Sore hari itu, Rania dan Vano memilih tidak langsung pulang ke apartement, tapi mampir ke toko kue kesukaan Vano. Vano antusias sekali saat memilih bentuk-bentuk donat kesukaannya dan memilih kesukaan abangnya juga, David.
"Bun, Ano boleh ambil yang ini?" tunjuknya pada donat berbentuk kepala beruang, sangat lucu dan menggiurkan untuk Vano. Bahkan, lidah anak laki-laki itu mungkin sedang menari-menari di dalam sana karena tidak sabar ingin melahap si donat kepala beruang.Rania tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala si buah hati dengan begitu lembut."Boleh dong, Ano ambil yang Ano suka, Buna tidak akan melarang.""Yeeee!" Vano tertawa riang. Lalu, anak laki-laki itu sedikit berlari ke arah rak kue yang lain dan melihat-lihat bentuk donat mana yang akan ia ambil lagi. Rasanya, semua ingin dibeli dan dibawa pulang ke kediaman mereka.Rania hanya bisa memperhatikan dan tentu hatinya berbunga-bunga karena anak bungsunya sangat senang sekali. Bahkan, rasa lelah sore itu sungguh terbayar dengan melihat Vano tersenyum riang. Rania yakin, dia sudah cukup bahagia bisa selalu bersama anak-anaknya.Setelah mereka membeli donat, mereka segera keluar menuju halte untuk naik bus. Vano kecil tentu berpegangan tangan pada bunanya, mereka duduk di halte dengan Vano yang berada dipangkuan Rania. Sesekali Rania menciumi puncak kepala Vano dan mengusapnya lembut, terkuarlah aroma manis jeruk dari rambut Vano, tentu Rania menyukainya.Rania sesekali bersendau gurau bersama Vano, membuat sosok lelaki yang dari tadi menguntit mereka tak sengaja merekahkan senyuman."Manis, mereka manis sekali ...," lirih Raihan. Tanpa sengaja, laki-laki itu membuntuti anak dan ibunya itu. Tidak tahu, yang jelas hatinya bergerak begitu saja hingga sampai ke tempat ini."Dia, siapa? Dia siapa, Rania? Aku sangat penasaran pada laki-laki mana yang telah berhasil membuat kau melahirkan seorang putra seperti Vano." Raihan meremat dadanya yang sesak, ingin sekali menghampiri wanita itu untuk memperjelas semuanya, namun hatinya diselimuti rasa egois yang tinggi.Tak lama, mobil bus datang, Rania dan Vano menaikinya. Hingga bus itu melaju menjauhi area halte, Raihan masih disana dengan perasaan yang bergemuruh hebat memikirkan Rania, si wanita pemilik hatinya dulu.***Raihan pulang ke rumah tepat saat pukul 17. 56. Tentu, rumah itu semakin hari semakin sepi, ibunya yang sering sakit dan ayahnya yang belakangan ini sulit mengontrol emosi. Hingga beberapa saat, Raihan berpapasan dengan Renan yang berjalan dari arah dapur, mereka tidak saling sapa sebagai saudara dan Renan memilih masa bodoh dengan semuanya."Kau ada hubungan apa dengan Rania?" tanya Raihan yang membuat atensi Renan menoleh ke arahnya."Apa pedulimu?" Renan mengangkat satu alisnya keheranan."Aku hanya bertanya saja."Renan semakin terheran-heran. "Bukan urusanmu.""Tentu saja itu menjadi urusanku, aku adalah anak tertua di rumah ini dan kau adalah adikku." Raihan sedikit meninggikan nada bicaranya membuat Renan terkekeh."Kenapa kau tiba-tiba peduli tentang urusanku? Memangnya kenapa jika aku ada hubungan spesial dengan Rania?" Renan melipat tangannya di dada."Kau tahu, ibu menderita.""Apa kaitannya?""Ibu menderita karena Rania, kau harus ingat itu." Raihan meletakkan telapak tangannya di atas pegangan tangga."Rania bukan wanita seperti itu, kau tidak tahu apa-apa dan akan lebih baik jika kau diam." Renan kembali memunggungi Raihan dan segera menaiki anak tangga rumahnya. Belum sempat sampai pada puncak paling atas, Raihan berkata kembali."Ada banyak wanita di dunia ini, kenapa kau memilih gadis jahat itu?"Tangan Renan terkepal hebat, ingin melayangkan tinjuan pada wajah Raihan. "Jangan pernah menjelek-jelekkan Rania dihadapanku, kau urusi saja urusanmu sendiri bersama Jihan," ucap Renan tanpa memandang Raihan lagi. Laki-laki itu segera melangkah masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya, dia malas berdebat dengan si putra sulung itu."Sudah pulang, Nak?"Ucapan itu membuat Raihan sedikit tersentak dan segera beralih ke sumber susara. Terlihat, ibunya yang sedikit pucat tampak berdiri di depan pintu kamar, pandangannya sendu dan begitu banyak menyimpan luka selama ini."Ibu ...," sapa Raihan, anak laki-laki itu mendekati ibunya perlahan.Hani tersenyum dalam keadaan lemah. "Ibu dengar tadi ada suara-suara, apa kau sedang mengobrol bersama Renan?" Hani menyambut putra sulungnya itu ke dalam dekapan hangat. Putra kandung satu-satunya itu sungguh Hani menyayanginya.Raihan membalas pelukan ibunya dan mengusap punggung sang ibu pelan. "Iya, Bu. Tadi ada masalah pekerjaan sedikit. Ibu pucat sekali," lanjutnya lagi. "Sudah makan? Mau Raihan temani?"Hani mengangguk. "Mau, ibu mau makan ditemani putra-putra ibu," pinta Hani dan didapati anggukan oleh Raihan."Raihan antar ibu dulu ke meja makan, baru Raihan panggil Renan ya, Bu."Hani mengangguk lagi untuk menyetujui ucapan Raihan.***Rania telah mengambil cuti beberapa hari saat David telah memasuki liburan semester. Sesuai dengan janjinya, Rania membawa David untuk menemui makam kedua orang tua putra sulungnya itu. Benar, David bukanlah anak kandung Rania. Namun, Rania tetap menyayangi David seperti anaknya sendiri karena ayah David dulu banyak membantu Rania saat wanita itu sedang mengandung Vano."B-buna ... i-ini makam Handa?" tunjuk David saat mereka sudah berada di depan makam Naresh yang ditumbuhi banyak rerumputan liar. Makam itu sudah lama tak dikunjungi, sehingga mereka harus segera membersihkannya agar tidak terlihat seperti tadi yang ditumbuhi rumput liar."Benar ... ini makam handamu, di sebelahnya makam bunamu," jawab Rania pelan. Wanita itu mengalihkan pemandangan pemakaman di sebelahnya, makam bunanya David.David melirik ke sebelahnya, terdapat nama seorang wanita bertuliskan Anita Windy. David mendekatinya dan memeluk nisan itu cukup lama dan ada sedikit air mata tak tertahan yang turun begitu saja.Walaupun David tidak pernah melihat bunanya sedari kecil, namun hati David selalu terikat dengan sosok ibu kandungnya. Tentu, David ikut merindukan sosok Windy yang telah melahirkannya.Waktu itu, Windy meninggal pasca melahirkan David, berakibat sampai David umur tiga tahun diasuh oleh Naresh seorang diri. Barulah, setelah itu Rania datang masuk ke kehidupan mereka berdua sebagai sumber kebahagiaan anak dan ayah itu. Rania yang menjadi sosok ibu pengganti David hingga Naresh juga dipanggil oleh sang kuasa. Setelah itu, Rania sendiri yang merawat David dan membesarkan Vano."Hemhh .... Handa, Buna .... David datang," lirih David dengan sedih, dadanya terasa sesak dan sangat merindukan kedua orang tuanya itu. Disampingnya, Vano yang ikut sedih melihat abangnya hampir menangis membuat Vano menjadi khawatir."Abang ... anan nagis yah," ucap Vano untuk membuat abangnya agar tidak menangis.David tersenyum tulus dan memeluk bahu adik satu-satunya itu. "Iya ... baiklah. Abang tidak akan menangis demi Ano ...." David melayangkan kecupan singkat di dahi sang adik dengan begitu lembut. Baginya, Vano adalah sosok adik yang paling disayangi dan harus dijaga agar tidak terluka. David janji, dia akan terus melindungi dan menyayangi Vano dengan tulus.Rania memeluk kedua anaknya tersebut, sungguh Rania bangga memiliki kedua putra yang saling menyayangi. Di dunia ini, Rania hanya ingin kedua putranya selalu bahagia agar dirinya juga ikut bahagia."Rania?"***Seseorang perawakan tubuh tinggi datang menghampiri Rania dan putra-putranya. Laki-laki itu sempat ragu-ragu dengan kehadiran sosok Rania disana.Rania menoleh diikuti oleh Vano dan David. Seorang berperawakan tinggi dan tegap tampak terkejut dengan kehadiran Rania di makam Naresh."D- dino.""Kau sedang apa Rania? Sudah lama sekali ... terakhir ka-" Ucapan Dino terpotong tat kala netranya menangkap sosok David di sebelah Rania. Anak-anak laki itu memiliki wajah yang mirip dengan mendiang sahabatnya, yaitu Naresh."D- david?"David mengernyitkan dahinya, lalu menatap Rania. "Buna, Paman ini siapa?" Jelas David tidak kenal, dulu sekali David masih kecil sekali saat bertemu dengan Dino yang merupakan sahabat handanya."Teman handamu," jawab Rania. Wanita itu kembali menatap Dino dan tersenyum sekilas dengan ramah. "Dino, aku membawa David kesini, dia ingin mengunjungi makam handanya. Aku pikir memang sudah waktunya dia tahu ayahnya
Plak!Anak laki-laki itu tersungkur saat mendapat satu tamparan dari pipi kanannya. Dia mencoba berdiri lagi sambil memegangi pipinya yang memerah, terasa sangat sakit dan perih menyengat."Apa tidak ada lagi wanita di dunia ini, sehingga kau harus memilih wanita sampah itu untuk kau peristri?" tanya Haru tepat di hadapan Renan.Kemarahan lelaki itu semakin memuncak karena Renan yang keras kepala dan tidak mengindahkan perkataannya dulu."Dia bukan wanita sampah! Tapi, Ayahlah sampah itu!" jawabnya kembali menentang perkataan Haru. Renan tidak terima jika wanita pujaannya malah mendapat hinaan dan disamakan dengan sampah."Anak sialan!""Aku ingin Rania, Ayah!""Ren-" panggil Hani pada anak tirinya itu. Wanita itu berjalan tertatih-tatih menghampiri Renan seperti sedang terburu-buru atau sedang dikejar seseorang."Ibu ....""D-dimana Rania?""Jangan mencampuri urusanku dengan anakku! Keluar kau Hani
"Ano sama Handa Enan dulu, ya. Buna dengan Abang David akan ke rumah sakit, akan sedikit lama," bujuk Rania, dia memasukkan mainan Vano ke dalam tas anak itu."Ke yumah atit? Abang Avid atit ya, Buna?"Rania menggelengkan kepalanya dan memakaikan Vano kaos kaki karena saat bermain di area kantor, Vano melepasnya dan memakai sandal pombobnya."Abang David ngin tes kesehatan, minggu depan abangmu akan ikut pertandingan bela diri, jadi Ano harus ikut Handa Enan dulu, ya.""Ikut ... Ano ikut, Buna.""Disana akan lama sayang, Ano ikut Handa Enan saja dulu, ya. Pulang ke rumah angkasanya," bujuk Rania lagi dengan sangat pengertian. Rumah angkasa yang dimaksud adalah apartemen Renan yang bernuansa luar angkasa. Apalagi di bagian kamarnya, Vano sangat suka sekali karena terlihat seperti sedang berada di atas langit."Potokna Ano itut, Ano tidak mau ngan Handa Enan, Ano mau itut Abang dan Buna ke yumah atit," balasnya tak mau kalah. Kini,
Sejujurnya, Raihan tidak ingin berkata seperti itu, dia tahu sendiri, semasa pacaran mereka melakukan hubungan tubuh karena mereka saling mencintai, bahkan Rania tidak pernah membahas untuk dinaikkan nilainya saat Raihan menjadi asisten dosen di mata kuliah ilmu kebisnisan. Sungguh, Raihan sedang emosi sekarang."CIH! jangan termakan oleh ucapan wanita ular itu! Kau akan melihat sendiri bagaimana dia akan menghabisimu, tubuhnya bukan apa-apa. Kau bisa mendapatkan jalang yang lebih memuaskan ketimbang dirinya," ucap Raihan, lalu membuka kunci layar hp-nya. Disana satu pesan masuk dari Jihan. Wanita itu mengatakan bahwa dia telah siap dan Raihan akan menjemputnya untuk pergi berkencan.Mendengarnya, sekali lagi membuat hati Renan perih. Urat-urat lehernya pun mengeras, dia marah. Kenapa Raihan itu sangat bodoh sekali."Abang memang bodoh, kau akan menyesalinya suatu saat," kilah Renan. Punggungnya berbalik begitu saja, sudah tidak ingin mendengar kalimat jah
Maret, 2016.Raihan mencintai Rania, sangat."Kakak! Ingin pesan apa? Rania sedang di minimarket ini, sebentar lagi akan kesana," ucap gadis itu bersemangat sekali, terlihat dari nada bicaranya yang lantang dan antusias."Hah! Kok sudah disana, Kakak bilang kan tadi untuk menjemputmu, kau ini," balas Raihan sambil memakai Hodie-nya dan keluar unit apartemennya. Berniat menyusul kekasihnya itu yang berada diluar pada malam hari seperti ini."Hihi, hanya kejutan saja," ujar Rania sambil memasukkan cemilan ke dalam keranjangnya."Suka mengejutkan kau ini, Kakak menyusulmu sekarang."Sambungan telpon terputus. Laki-laki itu menyusulnya, tidak akan pernah bisa membiarkan bayi rusa itu diluar sendirian saat malam hari, akan sangat bahaya.19.30"Kakak! Kakak! Tangannya nakal sekali. Anya kan ingin fokus menonton," kilahnya saat tangan Raihan masuk ke dalam bajunya tanpa permisi, membuat Rania terkejut karena ada telapak tangan yang hangat menempel pada permukaan kulitnya."Sambil nonton, sa
Hani terus menangis di atas kasur Renan dengan tersedu-sedu. Wanita paruh baya itu mengunci tubuh Vano kecil dalam pelukannya yang erat."Jangan pergi lagi pangeran kecil Nini, Nini menyayangimu pangeran kecilku," ucapnya sambil menciumi puncak kepala Vano seperti tidak akan membiarkan Vano lepas dalam dekapannya lagi."Nini angan nanis ya, Ano uma mau pelgi ke yumah angkasa Handa Enan," balasnya polos sekali. Raut wajahnya yang menggemaskan dengan mata yang membola sempurna untuk mengajarkan nininya agar tidak sedih berlarut-larut.Renan mengurut leher belakangnya karena sakit dan pegal. Sudah lebih dari 30 menit ibunya menangis tersedu-sedu. Di tangan Renan sendiri ada sebuah foto album. Disana, ada foto Renan dan Raihan saat masih seumuran Vano sekarang. Jelas saja, foto abang Raihannya yang masih kecil persis dan tidak ada bedanya dengan putra bungsu Rania yang ada dipelukan ibunya.Jika orang lain melihat, maka mereka membenarkan ba
Bragh! Haru menghentam ujung sepatunya ke hidung Rania, membuat hidung Rania menjadi mengeluarkan darah. Rania merintih kesakitan, bahkan dia sudah bersujud di bawah sana, bersujud di depan Haru. Ada rasa pedih pada rongga hidungnya yang tidak dapat dibendung sekarang. Haru berjongkok dan menjambak rambut Rania ke belakang. "Apa kau dendam padaku? Karena aku telah mengambil jantung ibumu?" Mendengar kalimat yang dilontarkan pria paruh baya tersebut, membuat Rania menggelengkan kepalanya. "T-tidak ... a-aku kesi-" "Ayah?" panggil Raihan yang datang bersama Jihan ke tempat sewaan ayahnya. Mereka datang dengan pakaian yang rapi dan tentu saling berpegangan tangan. Harusnya, hari ini Jihan dan Raihan akan melakukan makan malam bersama Haru Atmadja dan ayah Jihan. Namun, tadi ayah Raihan menemukan Rania dan mengajaknya bertemu, setelah itu menyeret wanita itu ke tempat sewaan yang ayah Raihan sewa untuk makan malam nantinya. Tapi, siapa sangka
Rania membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan kaca matanya yang patah. Dengan berhati-hati ia menyatukan kembali patahan itu dengan menempelkan lakban di patahan tersebut. "Bulan ini aku tetap dapat gaji, kan?" gumamnya tak yakin akan hal itu. Dia sudah janji pada David dan Renan akan membeli mainan mahal itu. Menurutnya, kaca matanya tidak lebih penting daripada mainan Vano dan mainan David. Apalagi, saat memikirkan bagaimana David dan Vano yang selalu menghitung kalender dan akan bersorak ria jika waktu mendekati tanggal muda sudah di depan mata. "Dapat," sahut seseorang yang sedang berdiri di depan meja kerjanya dengan menaruh dokumen keterikatan kontrak. Memandangi Rania yang sejak tadi berkutik dengan kacamata buluknya yang sudah pantas untuk diganti dengan yang baru, dari pada melakbani seperti itu. Rania mendongakkan kepalanya, seketika dia langsung berdiri dan membungkukkan tubuhnya sesopan mungkin. Dia menyesal telah menjadi karya
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini