Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"Siapa yang memperbolehkan membawa anak ke dalam kantor ini!" teriaknya di depan wajah Rania, membuat Rania tersentak dan sedikit memundurkan tubuhya. Di belakang Rania, si anak bungsu yang sibuk memegangi pergelangan tangan bunanya dan mengajak untuk pulang."Aku sudah diberi kebebasan membawa anak jauh sebelum kau kembali kesini," jawab Rania masih dengan penuturan kata yang sopan.Raihan mengusap wajahnya dengan kasar. "Kau membuat kantor ini seolah-olah milikmu."Rania menggeleng. "Tidak. Aku sadar siapa aku disini, aku hanya memberitahu bahwa aku diberi kebebasan untuk membawa anak-anakku.""Cih! Aku ingin sekali menyayat bibirmu itu! Lihat apa yang telah anak sialanmu itu perbuat!"Rania mengepalkan kedua tangannya menahan emosi atas makian yang dikeluarkan dari mulut laki-laki itu. "Anakku terlahir suci, bukan anak sialan," balasnya dengan sedikit dingin."Anak mana yang sangat nakal dan tidak tahu diri berkeliaran di saat semua orang sedang bekerja. Lalu, menumpahkan kopi di a
Rania sedang berkutik dengan layar komputer di depannya. Sesaat Vano berbisik ke telinganya."Buna … Ano main sana yaa …," tunjuknya ke luar pintu lantai para staf.Rania mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa pesan Buna, jangan nakal, jangan duduk di kursi yang lebar itu, ya," ucap Rania memberi pengertian. Bahwasanya, ada beberapa tempat yang tidak boleh diduduki sembarang orang karena itu untuk kursi VIP.Vano menganggukkan kepalanya, lalu berlari sambil membawa mobil mainan dan pesawat mainannya. Di gedung yang sama, Jihan membawa keponakannya untuk bertemu dengan Raihan. Jihan membawa tiga keponakan laki-lakinya ke perusahaan tersebut. Raihan pun menyambut kedatangan mereka. Bukankah hari yang menyenangkan bagi Raihan saat ini?Raihan membawa ketiga keponakan Jihan untuk menonton di ruangan VIP. Ya, benar, ruangan yang dimaksud Rania pada Vano adalah ruangan itu. Disana, para keponakan Jihan menonton tv sambil duduk di atas kursi mewah, kaki mereka juga dibaluti selimut bulu tebal,
"Jadi kau tidak merasa pelacur, ya? Apa menjajakkan tubuhmu untuk ayahku bukan sesuatu yang bisa disebut jual diri?"Astaga, telinga Rania rasanya sangat sakit mendengar penuturan menyakitkan itu. Sebentar ia menolehkan kepalanya ke samping. Vano tidur di bawah sana dengan kasur lipatnya. Rania harap anak laki-lakinya itu tidak mendengar kata-kata kotor itu sekarang."Kenapa kau diam? Merasa, kan?"Rania mendongak. "Aku tidak tahu lagi harus bicara apa. Aku akan datang, tidak perlu menambahkan kata pelacur, itu sangat menyakiti hatiku sebagai seorang wanita.""Menyakiti? Siapa yang lebih sakit? Ibuku jauh lebih sakit ketimbang dirimu.""Aku tidak menyakiti ibumu. Semua terjadi karena ulah ayahmu sendiri.""K-kau-""Sudah ya, Bos. Ini bukan sesuatu yang boleh dibicarakan saat sedang bekerja." Rania membungkukkan tubuhnya dan kembali fokus pada layar komputer dan mengabaikan Raihan yang masih menatapnya jengkel.***Raihan menarik rambutnya frustasi. Sudah pukul 19.10 batang hidung Rani
"Pakai jasku saja." Raihan melepaskan jasnya dan memasangkan ke tubuh Rania. Raihan menuntun sang wanita untuk duduk di anak tangga. Lalu, laki-laki itu berjongkok di depan Rania. "Maaf ... itu salahku ...." Raihan mengeluarkan tisu basah dari kantongnya dan reflek membuka kedua kaki Rania lebar-lebar.Sontak Rania membulatkan kedua matanya. "P-pak ...."Raihan menaikkan sedikit dress Rania dan mulai mengusap paha Rania dengan tisu basah tersebut. Paha yang disentuh oleh Pak Pandu. "Laki-laki menjijikkan ... sudah tua dan tidak tahu diri."Rania terdiam begitu saja saat Raihan dengan telaten mengelapi paha dan tangannya dengan lembut. Ada rasa haru dalam hati Rania, ini seperti Raihan Atmadja di masa lampau yang Rania cintai."Anggap saja malam ini Raihan Atmadja tidak mengingat apapun tentang kesalahan Rania di masa lampau. Aku akan mengabaikan itu untuk saat ini," ucap Raihan dengan pelan. Lalu menarik lengan Rania untuk diantarkan pulang. "Sudah mau turun hujan, mobilku tidak k
Raihan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Vano. Tepat saat itu, getaran hangat menjalar begitu saja menyelimuti hati Raihan, entah mengapa senyaman itu."Maafkan Paman, ya. Paman tidak bermaksud jahat pada Ano waktu itu."Vano melebarkan senyumannya. "Iya, Paman. Kata Buna, Paman waktu itu cedang banak pikilan."Raihan tersenyum mendengar balasan anak itu. Rania mengajarkannya dengan sangat baik."Mau ikut Paman membeli jajanan?" tawarnya dengan reflek begitu saja. Bukankah Vano anak yang lucu dan sangat menggemaskan? Siapa pun pasti akan dengan suka rela mengajaknya membeli jajan."Apa boyeh?""Tentu, boleh. Ayo ...." Raihan menyodorkan telapak tangannya, membuat Vano menaruh tangannya di telapak tangan Raihan. Lagi, euphoria itu muncul. Bahkan, Raihan ingin mencium pipi anak laki-laki itu dan menggendongnya.Raihan membawa Vano pergi ke kantin untuk membelikan jajanan. Menyisakan Rania yang sejak tadi berdiri di b
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini