"Pakai jasku saja." Raihan melepaskan jasnya dan memasangkan ke tubuh Rania. Raihan menuntun sang wanita untuk duduk di anak tangga. Lalu, laki-laki itu berjongkok di depan Rania.
"Maaf ... itu salahku ...." Raihan mengeluarkan tisu basah dari kantongnya dan reflek membuka kedua kaki Rania lebar-lebar.Sontak Rania membulatkan kedua matanya. "P-pak ...."Raihan menaikkan sedikit dress Rania dan mulai mengusap paha Rania dengan tisu basah tersebut. Paha yang disentuh oleh Pak Pandu. "Laki-laki menjijikkan ... sudah tua dan tidak tahu diri."Rania terdiam begitu saja saat Raihan dengan telaten mengelapi paha dan tangannya dengan lembut. Ada rasa haru dalam hati Rania, ini seperti Raihan Atmadja di masa lampau yang Rania cintai."Anggap saja malam ini Raihan Atmadja tidak mengingat apapun tentang kesalahan Rania di masa lampau. Aku akan mengabaikan itu untuk saat ini," ucap Raihan dengan pelan. Lalu menarik lengan Rania untuk diantarkan pulang. "Sudah mau turun hujan, mobilku tidak ku parkirkan disini, parkiran mobilku jauh, kita harus berjalan kaki kesana."Rania menuruti Raihan begitu saja dengan tubuhnya yang masih lemas akibat kejadian tadi. Belum sampai, hujan turun langsung dengan deras, membuat Raihan dan Rania berteduh di dekat sebuah wartel. Saat ia tahu, Rania masih ketakutan akan kejadian tadi.Laki-laki itu dengan gentle membawa bahu sang wanita untuk menghadap ke arahnya. Sadar akan perlakuan lembut Raihan, Rania mendongakkan kepalanya. Disana, mata teduh itu, mata teduh milik Raihan memandang Rania dengan lembut. Mata Rania berkaca-kaca, sebenarnya sudah dari tadi ia tahan-tahan agar tidak menangis, namun saat melihat mata Raihan, air matanya luruh begitu saja."Maaf …," lirih Raihan dan membawa tubuh Rania ke dalam pelukannya. Raihan mengunci tubuh Rania dalam dekapan hangatnya. Sangat erat dan paling erat. Entah perasaan apa yang datang. Rania memberanikan diri untuk menyenderkan kepalanya pada dada bidang Raihan."Eungh ... a-aku takut …," gumamnya dengan lirihan yang tentu di dengar oleh Raihan.Raihan semakin mempererat pelukannya dan melayangkan kecupan lembut di puncak kepala Rania. "Maaf ... maaf …," lirihnya yang malah membuat Rania semakin menangis deras. Raihan tidak tega, walau bagaimanapun di masa lampau Raihan pernah mencintai Rania dengan tulus.Seiringnya air hujan turun, sebanyak itulah jantung Raihan berdetak lebih cepat, perasaan hangat terus menjalari tubuhnya, tidak pernah berubah persis seperti masa lampau.Raihan memutar kembali memorinya...."Sayang ... sayang kemarilah," ucap Raihan menarik lengan Rania lembut dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya."Kak, malu is …," jawab Rania sambil celingak celinguk ke samping."Apa yang malu, kan Rania pacar Kakak.""Ihhh ... ga usah besar-besar ngomongnya, entar ada yang denger, gimana?""Memangnya kenapa, sih? Kamu punya pacar lain, ya?" Raihan menggerak-gerakkan tubuh Rania yang ada dalam pelukannya.Rania mendongak. "Mana ada Ran-"Cup!Belum selesai berbicara, Raihan sudah membungkam mulut Rania dengan mulutnya. Berkahir, Raihan yang melumati bibir Rania dan digigiti kecil-kecil. Raihan melepas ciumannya dan berbisik di telinga Rania. "Habis ini ya ... aku mau ….""Mau apa?" tanya Rania kebingungan."Mau minta jatahku, udah enggak tahan.""Mesum banget isss!" Rania memukul dada Raihan pelan. "Kemarin malam Kakak udah ambil jatah, masa mau lagi?""Ya gimana, namanya juga pengen."Rania menggelengkan kepalanya. "Enggak! Rania besok ada UTS!""Kan besok Kakak juga yang ngawasi UTS kalian, nanti Kakak tunjukin deh jawabannya.""Enggak!" Rania melepaskan pelukannya pada Raihan, membuat lelaki itu mengerucutkan bibirnya."Pelit.""Biarin.""Kuburannya sempit.""Kakak!!"Setelah itu mereka saling tertawa dan kembali menuju kos-nya Rania dengan berjalan kaki. Mereka memang sangat suka berjalan kaki di malam hari, entah hanya untuk menghirup udara segar atau membeli sesuatu. Semenjak itu, Raihan jadi jarang pulang ke apartemennya, dia lebih suka menghabiskan waktunya bersama Rania.Tap!"Pak." Rania melepaskan pelukannya pada Raihan membuat Raihan tersentak. "Pak. Hujannya sudah berhenti, aku memikirkan anakku yang sedang menunggu."Rania sudah hendak berjalan lagi. Tiba-tiba saja tangannya ditarik Raihan, membuat tubuh Rania memutar menghadap Raihan kembali.Dengan keberanian yang siap, Raihan bertanya pada Rania. "Vano itu siapa? Dan berapa umurnya sekarang?"***Sudah satu minggu berlalu, tidak ada yang spesial ataupun berubah. Raihan kembali menjadi sosok sebelumnya. Namun, dia sekarang lebih bisa mengontrol emosinya jika melihat Rania. Sekarang, laki-laki itu sedang fokus pada buku agenda di atas meja kerjanya. Dia membaca rangkaian kegiatan proses berjalannya perusahaan. Apalagi, sebentar lagi dia ditunjuk untuk meneruskan perusahaan ayahnya itu.Cklek!Pintu ruangannya terbuka, menampilkan wajah sempurna Jihan yang menawan. Wanita itu datang membawa cemilan untuk Raihan."Mas? Fokus sekali?" Jihan meletakkan kotak makannya di atas meja dekat sofa. Kakinya mengayun mendekati Raihan."Oh, Jihan. Mas sedang melihat grafik perkembangan perusahaan." Raihan tersenyum tipis saat Jihan alih-alih langsung meminta Raihan memangkunya. Raihan dengan siaga menerimanya. Sebenarnya pikirannya juga bercabang, bersangkut paut dengan hal lain. Terutama malam itu, saat ia bertanya pada Rania, siapa Vano?'Vano itu siapa? Berapa umurnya?'Perempuan di depannya sedikit tersentak, membuat Raihan semakin curiga.Wanita itu dengan santai menjawab, 'dia anakku bersama suamiku.''Siapa suamimu? Dimana dia, sampai kau harus membawa dua anakmu dan membesarkannya seorang diri? Bercerai?'Rania menggelengkan kepalanya. 'Tidak. Suamiku adalah Naresh Raykarian.''Naresh Raykarian? Jika tidak bercerai, kemana dia?''Dia sudah pergi meninggalkan dunia sebelum Vano lahir.'Raihan terdiam mendengar penuturan Rania. Lalu, Rania melanjutkan lagi. 'Dia bukan anak ayahmu. Walau aku gila uang, aku tidak akan nekat membiarkan sebuah janin tumbuh dari seorang laki-laki yang sudah beristri.'Begitu saja waktu berlalu, perkataan Rania masih terngiang-ngiang di kepala Raihan, sampai-sampai Jihan harus menyadarkan Raihan dari lamunannya."Kenapa melamun?" Jihan mengelus dagu Raihan membuat lelaki itu sedikit tidak nyaman. Ya, memang ada laki-laki dielus seperti ini tidak geli? Atau bahkan lebih."Lagi banyak pikiran aja," jawab Raihan sambil memberikan senyum tampannya untuk calon istrinya.Cklek!Junaidi masuk ke dalam ruangan Raihan sambil membawa berkas untuk persiapan rapat yang akan dipimpin oleh Raihan nanti."Pak, permisi. Ini bahan untuk rapat nanti siang." Junaidi meletakkan berkasnya di atas meja dan melirik sebentar ke arah Jihan yang juga memerhatikannya. Junaidi menunduk dan memberi hormat pada Jihan."Dari tim skema perencanaan siapa yang menggantikan Renan?""Rania, Pak.""Oh, ya sudah. Terima kasih."Junaidi pun pamit dan keluar ruangan meninggalkan mereka berdua."Mas ....""Iya," jawab Raihan yang membenahi berkas-berkasnya. Dia berniat akan menemui divisi pemasaran untuk menanyakan langsung detail pemasaran bulan ini, berjalan stabil atau tidak."M-mas kemarin …. Rania ...."Raihan memberhentikan aktivitasnya dan menatap Jihan dengan lembut. "Aku sudah tidak ada apa-apa lagi dengan Rania, kau tahu itu ...."Jihan memeluk leher Raihan dengan erat. "Lantas, kapan Mas akan benar-benar memberikan seluruh hati Mas untukku?" Rasanya sangat sulit untuk Jihan lalui, membuat laki-laki itu untuk hanya menatap ke arahnya saja, sangat sulit.Raihan membalas pelukan Jihan dengan sayang. "Aku sedang berusaha Jihan, aku juga tidak ingin mengecewakan ayah dan ibuku, pahami aku sedikit lagi, ya ...." Jihan hanya diam mendengar jawaban dari Raihan, dirinya juga mengerti keadaan Raihan sekarang.***Seperti biasa, Vano selalu ikut Rania bekerja. Bagi Vano, kantor Buna adalah rumah kedua setelah rumah pertamanya (Apart Jakarta). Anak laki-laki itu bermain di dekat ruang para staff bekerja. Tidak mengganggu dan asyik dengan dunianya sendiri. Dia bermain dengan mobil truk mainannya dan tayo bus mainannya."Bum-bum ... Ano akan tablak tayo na ... awas ... bum-bum." Vano menabrakkan mobil truknya ke mobil tayonya. "Bum-bum ... citttt ... tayo na asuk julang," ucapnya lagi dengan antusias.Seorang laki-laki berjongkok di samping Vano. "Kau sedang apa?" tanyanya melihat Vano bermain di bawah lantai.Vano menoleh dan terkejut. "A-ano yagi main obil-obilan …. Ano t-tidak menculi kok tuan."***Raihan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Vano. Tepat saat itu, getaran hangat menjalar begitu saja menyelimuti hati Raihan, entah mengapa senyaman itu."Maafkan Paman, ya. Paman tidak bermaksud jahat pada Ano waktu itu."Vano melebarkan senyumannya. "Iya, Paman. Kata Buna, Paman waktu itu cedang banak pikilan."Raihan tersenyum mendengar balasan anak itu. Rania mengajarkannya dengan sangat baik."Mau ikut Paman membeli jajanan?" tawarnya dengan reflek begitu saja. Bukankah Vano anak yang lucu dan sangat menggemaskan? Siapa pun pasti akan dengan suka rela mengajaknya membeli jajan."Apa boyeh?""Tentu, boleh. Ayo ...." Raihan menyodorkan telapak tangannya, membuat Vano menaruh tangannya di telapak tangan Raihan. Lagi, euphoria itu muncul. Bahkan, Raihan ingin mencium pipi anak laki-laki itu dan menggendongnya.Raihan membawa Vano pergi ke kantin untuk membelikan jajanan. Menyisakan Rania yang sejak tadi berdiri di b
Sore hari itu, Rania dan Vano memilih tidak langsung pulang ke apartement, tapi mampir ke toko kue kesukaan Vano. Vano antusias sekali saat memilih bentuk-bentuk donat kesukaannya dan memilih kesukaan abangnya juga, David."Bun, Ano boleh ambil yang ini?" tunjuknya pada donat berbentuk kepala beruang, sangat lucu dan menggiurkan untuk Vano. Bahkan, lidah anak laki-laki itu mungkin sedang menari-menari di dalam sana karena tidak sabar ingin melahap si donat kepala beruang.Rania tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala si buah hati dengan begitu lembut."Boleh dong, Ano ambil yang Ano suka, Buna tidak akan melarang.""Yeeee!" Vano tertawa riang. Lalu, anak laki-laki itu sedikit berlari ke arah rak kue yang lain dan melihat-lihat bentuk donat mana yang akan ia ambil lagi. Rasanya, semua ingin dibeli dan dibawa pulang ke kediaman mereka.Rania hanya bisa memperhatikan dan tentu hatinya berbunga-bunga
Seseorang perawakan tubuh tinggi datang menghampiri Rania dan putra-putranya. Laki-laki itu sempat ragu-ragu dengan kehadiran sosok Rania disana.Rania menoleh diikuti oleh Vano dan David. Seorang berperawakan tinggi dan tegap tampak terkejut dengan kehadiran Rania di makam Naresh."D- dino.""Kau sedang apa Rania? Sudah lama sekali ... terakhir ka-" Ucapan Dino terpotong tat kala netranya menangkap sosok David di sebelah Rania. Anak-anak laki itu memiliki wajah yang mirip dengan mendiang sahabatnya, yaitu Naresh."D- david?"David mengernyitkan dahinya, lalu menatap Rania. "Buna, Paman ini siapa?" Jelas David tidak kenal, dulu sekali David masih kecil sekali saat bertemu dengan Dino yang merupakan sahabat handanya."Teman handamu," jawab Rania. Wanita itu kembali menatap Dino dan tersenyum sekilas dengan ramah. "Dino, aku membawa David kesini, dia ingin mengunjungi makam handanya. Aku pikir memang sudah waktunya dia tahu ayahnya
Plak!Anak laki-laki itu tersungkur saat mendapat satu tamparan dari pipi kanannya. Dia mencoba berdiri lagi sambil memegangi pipinya yang memerah, terasa sangat sakit dan perih menyengat."Apa tidak ada lagi wanita di dunia ini, sehingga kau harus memilih wanita sampah itu untuk kau peristri?" tanya Haru tepat di hadapan Renan.Kemarahan lelaki itu semakin memuncak karena Renan yang keras kepala dan tidak mengindahkan perkataannya dulu."Dia bukan wanita sampah! Tapi, Ayahlah sampah itu!" jawabnya kembali menentang perkataan Haru. Renan tidak terima jika wanita pujaannya malah mendapat hinaan dan disamakan dengan sampah."Anak sialan!""Aku ingin Rania, Ayah!""Ren-" panggil Hani pada anak tirinya itu. Wanita itu berjalan tertatih-tatih menghampiri Renan seperti sedang terburu-buru atau sedang dikejar seseorang."Ibu ....""D-dimana Rania?""Jangan mencampuri urusanku dengan anakku! Keluar kau Hani
"Ano sama Handa Enan dulu, ya. Buna dengan Abang David akan ke rumah sakit, akan sedikit lama," bujuk Rania, dia memasukkan mainan Vano ke dalam tas anak itu."Ke yumah atit? Abang Avid atit ya, Buna?"Rania menggelengkan kepalanya dan memakaikan Vano kaos kaki karena saat bermain di area kantor, Vano melepasnya dan memakai sandal pombobnya."Abang David ngin tes kesehatan, minggu depan abangmu akan ikut pertandingan bela diri, jadi Ano harus ikut Handa Enan dulu, ya.""Ikut ... Ano ikut, Buna.""Disana akan lama sayang, Ano ikut Handa Enan saja dulu, ya. Pulang ke rumah angkasanya," bujuk Rania lagi dengan sangat pengertian. Rumah angkasa yang dimaksud adalah apartemen Renan yang bernuansa luar angkasa. Apalagi di bagian kamarnya, Vano sangat suka sekali karena terlihat seperti sedang berada di atas langit."Potokna Ano itut, Ano tidak mau ngan Handa Enan, Ano mau itut Abang dan Buna ke yumah atit," balasnya tak mau kalah. Kini,
Sejujurnya, Raihan tidak ingin berkata seperti itu, dia tahu sendiri, semasa pacaran mereka melakukan hubungan tubuh karena mereka saling mencintai, bahkan Rania tidak pernah membahas untuk dinaikkan nilainya saat Raihan menjadi asisten dosen di mata kuliah ilmu kebisnisan. Sungguh, Raihan sedang emosi sekarang."CIH! jangan termakan oleh ucapan wanita ular itu! Kau akan melihat sendiri bagaimana dia akan menghabisimu, tubuhnya bukan apa-apa. Kau bisa mendapatkan jalang yang lebih memuaskan ketimbang dirinya," ucap Raihan, lalu membuka kunci layar hp-nya. Disana satu pesan masuk dari Jihan. Wanita itu mengatakan bahwa dia telah siap dan Raihan akan menjemputnya untuk pergi berkencan.Mendengarnya, sekali lagi membuat hati Renan perih. Urat-urat lehernya pun mengeras, dia marah. Kenapa Raihan itu sangat bodoh sekali."Abang memang bodoh, kau akan menyesalinya suatu saat," kilah Renan. Punggungnya berbalik begitu saja, sudah tidak ingin mendengar kalimat jah
Maret, 2016.Raihan mencintai Rania, sangat."Kakak! Ingin pesan apa? Rania sedang di minimarket ini, sebentar lagi akan kesana," ucap gadis itu bersemangat sekali, terlihat dari nada bicaranya yang lantang dan antusias."Hah! Kok sudah disana, Kakak bilang kan tadi untuk menjemputmu, kau ini," balas Raihan sambil memakai Hodie-nya dan keluar unit apartemennya. Berniat menyusul kekasihnya itu yang berada diluar pada malam hari seperti ini."Hihi, hanya kejutan saja," ujar Rania sambil memasukkan cemilan ke dalam keranjangnya."Suka mengejutkan kau ini, Kakak menyusulmu sekarang."Sambungan telpon terputus. Laki-laki itu menyusulnya, tidak akan pernah bisa membiarkan bayi rusa itu diluar sendirian saat malam hari, akan sangat bahaya.19.30"Kakak! Kakak! Tangannya nakal sekali. Anya kan ingin fokus menonton," kilahnya saat tangan Raihan masuk ke dalam bajunya tanpa permisi, membuat Rania terkejut karena ada telapak tangan yang hangat menempel pada permukaan kulitnya."Sambil nonton, sa
Hani terus menangis di atas kasur Renan dengan tersedu-sedu. Wanita paruh baya itu mengunci tubuh Vano kecil dalam pelukannya yang erat."Jangan pergi lagi pangeran kecil Nini, Nini menyayangimu pangeran kecilku," ucapnya sambil menciumi puncak kepala Vano seperti tidak akan membiarkan Vano lepas dalam dekapannya lagi."Nini angan nanis ya, Ano uma mau pelgi ke yumah angkasa Handa Enan," balasnya polos sekali. Raut wajahnya yang menggemaskan dengan mata yang membola sempurna untuk mengajarkan nininya agar tidak sedih berlarut-larut.Renan mengurut leher belakangnya karena sakit dan pegal. Sudah lebih dari 30 menit ibunya menangis tersedu-sedu. Di tangan Renan sendiri ada sebuah foto album. Disana, ada foto Renan dan Raihan saat masih seumuran Vano sekarang. Jelas saja, foto abang Raihannya yang masih kecil persis dan tidak ada bedanya dengan putra bungsu Rania yang ada dipelukan ibunya.Jika orang lain melihat, maka mereka membenarkan ba
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini