Rania membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan kaca matanya yang patah. Dengan berhati-hati ia menyatukan kembali patahan itu dengan menempelkan lakban di patahan tersebut.
"Bulan ini aku tetap dapat gaji, kan?" gumamnya tak yakin akan hal itu. Dia sudah janji pada David dan Renan akan membeli mainan mahal itu.Menurutnya, kaca matanya tidak lebih penting daripada mainan Vano dan mainan David. Apalagi, saat memikirkan bagaimana David dan Vano yang selalu menghitung kalender dan akan bersorak ria jika waktu mendekati tanggal muda sudah di depan mata."Dapat," sahut seseorang yang sedang berdiri di depan meja kerjanya dengan menaruh dokumen keterikatan kontrak. Memandangi Rania yang sejak tadi berkutik dengan kacamata buluknya yang sudah pantas untuk diganti dengan yang baru, dari pada melakbani seperti itu.Rania mendongakkan kepalanya, seketika dia langsung berdiri dan membungkukkan tubuhnya sesopan mungkin. Dia menyesal telah menjadi karya"Rania, maafkan aku. Aku memikirkan perasaan Ibu. Kenapa kau berpikir seperti itu? Ibu tidak akan memisahkan kau dengan Vano ...." "Renan, kau tak paham dengan perasaanku, bagaimana bisa aku membiarkan putraku bersama mereka, mereka pasti akan menjauhkanku dengan putraku. Aku benar-benar kecewa padamu, Ren." "Kau egois! Ibu juga menderita selama ini. Jangan merasa kau yang paling tersakiti. Ibu juga tersakiti Rania!" Nada bicara Renan tiba-tiba meninggi dengan maksud agar Rania sedikit untuk tidak egois dengan membiarkan Hani tau bahwa Vano adalah cucu kandungnya. Rania menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha mengontrol emosinya agar tidak meledak-ledak. "Kembalikan putraku sekarang juga! Aku tidak mau tahu!" "Jika kau masih ingin melihat putramu, datanglah ke apartemenku, Rania. Jika tidak, berdiamlah kau dengan pekerjaanmu itu," balas Renan tidak mau kalah. "Ren!" "Pikirkanlah, kau egois Rania!" tampik Renan dengan semakin
Rania dengan langkah ragu-ragu menekan tombol bell pada apartemen milik Renan. Bukan tidak siap, dia hanya takut dan malu bertemu Hani. Rasanya dia memiliki banyak dosa dan merasa bersalah pada wanita paruh baya itu. Memang nasibnya, Renan menunggu kehadiran wanita itu dengan berdiri di dekat rak sepatu. Saat dia membuka pintunya, terlihat wajah gemetar dan panik yang ditampilkan sang pujaan hati. Renan menyentuh pergelangan tangan Rania dan menariknya sedikit agar wanita itu masuk ke dalam apartemennya. Namun, Rania tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya, membuat Renan menaikkan kedua alisnya. "Ayo, ibu menunggu di dalam," ucap Renan meyakinkan Rania. "A-aku takut ...." jawab Rania. "Takut apa? Ibu tidak gigit, Kok." "Bukan itu," balas Rania lagi, matanya mencoba melirik ke arah dalam apartemen Renan. "Lantas?" "Takut ibu akan marah padaku," tukasnya kemudian. Bahkan, kepalanya tertunduk menjadi tidak percaya diri. Renan menaruh telapak tangannya di atas kepala Rania dan m
"Sumsum tulang belakangmu tidak cocok dengan Vano. Aku rasa kau harus menghubungi ayahnya," ucap dokter Shin sambil menyerahkan surat keterangan hasil lab pada Rania. Sempat ragu memberikannya, namun tidak mungkin kan tidak diberitahu? Demi keselamatan Vano kedepannya. Rania tertegun memandangi sebuah amplop putih bersih dengan seksama. Dia tidak siap dengan isi di dalamnya. Tidak siap dengan tulisan yang ada di dalamnya, bahkan jantungnya berdegup tidak karuan. Perlahan, Rania membuka amplopnya dengan hati-hati. Membuka lipatan kertas dengan tangan yang bergetar hebat. Saat netranya menangkap tulisan di dalamnya, di saat itulah bahu Rania terjatuh dalam. Air matanya turun tanpa izin, membasahi pipi si wanita pekerja keras ini. "Harus bertindak cepat. Anakmu mengalami gejala leukimia. Cepat atau lambat bisa berdampak dengan organ tubuh yang lain," kilah Dokter Shin, dia menyentuh punggung tangan Rania dengan lembut dan diusap pelan. Baginya, tidak ada yang lebih menyakitkan ketika
Rania menatap Raihan dengan nyalang, bisa-bisanya laki-laki itu berbicara yang buruk kepada seorang ibu seperti Rania. Sungguh, bukan menunjukkan sikap seseorang yang berpendidikan. "K-kau sepertinya sangat membenci anakku karena perbuatanku di masa lalu. Tapi, terlepas dari itu ... apa kau tidak punya hati berbicara seolah-olah anakku nakal dan Tuhan sedang menghukumnya. Apa yang anakku lakukan sampai kau sebenci ini kepadanya? Apa dia meminta uangmu? Apa dia berkata tidak sopan kepadamu? Apa keberadaanya sangat mengusik kehidupanmu, Tuan Raihan Atmadja?" Deg! Hati Raihan bergetar hebat, perkataan Rania sungguh tidak bisa ditebak. Wanita itu dengan emosinya yang membuncah mampu membuat seorang Raihan terdiam, dia tidak menyangka jika Rania bisa semarah ini atas perkataannya yang kelewatan. "Rania, mas Raihan adalah bosmu," tekan Jihan memperingati. Jihan tidak suka ada bawahan yang sekenanya berbicara layaknya memiliki derajat yang tinggi dari pad
The day. Hari terakhir Rania bekerja di perusahaan keluarga Atmadja. Dia sudah mengemasi barang-barangnya dan diletakkan dalam dua buah kardus. Tidak ada yang tersisa, hanya ada sebuah vas bunga kecil yang bukan kepunyaannya. Seseorang berlari menghampiri Rania dengan tergesa-gesa. Tampak, napasnya tersengal-sengal karena berlarian sepanjang jalan koridor menuju ruangan staff yang ditempati Rania. "Kakak! Kakak. Vano sedang menangis diluar. Bos memarahinya karena Vano dan Dean memecahkan pot bunga keramik di dekat ruang vip," ucap Rahayu sambil menarik-narik lengan Rania tidak sabaran. Mengajak seniornya itu untuk segera menghampiri Vano. Rania membulatkan matanya dan kaget atas perkataan Rahayu. "Dimana anakku sekarang?" Rania bergegas memakai sepatu haknya dan mengikuti jalan Rahayu. "Masih disana. Ada si Jihan Jihan itu juga Kak, cepatlah! Vano menangis keras." Rahayu terus menarik-narik lengan Rania dengan tidak sabaran.
Hari-hari dilewati Rania dengan perasaan yang lebih baik, tidak ada tekanan dalam pekerjaan maupun tuntutan pengerjaan laporan dalam jangka singkat. Rania bahagia walau efek keuangannya jadi menurun drastis. Namun, Rania masih tetap bersyukur saat ini. Lima hari setelah Rania resmi dipecat, wanita itu bekerja di sebuah restaurant dan menjabat sebagai koki. Seperti sebelumnya, Rania mendapatkan kebebasan untuk membawa putranya bekerja. Hari-harinya, dia habiskan berkutik pada pisau dan dapur, skill masaknya memang tidak sebagus saat ia berkutik dengan pensil gambarnya. Tentu, Rania sudah terbiasa dengan alat gambar. Di lain sisi, Raihan juga disibukkan dengan pekerjaannya yang semakin hari semakin memadat. Ditambah dengan kekacauan akibat tidak terkontrolnya pekerjaan yang sebelumnya hal itu menjadi tanggung jawab Rania. Mereka belum menemukan pengganti Rania. Bahkan, Renan sudah tidak acuh lagi dengan apa yang terjadi di perusahaan ini. Dia bahkan tidak
Hani memejamkan matanya, air matanya menyelinap begitu saja dari pelupuk matanya yang cantik. Berderaian jatuh tanpa henti. Namun, dia juga perlahan lega karena rahasia yang selama ini ia tutup rapat-rapat akhirnya terkuak dari mulutnya sendiri. "I-ibu ...." Raihan memegangi pergelangan tangan ibunya. Dia sangat syok, sampai dia sendiri kebingungan sekarang. Semua perkataan Hani terasa begitu cepat berputar di kepalanya. Bahkan, lidahnya seperti mati rasa untuk berkata sesuatu. Hani kembali melanjutkan. "Raniaku t-tidak pernah menggoda ayahmu ... hahhh ... d-dia tidak pernah menerima uang itu R-raihan ... dia menolaknya. Maafkan aku ...." Hani memukul dadanya dengan tangan kanan, rasanya sudah tidak sanggup lagi berbicara. Ia benar-benar ingin semuanya selesai dan hidup dengan tenang setelah ini. Ia ingin bisa dengan bebas bertemu cucunya dan mengasuh Vano dengan tangannya sendiri. Takdir sudah membawanya kesini dan di titik ini dirinya harus membayar w
Andai …. "Ano, mamamnya dihabiskan dulu, Nak, baru pakai sepatunya. Handa tidak akan kemana-mana. Iya kan, Handa?" Rania memandang Raihan yang sedang duduk di kursi meja makan dengan sepiring nasi goreng di hadapannya. "Benar, Buna benar," jawab Raihan dengan terus tersenyum lebar memperhatikan istri cantiknya yang kelewat mempesona. "Tapi, Ano udah kenyang Bun," timpal anak laki-laki yang berumur tiga tahun itu. "Sedikit lagi, ayo habiskan, Sayang," bujuk Rania kembali dengan tatapannya yang sedikit merajuk pada Vano. "Iya, anak Handa harus banyak makan biar cepat tumbuh besar," ucap Raihan menambahi perkataan istrinya. "Memang kenapa Handa kalau Ano tubuh besar?" "Biar bisa tidur sendiri," jawab Raihan dengan takut-takut memandang istrinya yang menatap memicing tajam. "Itu loh, kan kasurnya sempit kalo ada Ano di tengahnya." "Oooo," respon si kecil dengan kepala yang mengangguk-ngangguk paham. "Handa s
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini