"Biarkan saja, nanti giliran kita lagi yang menjenguk anak kita ya, Buna," kilah Renan sambil mengusap surai kehitaman milik Rania. Dia sangat menyayangi Rania dengan tulus dan selalu ikut merasakan sakit jika Rania juga sakit.
Perkataan Renan barusan membuat keduanya kembali ke ingatan semalam, saat mereka berciuman di komedi putar. Mereka sama-sama melepaskan pelukan masing-masing dan menatap canggung. Bayang-bayang bibir yang menyatu kembali membuat jantung mereka merekah dan penuh detakan yang tidak teratur."Leher-""Pinggang-"Ucapan mereka bersamaan dan sama-sama tercekat dalam tatapan yang malu-malu."Kau-""Kau-"Lagi, mereka mengucapkan bersamaan, sungguh sangat manis interaksi keduanya."Ran-""Ren-"Mereka kenapa, sih? Jodoh, nih? Hehe.Mereka saling menatap dalam keterdiaman. Pikiran mereka sama-sama bercabang dan menduga-menduga. Satu … dua … tiga ….""Kepalanya, pusing ya, Sayang?" tanya Rania sambil mengelusi kepala Vano dengan hati-hati. Ada rasa gundah mengelabui hatinya saat melihat Vano dengan wajah pucatnya. "Yobot gudam Ano mana, Buna?" "Nanti, Buna ambilkan di rumah, ya. Sekarang, sebut ke Buna mana yang sakit." Vano melirik ke Jihan dan Raihan yang ada di sofa ruangan Vano di rawat. Mereka berdua sedang memperhatikan Vano, Rania dan Renan yang sedang berbincang. "Ada, apa?" tanya Renan yang langsung memajukan kepalanya ke dekat wajah Vano. "Buna ... Handaaa .... Ano ingin berbicik, cini Ano mau biyang tetuatu," titah sang anak agar buna dan handa Enannya mendekat padanya. Rania dan Renan mendekat pada Vano untuk mendengarkan bisikan anak laki-laki itu. Melihatnya, membuat Raihan semakin jengkel. Harusnya, bukan Renan disitu tapi dirinya. Kan Vano buah hatinya bersama Rania, Renan tidak berhak mendahului Raihan. "A-ano mau beyi popoki yang mayam-mayam
"Buna, B-buna mana?" rengek Vano saat bunanya tidak ada disana. Tubuhnya sedang diperiksa dokter Shin sekarang. "Buna sedang mengambil robot gundam, ada Handa disini, jangan menangis, ya," ucap Raihan menenangkan Vano yang mencari kehadiran bunanya. "Ano katanya anak hebat, bunamu hanya pulang sebentar, kan diperiksanya juga sama Aunty, kan?" ucap dokter Shin yang sudah hafal betul pasien kesayangannya. Vano kecil yang menggemaskan tidak akan pernah lupa pada aunty Shin yang suka memberikan permen berbentuk kepala beruang untuknya. "Sepertinya, Dokter tahu betul tentang kesehatan putraku selama ini," ujar Raihan yang berada di seberang dokter Shin berdiri. Lebih tepatnya, di sisi lain ranjang Vano. "Benar, dia seperti putraku. Aku hampir kehilangan pangeran Rania saat operasi transplantasi jantung itu berlangsung. Nasib baik Tuhan memberikan kesempatan untuk Vano saat itu," balas Shin yang mungkin tidak tahu bahwa Raihan tidak pernah
Rania mengeratkan kemejanya untuk menutupi tubuhnya yang hampir dikuasai Raihan. Dia membelakangi Raihan yang berusaha meraih pinggangnya. Laki-laki itu juga memegangi bagian bawahnya yang berdenyut karena tendangan Rania yang dahsyat. "Jangan membelakangi Handa, Buna …," ucap Raihan saat Rania tidak mau mengalihkan pandangan menghadap ke arahnya. Raihan menyentuh siku Rania secara hati-hati, namun wanita itu tidak memberikan respon apa-apa. Sibuk dengan pikirannya yang ingin membuat Raihan pergi dari apartemennya. "Kan tidak jadi, punya Handa berdenyut sakit, Buna ...." "Salah Mas sendiri, bukan salah Rania. Rania sudah bilang sedang datang bulan," tukas Rania. Dia harap-harap cemas jika tiba-tiba Raihan malah nekat menerkamnya. "Handa pikir Buna berbohong," sela Raihan, memandangi punggung wanita manis itu dengan seksama. Pinggul kecil yang sempit namun mampu menahan beban lebih dari yang terkira, beban menjadi tulang punggung untuk dua anak yang masi
"Aku tidak bilang apa-apa pada ayah, jangan menyalahkanku!" Raihan menarik lengannya dengan kasar, sehingga kuku-kuku dari jari milik Renan menggores kulit kecoklatannya. "Kenapa tidak kau saja yang pindah bersama Jihan ke Bandung, kenapa harus aku? Aku tahu aku bukan pewaris sah perusahaan ayah. Tapi, setidaknya jangan atur kehidupanku, Abang!" bentak Renan dengan diliputi api kemarahan yang meledak-ledak. Dia benci menjadi boneka ayahnya yang selalu mementingkan kepentingan pribadi. "Aku tidak melakukan apapun, Ren!" sela Raihan lagi, dia merasa difitnah dengan sesuatu hal yang tidak dia lakukan. Renan mengepalkan kedua tangannya. "Abang egois! Lihat saja aku akan membawa Rania dan Vano untuk ikut denganku." Renan pergi meninggalkan Raihan, dia berniat untuk menenangkan dirinya dan pergi ke balkon atap rumah sakit. Dia benci karena ekspektasi yang selalu ia bangun selalu dipatahkan, terlebih lagi oleh ayahnya sendiri. "R-ren, ak-" omongannya
"Ibu, sebenarnya tidak ingin pulang, tapi Raihan memaksa," ujar sang ibu dengan sengaja, membuat Raihan menjadi menghela napas pasrah. "Bukan seperti itu, Bu …." responnya dengan sabar. Lalu, menyentuh lengan ibunya. "Besok kan bisa kesini lagi, pasti Raihan jemput, kok." "Padahal Ibu bisa menginap." "Ibu .…" "Iya-iya, aku mengalah," final Hani. Akhirnya wanita itu berdiri dan mencium dahi cucunya yang sudah tertidur lelap. "Cepat sembuh cucu kesayangan Nini." "Ibu, istirahatlah, Anya ada disini menjaga Vano," ucap Rania dan memberi janji pada Hani untuk menjaga Vano. "Kau juga istirahat, putriku." Rania membalas dengan senyuman dan anggukan. Sungguh senang, jika dianggap sebagai putri sendiri oleh Hani. "Hati-hati Ibu," pesan Rania pada Hani yang sudah menggandeng tasnya. Wanita paruh baya yang selalu berpakaian modis dan menjadi kebanggaan Rania. "Aku pergi dan kau istirahatlah," timpal Raiha
Siang itu sedikit menegangkan karena Raihan tidak menampilkan wajah ceria, dia terus memasang wajah sinis sebelum operasi dimulai. Dia bahkan mendiamkan Renan dan Rania. Walau begitu, tangannya tetap menggandeng Rania untuk menemaninya pemeriksaan dan pembiusan. "Tanganku kebas, sejak tadi Mas memegangnya, apa tidak bisa dilepas dulu, rasanya seperti kesemutan," protes Rania sambil menggerak-gerakkan tangannya, minta dilepas dari apitan Raihan. Raihan diam saja tidak membalas perkataan Rania. Bukannya dilepaskan, tangan itu semakin erat ia genggam. "Mas, tolong jangan diam seperti ini." "Berani-beraninya tadi malam tidur berduaan di ruangan Vano, kau pikir itu bagus? Tontonan tidak senonoh yang menodai mataku," balasnya dengan nada dingin. Oh, jelas cemburu sekali dia melihat apa yang terjadi tadi malam. Semalam, dia sampai tersentak melihat Renan yang tertidur memeluk Rania dari belakang. Laki-laki itu tanpa pemikiran lagi, langsung
"Loh, katanya ingin menyusun ke dalam lemari?" tanya Jihan yang membuat Rania membelalakkan matanya. Kok jadi begini? Kan dia calon istrinya, harusnya dia yang menyusun baju calon suaminya, bukan Rania. "Kan sudah ada dirimu," jawab Rania spontan. Bisa-bisanya wanita itu tidak ada inisiatif menyusunnya sendiri, pikir Rania. "Tapi, kau yang disuruh Ibu," sela Raihan dengan wajahnya yang terus memandang Rania dengan cinta. Apalagi baru sudah selesai operasi, semakin rindu ingin diperhatikan oleh bunanya Vano. Rania meneguk ludahnya dengan susah payah, kepalang salah tingkah jika begini. "Buat apa? Sudah ada calon istrinya, kenapa aku yang harus melakukannya? Aku juga bukan pembantu." Rania melipir begitu saja tanpa mendengarkan tanggapan Raihan dan Jihan lebih dulu. Menyisakan Raihan yang menatap punggung kecil Rania yang semakin lama menghilang. Raihan sadar, Rania memang sepertinya sangat kesal dengan sikap dirinya yang pli
Lima hari pasca operasi Vano, anak itu harus masih dirawat beberapa hari disana. "Endong-endong! Ano mau endong, Buna!" rewelnya pada ibunya yang baru saja masuk ke ruangannya bersamaan dengan Handa Raihan yang berjalan dengan selang infus yang masih bertengger nyaman di area pergelangan tangan. "Uhhh, anak Buna rewel sekali," ucap Rania menggendong Vano hati-hati, takut akan menyenggol bekas operasi yang masih sedikit basah. Di sampingnya, Hani membantu memperbaiki posisi infus Vano. Memang, anak kecil tidak akan lepas dari kebiasaan yang suka bergerak di masa pertumbuhannya. "Muah ... muah ... anak Buna paling tampan." "Ucu, Ano mau mimik ucu," pintanya pada Buna, membuat Rania menoleh pada Hani dan Raihan secara bergantian. Raihan menaikkan satu alisnya saat mendapatkan tatapan dari ibunya Vano. "Kenapa melihat ke arahku?" tanyanya saat itu, penasaran apa yang dipikirkan oleh wanita itu. "Aku tidak melihat Mas, kok," ungkap Rania Kikuk. Dia juga sebenarnya tidak bermaksud mena