Home / Romansa / Ayah Untuk Anakku / 01. Kemarahan Raihan

Share

Ayah Untuk Anakku
Ayah Untuk Anakku
Author: bigelbul

01. Kemarahan Raihan

Author: bigelbul
last update Last Updated: 2023-10-28 15:14:20

"Siapa yang memperbolehkan membawa anak ke dalam kantor ini!" teriaknya di depan wajah Rania, membuat Rania tersentak dan sedikit memundurkan tubuhya. Di belakang Rania, si anak bungsu yang sibuk memegangi pergelangan tangan bunanya dan mengajak untuk pulang.

"Aku sudah diberi kebebasan membawa anak jauh sebelum kau kembali kesini," jawab Rania masih dengan penuturan kata yang sopan.

Raihan mengusap wajahnya dengan kasar. "Kau membuat kantor ini seolah-olah milikmu."

Rania menggeleng. "Tidak. Aku sadar siapa aku disini, aku hanya memberitahu bahwa aku diberi kebebasan untuk membawa anak-anakku."

"Cih! Aku ingin sekali menyayat bibirmu itu! Lihat apa yang telah anak sialanmu itu perbuat!"

Rania mengepalkan kedua tangannya menahan emosi atas makian yang dikeluarkan dari mulut laki-laki itu. "Anakku terlahir suci, bukan anak sialan," balasnya dengan sedikit dingin.

"Anak mana yang sangat nakal dan tidak tahu diri berkeliaran di saat semua orang sedang bekerja. Lalu, menumpahkan kopi di atas dokumen-dokumen penting yang telah aku tanda tangani."

"Aku akan ulang untuk print-nya serta aku minta maaf dan tolong jangan memarahi anakku." Kini, mata Rania sudah mulai berkaca-kaca.

"Aku tidak butuh air matamu!"

Gres!

Renan meremat kaleng minumannya yang telah kosong dan melemparkannya mengenai tempat sampah. Matanya yang tajam menatap nyalang si sulung, Raihan.

"Rania, selesaikan pekerjaanmu, ini perintahku sebagai atasanmu," kilah Renan, lalu tangannya bergerak mengambil lengan Vano kecil.

"Siapa yang berani menyuruh wanita sialan ini untuk pergi! Aku masih ada perlu dengan dia!" Raihan menunjuk-nunjuk Rania bagai sampah.

"Kenapa! Aku juga anak ayah Haru, bukan kau saja. Walau kau yang akan menggantikan ayah nanti, tetap saja kau hanya seorang manager sekarang. Dan yang berhak mengatur Rania disini adalah aku." Renan menggendong Vano yang gemetaran.

"Bunaaaaa …," panggil Vano lagi sampai mengangkat tangannya agar Rania melihat.

"Ano sama Handa Renan dulu, ya. Buna akan pergi bekerja …," bujuk Renan pada Vano kecil yang malang. Anak itu tidak sengaja menyenggol kaki Raihan yang sedang berdiri, membuat Raihan oleng dan menumpahkan cangkir kopinya ke dokumen-dokumen pentingnya.

"Cih!" desis Raihan saat melihat bagaimana Renan menyayangi anak Rania.

"Rania, pergilah, aku atasanmu," titah Renan sekali lagi.

Rania pun membungkukkan badannya pada Renan. Lalu, pergi dari sana. Membiarkan anak bungsunya bersama dengan pria itu.

***

"Mas! Tidak baik ah membuat orang-orang menunggu …," bisik Jihan yang sedang duduk dipangkuan calon suaminya. Pria itu hanya terkekeh dan asik mencium punggung tangan Jihan dengan lembut. Matanya masih fokus dengan katalog di hadapannya. Memilih baju pengantin bersama calon istri. Rania yang berada disitu sesekali menggigit bibir bawahnya. Sudah sekitar 15 menit dia berdiri bersama Ardila, membuat kaki mereka berdua pegal. Selama itu pula, mereka menjadi saksi kisah percintaan salah satu makhluk Adam dan Hawa yang sedang berbagi kemesraan.

"Baiklah, demi ratuku …," balas Raihan sembari mendongak menatap Rania dan Ardila yang wajahnya sudah mulai memucat.

Rania reflek menaruh dokumen yang telah di-print ulang di hadapan Raihan dan diikuti oleh Ardila. "Ini Pak, dokumen baru. Maaf atas kesalahan anak saya. Lain kali saya akan mendidik anak saya dengan baik lagi."

Raihan dengan wajah datarnya hanya diam dan mulai menandatangani dokumen-dokumennya. Jihan pun berdiri dan membawa katalog-nya dan duduk di sofa yang menghadap jendela.

Setelah semua selesai, Rania dan Ardila pun keluar. Rania menarik dan membuang napas lega. "Akhirnya …," gumamnya sambil menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.

***

Tidak tahu kenapa, Raihan seperti memiliki dendam yang amat mendalam pada Rania. Wanita itu berkali-kali dibentak olehnya hari ini.

"Jika bukan karena Renan, anak sialanmu itu sudah aku hukum sampai dia jera," ujarnya mengapit dagu Rania dengan jari-jarinya.

Rania menepis lengan Raihan dan menatap nyalang. "Anakku hanya membuat kesalahan sedikit, kenapa kau sebegitu marahnya dengan dia? Aku tahu bagaimana aku harus mendidik anakku. Anakku hanya tidak sengaja telah menyenggolmu."

Raihan mendorong bahu Rania, sampai tubuh wanita itu terbentur tembok. "Kau!" cakapnya dengan sedikit menarik rambut Rania ke belakang. "Tidak akan aku biarkan hidup tenang!" Lalu, matanya beralih memandangi tubuh Rania. "Murahan, cih!" Raihan mendorong kembali dengan tangannya hingga Rania tersungkur ke lantai.

Raihan berlalu begitu saja meninggalkan Rania. Rania menepikan tubuhnya ke pojok ruangan dan menangis dalam lengannya. "Tidak, tidak. Rania kuat. Rania akan bertahan demi David dan Vano," lirihnya sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri yang kian sesak.

Dengan langkah gontai, Rania berdiri dan pergi menuju toilet untuk membasuh wajahnya. Di sana ada Jihan yang sedang berkaca dengan alat make up-nya. Rania membungkuk hormat dan disertai dengan senyum tipis yang manis.

"K-kau Rania, kan?" tanya Jihan ragu-ragu.

"Iya, saya Rania, Nona."

"Dulu, satu kampus dengan calon suamiku, kan?"

Rania sedikit tercekat lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi normal dan mengangguk sopan. "Benar, beliau adalah seniorku semasa kuliah dulu."

Jihan pun mengangguk-angguk paham dan kembali men-touch-kan make-up ke wajahnya yang cantik dan jelita.

Handphone Rania berbunyi, menampilkan nama wali kelas David disana. Buru-buru Rania keluar dan mengangkat teleponnya.

"Ibu, David memukul temannya. Sekarang, dia berada di ruanganku untuk ditenangkan."

"Apa? Ibu, bagaimana bisa David memukul temannya?"

"Ada kesalahpahaman yang terjadi, mereka bertengkar sedikit. Saya harap, Ibu akan segera menjemput David."

"Baik, saya akan segera kesana."

Rania menutup telponnya dan tergesa-gesa ingin ke sekolah David. Putra sulungnya tengah berkelahi dengan teman sekelasnya.

Brugh!

Rania tersungkur sampai hak sepatunya copot dan terlepas begitu saja. Lututnya perih dan sikunya terasa ngilu. Saat dia menoleh siapa yang telah menjahilinya, dia mendapatkan Hana yang sedang tertawa terbahak-bahak. Rania pun menarik nafasnya dalam - dalam dan berdiri kembali, memunguti hak sepatunya yang copot. Dia tidak menggubris perlakuan Hana, dia sangat lelah sekali hari ini. Di sisi lain, Raihan melihat semuanya. Bagaimana Hana yang menjulurkan kakinya, sehingga Rania tersungkur dan membentur lantai tanpa ampun.

"Cih! Ceroboh," gumamnya tanpa sadar dan berlalu begitu saja.

***

"Mas, aku sudah tidak apa-apa kok, hehe," tutur Jihan sembari tersenyum manis, dia berusaha turun dari ranjang pemeriksaan. Namun, Raihan menahannya. Laki-laki itu tidak akan membiarkan telapak kaki calon istrinya menyentuh lantai yang dingin sedikitpun.

"Eh-eh tidak boleh turun dulu, Mas yang akan menggendongmu. Wanitaku tidak boleh lecet." Raihan mengangkat tubuh Jihan dan didudukkan di atas kursi roda.

"Mas. Maaf, telah merepotkanmu tengah malam begini …," lirihnya karena merasa bersalah.

Raihan mencium puncak kepala Jihan dan diusapnya lembut. "Tidak, Jihanku tidak merepotkan, lain kali jangan memakan samyang dengan bubuk cabe yang banyak, ya. Apa kau rela tiap malam ke rumah sakit dan merusak ususmu?"

Jihan menggeleng sebagai jawaban. "Tidak lagi, sudah cukup kok," jawab Jihan sambil mengerucutkan bibir bawahnya, membuat Raihan mencubit pipinya karena gemas. Iya, Jihan memakan samyang di tengah malam. Hampir mendekati pukul satu dia menelpon Raihan karena perutnya sakit dan menjadi keram, berakhir pria itu membawanya ke IGD.

Saat Raihan mendorong kursi roda Jihan untuk keluar dari ruangan, dari sisi yang berlawanan dia mendapati sosok Rania. Rania berlarian dengan menggendong Vano, diikuti David di belakangnya sambil membawa tas kecil Rania di tubuhnya. Wanita itu terlihat panik sekali dan seringkali sesenggukan.

Penampilannya pun bahkan sangat berantakan. Bermodalkan baju kaos biasa, dibaluti dengan celana trening yang dimana bagian celana satunya terangkat sebelah, menampilkan betis mulusnya. Bahkan, rambutnya juga diikat acak.

Raihan berdecak kesal. "Cih," decaknya saat melihat Rania hanya memakai sandal satu bagian. Kaki yang satunya tidak memakai sandal dan sekarang kaki itu lecet dan terdapat noda darah karena tidak diberi alas kaki.

Vano kecil tidak sadarkan diri dengan tangan kiri yang memegangi dada sebelah kirinya. Melihatnya tertidur di atas brankar seperti itu, membuat sedikit rasa iba pada hati Raihan. Pasalnya, tadi siang Raihan memarahi anak kecil itu dan ibunya, bahkan mengatainya dengan anak sialan. Tapi, terlepas dari itu, Raihan Atmadja adalah putra Haru Atmadja, tidak akan mau hanya sekedar membungkukkan kepalanya kepada orang yang berderajat rendah seperti Rania.

"Mas, aku akan masuk dulu untuk menemui dokterku. Mas tunggu disini saja, ya," ucap Jihan yang tahu bahwa Raihan memperhatikan Vano kecil yang sekarang sudah didorong masuk ke dalam ruang IGD.

"Eo-eoh, y-ya. Mas akan tunggu disini."

Perawat mendorong kursi roda Jihan dan menyisakan Raihan yang diluar sendirian.

Rania mengusap wajahnya dengan kasar, sesekali ia merasa lelah bertahan. Namun, dia teringat wajah David dan Vano ketika kedua putranya itu sedang tertidur lelap. Hanya Rania yang mereka miliki saat ini.

"Bunaaa ...," lirih David pelan dan bergerak menyentuh lengan ibunya secara hati-hati.

"Tidak apa-apa …." Rania memeluk putra sulungnya dengan erat. "Ano anak yang kuat, dia hanya sedikit kelelahan. Buna yakin itu ...." ucap Rania yang berpikir bahwa David akan menangisi adiknya.

"Kaki B-buna …."

Rania melepaskan pelukan pada David, dirinya menatap ke bawah dan mendapati kaki kanannya tanpa sandal dan penuh lecet. "Oh … ini, tadi putus talinya, Buna tinggalkan saja di jalan. Buna tidak apa-apa kok." Rania menarik tangan David lagi untuk duduk di bangku panjang di depan ruangan IGD tersebut.

Anak laki-laki itu memeluk ibunya dengan erat. "Maafkan David Buna …. David selalu membuat Buna susah. Padahal, Buna juga sangat kesusahan mengurusku dan Ano. David bukan anak yang baik, Buna ...."

"Tidak, sayang. David anak Buna yang baik, Buna mengerti perasaanmu. Buna bangga padamu, sayang." Rania mencium dahi anaknya dan membawa David kedekapannya. "Buna sangat menyayangi David. David adalah anak pemberani dan abang yang penyayang untuk Ano."

David melepaskan sandalnya untuk Rania. "Buna pakai sandalku, kaki Buna lecet."

Rania tersenyum sendu melihat kebaikan hati putra sulungnya. "Kaki David lebih Buna sayangi dari pada kaki Buna sendiri."

"Bunaaaaa, jangan seperti itu. David sedih jika begini …."

"Ahahaha, mana muat Buna pakai sandal David, nanti Buna beli sandal di kantin rumah sakit ini. David tenang saja, ya."

"Euhm, baiklah." David kembali memeluk ibunya. Dia sangat sayang pada Rania dan tidak ingin dipisahkan dengan alasan apapun.

Tak lama, Raihan menghampiri Rania dan David. Anak laki-laki itu pun berbisik pada bunanya. "Buna, ada bos Buna ...."

Rania menoleh ke samping dan mendapati Raihan yang tersenyum remeh kepadanya.

"Kau mendapatkan karmamu karena pernah merusak rumah tangga orang lain. Harusnya kau sadar, anakmu mendapatkan kesengsaraan berkat kelakuan bejatmu dulu." Sungguh, ucapan Raihan sangat menyayat hati seorang ibu seperti Rania. Rasanya, dirinya adalah sosok ibu yang buruk dan tidak becus menjaga sang buah hati.

Andai ia bisa berteriak, maka ia akan memilih memekik di telinga Raihan dan berharap agar lelaki itu diam dan tidak perlu mencampuri urusannya. Namun, sayang, pria itu adalah atasannya di kantor.

"Buna …," lirih David kembali. Dia khawatir dan merasa sakit sama seperti bunanya. Rania berusaha untuk tetap tersenyum dan menampakkan wajah yang teduh agar David tidak perlu khawatir lagi.

Mendengar kalimat menyakitkan itu, membuat hati Rania tertusuk tajam. Perkataan yang sangat membuat Rania tertekan dan kian merasa bersalah.

"Buna, mulutnya sangat julid sekali, David tidak suka dengan bos Buna satu itu."

Rania menatap putranya dengan seulas senyum yang penuh makna. "Tidak apa-apa, Buna sudah kebal." Lalu, Rania kembali menatap Raihan dengan sopan. "Terima kasih sudah membuatku sadar. Aku minta maaf jika pernah merusak rumah tangga ayah dan ibumu," ucap Rania, kepala dan badannya membungkuk dengan rasa hormat. Bagi Rania, biar saja. Toh, jika terus melawan ucapan Raihan akan membuat laki-laki itu merembet ke masalah yang lain.

"Bunaaa …."

Rania menggelengkan kepalanya pada David.

"Cih, aku tidak akan lupa bagaimana kau membuat hati ibuku terluka dan membuatnya tertekan selama ini." Selanjutnya, Raihan pergi begitu saja meninggalkan Rania dan David yang masih setia duduk di bangku panjang tersebut.

***

Malam berganti fajar dan Vano sudah siuman. Anak laki-laki itu tengah menonton film spongebob di ruangan rawat inapnya. Rania sesekali mengecup punggung tangan Vano. 

"Jangan seperti ini lagi Vano, Buna sangat sakit melihatmu menjadi lemah seperti ini …," lirihnya pelan. Vano hanya fokus pada layar tv.

David keluar dari toilet, laki-laki itu menarik tali celananya untuk mengunci pinggangnya. "Buna, David hari ini tidak ke sekolah, ya. David ingin menjaga Ano juga."

"Tidak. David harus sekolah. Tidak ada kata bolos," jawab Rania dengan tegas.

"Bunaaaa …."

"Tidak ya, David." Berakhir David yang mengerucutkan bibir bawahnya. "Sekarang, kita pulang ke rumah, Buna akan menitipkan Ano pada perawat disini." Rania mencium pipi putra bungsunya. "Anak Buna berani, kan? Buna akan mengambil baju-bajumu di rumah."

Vano mengangguk kecil, tentu saja dia anak pemberani seperti super hero yang sering ditontonnya.

***

"Tuan Renan, tadi pagi aku mendapatkan telepon dari Rania."

Renan memutar tubuhnya cepat saat mendengar kalimat yang menyebut Rania. "Ya? Apa katanya? Kenapa batang hidungnya tidak ada sampai saat ini di hadapanku? Aku sudah frustasi belum melihat wajahnya pagi ini."

Yang ditanyai menahan senyum, bosnya ini budak cinta atau bagaimana, sih?

"Dia izin tidak masuk hari ini, Vano dirawat di rumah sakit, malam tadi Rania membawanya ke IGD."

"APA!!!"

"Iya, Tuan."

"Ck, kenapa dia tidak mengabariku, sih? Ya sudah, terima kasih infonya. Aku akan menghubunginya secara pribadi kalau begitu."Renan berlalu begitu saja. Pria itu langsung menelepon Rania dengan terburu-buru dan sambungan telepon terhubung.

"Kenapa tidak bilang padaku malam tadi kalau Vano sakit?" tanya Renan khawatir. Dirinya meraih kunci mobil di atas mejanya.

"Masa aku harus membangunkanmu yang sedang istirahat."

"Ck. Rania."

"Iya, maafkan aku. Vano sudah enakan kok, cuma masih lesu. Nih, sekarang lagi nonton Doraemon," jawab Rania yang sudah kembali lagi ke rumah sakit.

"Jadi, kau tidak masuk?" Renan berjalan ke arah pintu ruangannya dan hendak pergi.

"Tidak. Aku izin ya, Bos."

"Kau tidak lupa, kan? Ini hari rabu, potongan gaji hari rabu sangat besar jika kau tidak masuk. Apa kau siap?"

"Iya aku tahu. Tidak apalah ...."

Renan tersenyum tipis. "Yakin? Gajimu itu loh."

"Iya, aku sangat yakin. Anakku lebih penting."

Deg!

Hati Renan berdebar dan menghangat. Ya, pilihannya memang tepat. Tidak salah kan jika ia memilih Rania untuk dijadikan istrinya kelak? Hehe.

"Ya sudah, aku tutup."

"Baik," jawab Rania singkat.

Sambungan telepon terputus.

Renan pergi meninggalkan kantor, ia melajukan mobil bmw-nya dan pergi menyusul Rania ke rumah sakit. Baginya, Vano juga putranya dan segala-galanya bagi Renan. Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu mampir ke pusat perbelanjaan untuk membelikan putra Rania buah-buahan dan mainan untuk dibawa ke rumah sakit.

Related chapters

  • Ayah Untuk Anakku   02. Hanya ingin nonton pombob

    Rania sedang berkutik dengan layar komputer di depannya. Sesaat Vano berbisik ke telinganya."Buna … Ano main sana yaa …," tunjuknya ke luar pintu lantai para staf.Rania mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa pesan Buna, jangan nakal, jangan duduk di kursi yang lebar itu, ya," ucap Rania memberi pengertian. Bahwasanya, ada beberapa tempat yang tidak boleh diduduki sembarang orang karena itu untuk kursi VIP.Vano menganggukkan kepalanya, lalu berlari sambil membawa mobil mainan dan pesawat mainannya. Di gedung yang sama, Jihan membawa keponakannya untuk bertemu dengan Raihan. Jihan membawa tiga keponakan laki-lakinya ke perusahaan tersebut. Raihan pun menyambut kedatangan mereka. Bukankah hari yang menyenangkan bagi Raihan saat ini?Raihan membawa ketiga keponakan Jihan untuk menonton di ruangan VIP. Ya, benar, ruangan yang dimaksud Rania pada Vano adalah ruangan itu. Disana, para keponakan Jihan menonton tv sambil duduk di atas kursi mewah, kaki mereka juga dibaluti selimut bulu tebal,

    Last Updated : 2023-10-28
  • Ayah Untuk Anakku   03. Mempermalukan Rania

    "Jadi kau tidak merasa pelacur, ya? Apa menjajakkan tubuhmu untuk ayahku bukan sesuatu yang bisa disebut jual diri?"Astaga, telinga Rania rasanya sangat sakit mendengar penuturan menyakitkan itu. Sebentar ia menolehkan kepalanya ke samping. Vano tidur di bawah sana dengan kasur lipatnya. Rania harap anak laki-lakinya itu tidak mendengar kata-kata kotor itu sekarang."Kenapa kau diam? Merasa, kan?"Rania mendongak. "Aku tidak tahu lagi harus bicara apa. Aku akan datang, tidak perlu menambahkan kata pelacur, itu sangat menyakiti hatiku sebagai seorang wanita.""Menyakiti? Siapa yang lebih sakit? Ibuku jauh lebih sakit ketimbang dirimu.""Aku tidak menyakiti ibumu. Semua terjadi karena ulah ayahmu sendiri.""K-kau-""Sudah ya, Bos. Ini bukan sesuatu yang boleh dibicarakan saat sedang bekerja." Rania membungkukkan tubuhnya dan kembali fokus pada layar komputer dan mengabaikan Raihan yang masih menatapnya jengkel.***Raihan menarik rambutnya frustasi. Sudah pukul 19.10 batang hidung Rani

    Last Updated : 2023-10-28
  • Ayah Untuk Anakku   04. Sikap aneh Raihan

    "Pakai jasku saja." Raihan melepaskan jasnya dan memasangkan ke tubuh Rania. Raihan menuntun sang wanita untuk duduk di anak tangga. Lalu, laki-laki itu berjongkok di depan Rania. "Maaf ... itu salahku ...." Raihan mengeluarkan tisu basah dari kantongnya dan reflek membuka kedua kaki Rania lebar-lebar.Sontak Rania membulatkan kedua matanya. "P-pak ...."Raihan menaikkan sedikit dress Rania dan mulai mengusap paha Rania dengan tisu basah tersebut. Paha yang disentuh oleh Pak Pandu. "Laki-laki menjijikkan ... sudah tua dan tidak tahu diri."Rania terdiam begitu saja saat Raihan dengan telaten mengelapi paha dan tangannya dengan lembut. Ada rasa haru dalam hati Rania, ini seperti Raihan Atmadja di masa lampau yang Rania cintai."Anggap saja malam ini Raihan Atmadja tidak mengingat apapun tentang kesalahan Rania di masa lampau. Aku akan mengabaikan itu untuk saat ini," ucap Raihan dengan pelan. Lalu menarik lengan Rania untuk diantarkan pulang. "Sudah mau turun hujan, mobilku tidak k

    Last Updated : 2023-10-28
  • Ayah Untuk Anakku   05. Semua gara-gara Rania?

    Raihan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Vano. Tepat saat itu, getaran hangat menjalar begitu saja menyelimuti hati Raihan, entah mengapa senyaman itu."Maafkan Paman, ya. Paman tidak bermaksud jahat pada Ano waktu itu."Vano melebarkan senyumannya. "Iya, Paman. Kata Buna, Paman waktu itu cedang banak pikilan."Raihan tersenyum mendengar balasan anak itu. Rania mengajarkannya dengan sangat baik."Mau ikut Paman membeli jajanan?" tawarnya dengan reflek begitu saja. Bukankah Vano anak yang lucu dan sangat menggemaskan? Siapa pun pasti akan dengan suka rela mengajaknya membeli jajan."Apa boyeh?""Tentu, boleh. Ayo ...." Raihan menyodorkan telapak tangannya, membuat Vano menaruh tangannya di telapak tangan Raihan. Lagi, euphoria itu muncul. Bahkan, Raihan ingin mencium pipi anak laki-laki itu dan menggendongnya.Raihan membawa Vano pergi ke kantin untuk membelikan jajanan. Menyisakan Rania yang sejak tadi berdiri di b

    Last Updated : 2023-11-13
  • Ayah Untuk Anakku   06. Tidak restu

    Sore hari itu, Rania dan Vano memilih tidak langsung pulang ke apartement, tapi mampir ke toko kue kesukaan Vano. Vano antusias sekali saat memilih bentuk-bentuk donat kesukaannya dan memilih kesukaan abangnya juga, David."Bun, Ano boleh ambil yang ini?" tunjuknya pada donat berbentuk kepala beruang, sangat lucu dan menggiurkan untuk Vano. Bahkan, lidah anak laki-laki itu mungkin sedang menari-menari di dalam sana karena tidak sabar ingin melahap si donat kepala beruang.Rania tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala si buah hati dengan begitu lembut."Boleh dong, Ano ambil yang Ano suka, Buna tidak akan melarang.""Yeeee!" Vano tertawa riang. Lalu, anak laki-laki itu sedikit berlari ke arah rak kue yang lain dan melihat-lihat bentuk donat mana yang akan ia ambil lagi. Rasanya, semua ingin dibeli dan dibawa pulang ke kediaman mereka.Rania hanya bisa memperhatikan dan tentu hatinya berbunga-bunga

    Last Updated : 2023-11-14
  • Ayah Untuk Anakku   07. Bertemu Dino

    Seseorang perawakan tubuh tinggi datang menghampiri Rania dan putra-putranya. Laki-laki itu sempat ragu-ragu dengan kehadiran sosok Rania disana.Rania menoleh diikuti oleh Vano dan David. Seorang berperawakan tinggi dan tegap tampak terkejut dengan kehadiran Rania di makam Naresh."D- dino.""Kau sedang apa Rania? Sudah lama sekali ... terakhir ka-" Ucapan Dino terpotong tat kala netranya menangkap sosok David di sebelah Rania. Anak-anak laki itu memiliki wajah yang mirip dengan mendiang sahabatnya, yaitu Naresh."D- david?"David mengernyitkan dahinya, lalu menatap Rania. "Buna, Paman ini siapa?" Jelas David tidak kenal, dulu sekali David masih kecil sekali saat bertemu dengan Dino yang merupakan sahabat handanya."Teman handamu," jawab Rania. Wanita itu kembali menatap Dino dan tersenyum sekilas dengan ramah. "Dino, aku membawa David kesini, dia ingin mengunjungi makam handanya. Aku pikir memang sudah waktunya dia tahu ayahnya

    Last Updated : 2023-11-14
  • Ayah Untuk Anakku   08. Keinginan Renan

    Plak!Anak laki-laki itu tersungkur saat mendapat satu tamparan dari pipi kanannya. Dia mencoba berdiri lagi sambil memegangi pipinya yang memerah, terasa sangat sakit dan perih menyengat."Apa tidak ada lagi wanita di dunia ini, sehingga kau harus memilih wanita sampah itu untuk kau peristri?" tanya Haru tepat di hadapan Renan.Kemarahan lelaki itu semakin memuncak karena Renan yang keras kepala dan tidak mengindahkan perkataannya dulu."Dia bukan wanita sampah! Tapi, Ayahlah sampah itu!" jawabnya kembali menentang perkataan Haru. Renan tidak terima jika wanita pujaannya malah mendapat hinaan dan disamakan dengan sampah."Anak sialan!""Aku ingin Rania, Ayah!""Ren-" panggil Hani pada anak tirinya itu. Wanita itu berjalan tertatih-tatih menghampiri Renan seperti sedang terburu-buru atau sedang dikejar seseorang."Ibu ....""D-dimana Rania?""Jangan mencampuri urusanku dengan anakku! Keluar kau Hani

    Last Updated : 2023-11-14
  • Ayah Untuk Anakku   09. Raihan marah

    "Ano sama Handa Enan dulu, ya. Buna dengan Abang David akan ke rumah sakit, akan sedikit lama," bujuk Rania, dia memasukkan mainan Vano ke dalam tas anak itu."Ke yumah atit? Abang Avid atit ya, Buna?"Rania menggelengkan kepalanya dan memakaikan Vano kaos kaki karena saat bermain di area kantor, Vano melepasnya dan memakai sandal pombobnya."Abang David ngin tes kesehatan, minggu depan abangmu akan ikut pertandingan bela diri, jadi Ano harus ikut Handa Enan dulu, ya.""Ikut ... Ano ikut, Buna.""Disana akan lama sayang, Ano ikut Handa Enan saja dulu, ya. Pulang ke rumah angkasanya," bujuk Rania lagi dengan sangat pengertian. Rumah angkasa yang dimaksud adalah apartemen Renan yang bernuansa luar angkasa. Apalagi di bagian kamarnya, Vano sangat suka sekali karena terlihat seperti sedang berada di atas langit."Potokna Ano itut, Ano tidak mau ngan Handa Enan, Ano mau itut Abang dan Buna ke yumah atit," balasnya tak mau kalah. Kini,

    Last Updated : 2023-11-14

Latest chapter

  • Ayah Untuk Anakku   121. End

    "Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh

  • Ayah Untuk Anakku   120. Rania lahiran

    "S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh

  • Ayah Untuk Anakku   119. Mau lahiran

    Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask

  • Ayah Untuk Anakku   118. Wanita baru?

    "Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya

  • Ayah Untuk Anakku   117. Naik kuda

    Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"

  • Ayah Untuk Anakku   116. Perkara nafsu

    Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran

  • Ayah Untuk Anakku   115. Pemotretan Rania

    Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua

  • Ayah Untuk Anakku   114. Rania hamil

    "Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm

  • Ayah Untuk Anakku   113. Mengunjungi David

    "Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status