknis." Renan menjawab pertanyaan ibunya dan mengambil piring untuk wadah nasi kuning sebagai sarapan. "Kau salah tidur, Nak?" "Tidak, Bu," jawab Renan. Akibat berciuman dengan Rania di komedi putar itu, pinggang Renan sedikit encok karena posisi yang tidak enak. Tidak mungkin memberi jawaban jujur pada sang ibu, bisa terjadi perang dunia ketiga dengan Ra
"Biarkan saja, nanti giliran kita lagi yang menjenguk anak kita ya, Buna," kilah Renan sambil mengusap surai kehitaman milik Rania. Dia sangat menyayangi Rania dengan tulus dan selalu ikut merasakan sakit jika Rania juga sakit. Perkataan Renan barusan membuat keduanya kembali ke ingatan semalam, saat mereka berciuman di komedi putar. Mereka sama-sama melepaskan pelukan masing-masing dan menatap canggung. Bayang-bayang bibir yang menyatu kembali membuat jantung mereka merekah dan penuh detakan yang tidak teratur. "Leher-""Pinggang-" Ucapan mereka bersamaan dan sama-sama tercekat dalam tatapan yang malu-malu. "Kau-" "Kau-" Lagi, mereka mengucapkan bersamaan, sungguh sangat manis interaksi keduanya. "Ran-" "Ren-" Mereka kenapa, sih? Jodoh, nih? Hehe. Mereka saling menatap dalam keterdiaman. Pikiran mereka sama-sama bercabang dan menduga-menduga. Satu … dua … tiga …. "
"Kepalanya, pusing ya, Sayang?" tanya Rania sambil mengelusi kepala Vano dengan hati-hati. Ada rasa gundah mengelabui hatinya saat melihat Vano dengan wajah pucatnya. "Yobot gudam Ano mana, Buna?" "Nanti, Buna ambilkan di rumah, ya. Sekarang, sebut ke Buna mana yang sakit." Vano melirik ke Jihan dan Raihan yang ada di sofa ruangan Vano di rawat. Mereka berdua sedang memperhatikan Vano, Rania dan Renan yang sedang berbincang. "Ada, apa?" tanya Renan yang langsung memajukan kepalanya ke dekat wajah Vano. "Buna ... Handaaa .... Ano ingin berbicik, cini Ano mau biyang tetuatu," titah sang anak agar buna dan handa Enannya mendekat padanya. Rania dan Renan mendekat pada Vano untuk mendengarkan bisikan anak laki-laki itu. Melihatnya, membuat Raihan semakin jengkel. Harusnya, bukan Renan disitu tapi dirinya. Kan Vano buah hatinya bersama Rania, Renan tidak berhak mendahului Raihan. "A-ano mau beyi popoki yang mayam-mayam
"Buna, B-buna mana?" rengek Vano saat bunanya tidak ada disana. Tubuhnya sedang diperiksa dokter Shin sekarang. "Buna sedang mengambil robot gundam, ada Handa disini, jangan menangis, ya," ucap Raihan menenangkan Vano yang mencari kehadiran bunanya. "Ano katanya anak hebat, bunamu hanya pulang sebentar, kan diperiksanya juga sama Aunty, kan?" ucap dokter Shin yang sudah hafal betul pasien kesayangannya. Vano kecil yang menggemaskan tidak akan pernah lupa pada aunty Shin yang suka memberikan permen berbentuk kepala beruang untuknya. "Sepertinya, Dokter tahu betul tentang kesehatan putraku selama ini," ujar Raihan yang berada di seberang dokter Shin berdiri. Lebih tepatnya, di sisi lain ranjang Vano. "Benar, dia seperti putraku. Aku hampir kehilangan pangeran Rania saat operasi transplantasi jantung itu berlangsung. Nasib baik Tuhan memberikan kesempatan untuk Vano saat itu," balas Shin yang mungkin tidak tahu bahwa Raihan tidak pernah
Rania mengeratkan kemejanya untuk menutupi tubuhnya yang hampir dikuasai Raihan. Dia membelakangi Raihan yang berusaha meraih pinggangnya. Laki-laki itu juga memegangi bagian bawahnya yang berdenyut karena tendangan Rania yang dahsyat. "Jangan membelakangi Handa, Buna …," ucap Raihan saat Rania tidak mau mengalihkan pandangan menghadap ke arahnya. Raihan menyentuh siku Rania secara hati-hati, namun wanita itu tidak memberikan respon apa-apa. Sibuk dengan pikirannya yang ingin membuat Raihan pergi dari apartemennya. "Kan tidak jadi, punya Handa berdenyut sakit, Buna ...." "Salah Mas sendiri, bukan salah Rania. Rania sudah bilang sedang datang bulan," tukas Rania. Dia harap-harap cemas jika tiba-tiba Raihan malah nekat menerkamnya. "Handa pikir Buna berbohong," sela Raihan, memandangi punggung wanita manis itu dengan seksama. Pinggul kecil yang sempit namun mampu menahan beban lebih dari yang terkira, beban menjadi tulang punggung untuk dua anak yang masi
"Aku tidak bilang apa-apa pada ayah, jangan menyalahkanku!" Raihan menarik lengannya dengan kasar, sehingga kuku-kuku dari jari milik Renan menggores kulit kecoklatannya. "Kenapa tidak kau saja yang pindah bersama Jihan ke Bandung, kenapa harus aku? Aku tahu aku bukan pewaris sah perusahaan ayah. Tapi, setidaknya jangan atur kehidupanku, Abang!" bentak Renan dengan diliputi api kemarahan yang meledak-ledak. Dia benci menjadi boneka ayahnya yang selalu mementingkan kepentingan pribadi. "Aku tidak melakukan apapun, Ren!" sela Raihan lagi, dia merasa difitnah dengan sesuatu hal yang tidak dia lakukan. Renan mengepalkan kedua tangannya. "Abang egois! Lihat saja aku akan membawa Rania dan Vano untuk ikut denganku." Renan pergi meninggalkan Raihan, dia berniat untuk menenangkan dirinya dan pergi ke balkon atap rumah sakit. Dia benci karena ekspektasi yang selalu ia bangun selalu dipatahkan, terlebih lagi oleh ayahnya sendiri. "R-ren, ak-" omongannya