"Loh, katanya ingin menyusun ke dalam lemari?" tanya Jihan yang membuat Rania membelalakkan matanya.
Kok jadi begini? Kan dia calon istrinya, harusnya dia yang menyusun baju calon suaminya, bukan Rania."Kan sudah ada dirimu," jawab Rania spontan. Bisa-bisanya wanita itu tidak ada inisiatif menyusunnya sendiri, pikir Rania."Tapi, kau yang disuruh Ibu," sela Raihan dengan wajahnya yang terus memandang Rania dengan cinta. Apalagi baru sudah selesai operasi, semakin rindu ingin diperhatikan oleh bunanya Vano.Rania meneguk ludahnya dengan susah payah, kepalang salah tingkah jika begini. "Buat apa? Sudah ada calon istrinya, kenapa aku yang harus melakukannya? Aku juga bukan pembantu." Rania melipir begitu saja tanpa mendengarkan tanggapan Raihan dan Jihan lebih dulu.Menyisakan Raihan yang menatap punggung kecil Rania yang semakin lama menghilang.Raihan sadar, Rania memang sepertinya sangat kesal dengan sikap dirinya yang pliLima hari pasca operasi Vano, anak itu harus masih dirawat beberapa hari disana. "Endong-endong! Ano mau endong, Buna!" rewelnya pada ibunya yang baru saja masuk ke ruangannya bersamaan dengan Handa Raihan yang berjalan dengan selang infus yang masih bertengger nyaman di area pergelangan tangan. "Uhhh, anak Buna rewel sekali," ucap Rania menggendong Vano hati-hati, takut akan menyenggol bekas operasi yang masih sedikit basah. Di sampingnya, Hani membantu memperbaiki posisi infus Vano. Memang, anak kecil tidak akan lepas dari kebiasaan yang suka bergerak di masa pertumbuhannya. "Muah ... muah ... anak Buna paling tampan." "Ucu, Ano mau mimik ucu," pintanya pada Buna, membuat Rania menoleh pada Hani dan Raihan secara bergantian. Raihan menaikkan satu alisnya saat mendapatkan tatapan dari ibunya Vano. "Kenapa melihat ke arahku?" tanyanya saat itu, penasaran apa yang dipikirkan oleh wanita itu. "Aku tidak melihat Mas, kok," ungkap Rania Kikuk. Dia juga sebenarnya tidak bermaksud mena
Rania membantu Raihan melepaskan bajunya. Hari ini, dia yang membantu handanya Vano untuk mandi. Kabarnya, Jihan tidak bisa mengurus sampai sore, dia sedang ada acara dengan teman-temannya. Sekarang, mereka berada di dalam kamar mandi ruangan milik Raihan. "Aku ingin pipis, Rania," sebut Raihan yang tengah memperhatikan Rania menyiapkan alat mandi laki-laki itu. "Baik, Mas. Rania bantu Mas membuka celana baru keluar," balas Rania dan kini berganti posisi sedikit membungkukkan tubuhnya di hadapan Raihan. "Loh, kenapa keluar?" "Terus? Masa Rania harus melihat Mas pipis," tukas Rania dengan keheranan atas pertanyaan Raihan. "Memangnya kenapa? Mana tahu kita akan membuat adik untuk Vano," cakap Raihan dengan tidak masuk akalnya. Tidak peduli, dia memang tengah serius pada bunanya Vano. Rania menurunkan celana Raihan dengan kasar. "Mas sudah janji akan menerima semuanya. Mas sendiri yang memilih Jihan dan melepaskan Rania." "Kau cemburu?" "Tidak." "Aku akan bilang pada ibu dan aya
Setelah hampir pukul 21.00, Rania dan Renan memilih untuk mengobrol di rooftop rumah sakit sambil menghirup udara malam yang sebenarnya tidak bagus untuk kesehatan. Namun, dari sanalah pemandangan ibu kota nampak terlihat, memandangnya dapat membuat pikiran tenang sejenak. Ada banyak obrolan yang mereka bahas atau saling bercanda ria tanpa peduli sekitar mereka. Hingga mereka memasuki topik utama yang sedari awal sudah direncanakan. "Bandung, lumayan jauh untukku …," ucap Rania sambil memandangi jalanan ibu kota pada malam hari dari atas atap gedung rumah sakit yang anaknya tempati. Renan tersenyum tipis, dia membuka jaket hitamnya dan dipasangkan ke tubuh Rania dari belakang. Lalu, tubuh Renan menempel pada punggung Rania. Kedua telapak tangannya bergerak menggenggam jari-jemari wanita yang ia cintai tersebut. "A-aku ingin membawa kalian, tapi Vano juga butuh sosok ayahnya …," kilahnya sambil menciumi puncak kepala Rania. Rambut wanitanya sangat harum, beraroma jeruk dan sangat m
Alis Vano tertaut sempurna tatkala melihat bunanya sedang menggendong anak bayi yang disebut-sebut sebagai adik Ano. Sejak bunanya dan handa Enan membawa anak bayi tersebut, Ano merasa diabaikan. Apalagi adik kecil itu selalu diperhatikan dan diajak berbicara, ada rasa cemburu yang menyelimuti hatinya. Bisa-bisanya Buna Rania tidak memihak padanya lagi. Ingat saja tadi, Vano berbicara bahwa ia ingin dibelikan sepeda jika ia sudah keluar dari rumah sakit. Nyatanya, permintaannya ditolak karena Rania berkata Vano sudah punya adik. Jadi, dirinya tidak boleh meminta ini itu lagi karena buna akan membelikan adiknya saja mainan mulai sekarang. Buna dan handa Enan sibuk mengurus bayi laki-laki itu, sehingga Ano merasa tidak dipedulikan lagi. Berkali-kali mencoba mencari perhatian dengan tingkah-tingkah aneh yang bisa memicu atensi orang-orang, tapi tetap tidak mempan. "B-buna! Buna! Ano mau di endong!" pintanya pada buna. Matanya sedikit membulat karena adik kecil ikut menolehkan kepalany
"Bagaimana dengan dua bulan yang akan datang?" tanya Danu pada anaknya, Jihan dan pada calon menantunya, Raihan. Haru yang ada disana, tampak mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kaca yang ada di depannya. Bahkan, air tehnya sudah tidak lagi beruap. "Jihan mengikuti saja, tergantung keinginan mas Raihan," jawab wanita itu dengan sopan, matanya sedikit melirik Raihan yang tampaknya sedang melamun. "Bagaimana denganmu, Raihan?" Danu mengalihkan pandangan pada Raihan yang jiwanya seperti tidak ada disana. Tidak ada jawaban, sampai akhirnya Jihan yang menyenggol lengan calon suaminya. "Mas!" "H-hah! I-itu," gagap Raihan karena kesadarannya sudah kembali lagi. Dia bingung, sudah sampai dimana pembicaraan mereka. Alhasil, dia menatap Jihan untuk mendapatkan jawaban. "Kau kenapa, Nak? Apa yang sedang kau pikirkan? Ini kita sedang membahas pernikahanmu," sela Haru. Dia tahu, pikiran putra sulungnya pasti sedang mengarah pada yan
Malam itu di kediaman Rania Arsita, Renan ada disana menjenguk Vano dan berbincang serius dengan si pemilik mata indah nan manis. Renan sepertinya benar-benar akan pergi dan terpaksa berjarakan jauh dengan wanitanya mulai besok. "Aku akan merindukanmu, nanti," ucap Renan mengawali percakapan di antara keduanya. Tampak sayu-sayu ucapannya, seperti tidak ikhlas akan berjauhan dengan sang kekasih. Sudah dua minggu setelah kepulangan Vano dari Rumah sakit. Mereka sekarang sedang berada di balkon apartemen Rania sambil memandangi bintang yang tidak terlalu banyak, namun masih menghiasi langit malam dengan cantik. "Kau tidak akan berniat pulang kesini lagi?" jawab Rania dengan menembakkan pertanyaan yang membuat hati Renan menjadi membeku. Tentu, dia akan pulang karena belahan hatinya masih tertinggal penuh di Jakarta, wanitanya. "Aku akan mengusahakan untuk pulang di akhir bulan. Nanti, di waktu kepulanganku aku ingin melakukan kencan yan
"K-kau tahu?" Rania menganggukkan kepalanya dan sedikit menggeser tubuhnya untuk berbalik menatap Renan yang ada di belakang punggungnya. Dia tersenyum saat melihat wajah Renan yang kebingungan. Rupanya, Renan benar-benar tidak tahu sampai sekarang siapa Rania. Sebelum mengatakan kebenarannya, Rania berusaha mengambil napas dan membuangnya pelan. "Renan, aku adalah putri dari Dirta Bagyo," ungkap Rania dengan pelan, dia tahu Renan pasti sangat terkejut mendengar fakta yang dituturkan oleh Rania barusan. Tas! Tangan Renan membeku dengan mulut yang membisu mendengar ucapan Rania. Sesuatu yang sangat membuat laki-laki itu tertampar dan mati rasa. "K-kau--" Rania mengangguk dan berdiri menghadap Renan dengan senyuman manis yang masih terpatri dari wajah kecilnya. "Aku, Akak Anya .…" Deg! Detakan jantung milik Renan kembali membludak lebih cepat dari sebelumnya. Dia awalnya menundukkan kepala dan mencerna apa yang dika
Bandung, 22 tahun yang lalu. Seorang wanita berusia 30 tahun tengah menatap anak bayinya yang sedang berada dalam gendongan hangatnya. Ada rasa iba melihat sang putra tampak berceloteh kecil dan asik dengan dunianya sendiri. "Aku menitipkan anakku padamu. Nanti, jika sudah waktunya, laki-laki brengsek itu akan menjemputnya." Wanita itu mengalihkan gendongan bayinya ke tangan Dirta. Ada sedikit tangannya bergetar, seperti tidak rela jika Renan kecilnya diasuh oleh orang lain untuk saat ini. "Anak laki-laki yang tampan. Nona, aku akan bilang pada tuan Aditama bahwa cucunya harus di beri marga Aditama. Marga Atmadja hanya akan membuatnya susah dikemudian hari," kelakar Dirta memberi saran pada ibu si kecil. Adisa tersenyum simpul dengan wajah pucatnya. "Terima kasih, Dirta," ungkapnya, enggan membahas marga apa yang akan diberikan untuk di kecil nantinya. Dirta hanya menganggukkan kepalanya, dia memahami perasaan Adisa. Setelahnya, Adis
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini