"Aku tidak bilang apa-apa pada ayah, jangan menyalahkanku!" Raihan menarik lengannya dengan kasar, sehingga kuku-kuku dari jari milik Renan menggores kulit kecoklatannya.
"Kenapa tidak kau saja yang pindah bersama Jihan ke Bandung, kenapa harus aku? Aku tahu aku bukan pewaris sah perusahaan ayah. Tapi, setidaknya jangan atur kehidupanku, Abang!" bentak Renan dengan diliputi api kemarahan yang meledak-ledak. Dia benci menjadi boneka ayahnya yang selalu mementingkan kepentingan pribadi."Aku tidak melakukan apapun, Ren!" sela Raihan lagi, dia merasa difitnah dengan sesuatu hal yang tidak dia lakukan.Renan mengepalkan kedua tangannya. "Abang egois! Lihat saja aku akan membawa Rania dan Vano untuk ikut denganku." Renan pergi meninggalkan Raihan, dia berniat untuk menenangkan dirinya dan pergi ke balkon atap rumah sakit. Dia benci karena ekspektasi yang selalu ia bangun selalu dipatahkan, terlebih lagi oleh ayahnya sendiri."R-ren, ak-" omongannya"Ibu, sebenarnya tidak ingin pulang, tapi Raihan memaksa," ujar sang ibu dengan sengaja, membuat Raihan menjadi menghela napas pasrah. "Bukan seperti itu, Bu …." responnya dengan sabar. Lalu, menyentuh lengan ibunya. "Besok kan bisa kesini lagi, pasti Raihan jemput, kok." "Padahal Ibu bisa menginap." "Ibu .…" "Iya-iya, aku mengalah," final Hani. Akhirnya wanita itu berdiri dan mencium dahi cucunya yang sudah tertidur lelap. "Cepat sembuh cucu kesayangan Nini." "Ibu, istirahatlah, Anya ada disini menjaga Vano," ucap Rania dan memberi janji pada Hani untuk menjaga Vano. "Kau juga istirahat, putriku." Rania membalas dengan senyuman dan anggukan. Sungguh senang, jika dianggap sebagai putri sendiri oleh Hani. "Hati-hati Ibu," pesan Rania pada Hani yang sudah menggandeng tasnya. Wanita paruh baya yang selalu berpakaian modis dan menjadi kebanggaan Rania. "Aku pergi dan kau istirahatlah," timpal Raiha
Siang itu sedikit menegangkan karena Raihan tidak menampilkan wajah ceria, dia terus memasang wajah sinis sebelum operasi dimulai. Dia bahkan mendiamkan Renan dan Rania. Walau begitu, tangannya tetap menggandeng Rania untuk menemaninya pemeriksaan dan pembiusan. "Tanganku kebas, sejak tadi Mas memegangnya, apa tidak bisa dilepas dulu, rasanya seperti kesemutan," protes Rania sambil menggerak-gerakkan tangannya, minta dilepas dari apitan Raihan. Raihan diam saja tidak membalas perkataan Rania. Bukannya dilepaskan, tangan itu semakin erat ia genggam. "Mas, tolong jangan diam seperti ini." "Berani-beraninya tadi malam tidur berduaan di ruangan Vano, kau pikir itu bagus? Tontonan tidak senonoh yang menodai mataku," balasnya dengan nada dingin. Oh, jelas cemburu sekali dia melihat apa yang terjadi tadi malam. Semalam, dia sampai tersentak melihat Renan yang tertidur memeluk Rania dari belakang. Laki-laki itu tanpa pemikiran lagi, langsung
"Loh, katanya ingin menyusun ke dalam lemari?" tanya Jihan yang membuat Rania membelalakkan matanya. Kok jadi begini? Kan dia calon istrinya, harusnya dia yang menyusun baju calon suaminya, bukan Rania. "Kan sudah ada dirimu," jawab Rania spontan. Bisa-bisanya wanita itu tidak ada inisiatif menyusunnya sendiri, pikir Rania. "Tapi, kau yang disuruh Ibu," sela Raihan dengan wajahnya yang terus memandang Rania dengan cinta. Apalagi baru sudah selesai operasi, semakin rindu ingin diperhatikan oleh bunanya Vano. Rania meneguk ludahnya dengan susah payah, kepalang salah tingkah jika begini. "Buat apa? Sudah ada calon istrinya, kenapa aku yang harus melakukannya? Aku juga bukan pembantu." Rania melipir begitu saja tanpa mendengarkan tanggapan Raihan dan Jihan lebih dulu. Menyisakan Raihan yang menatap punggung kecil Rania yang semakin lama menghilang. Raihan sadar, Rania memang sepertinya sangat kesal dengan sikap dirinya yang pli
Lima hari pasca operasi Vano, anak itu harus masih dirawat beberapa hari disana. "Endong-endong! Ano mau endong, Buna!" rewelnya pada ibunya yang baru saja masuk ke ruangannya bersamaan dengan Handa Raihan yang berjalan dengan selang infus yang masih bertengger nyaman di area pergelangan tangan. "Uhhh, anak Buna rewel sekali," ucap Rania menggendong Vano hati-hati, takut akan menyenggol bekas operasi yang masih sedikit basah. Di sampingnya, Hani membantu memperbaiki posisi infus Vano. Memang, anak kecil tidak akan lepas dari kebiasaan yang suka bergerak di masa pertumbuhannya. "Muah ... muah ... anak Buna paling tampan." "Ucu, Ano mau mimik ucu," pintanya pada Buna, membuat Rania menoleh pada Hani dan Raihan secara bergantian. Raihan menaikkan satu alisnya saat mendapatkan tatapan dari ibunya Vano. "Kenapa melihat ke arahku?" tanyanya saat itu, penasaran apa yang dipikirkan oleh wanita itu. "Aku tidak melihat Mas, kok," ungkap Rania Kikuk. Dia juga sebenarnya tidak bermaksud mena
Rania membantu Raihan melepaskan bajunya. Hari ini, dia yang membantu handanya Vano untuk mandi. Kabarnya, Jihan tidak bisa mengurus sampai sore, dia sedang ada acara dengan teman-temannya. Sekarang, mereka berada di dalam kamar mandi ruangan milik Raihan. "Aku ingin pipis, Rania," sebut Raihan yang tengah memperhatikan Rania menyiapkan alat mandi laki-laki itu. "Baik, Mas. Rania bantu Mas membuka celana baru keluar," balas Rania dan kini berganti posisi sedikit membungkukkan tubuhnya di hadapan Raihan. "Loh, kenapa keluar?" "Terus? Masa Rania harus melihat Mas pipis," tukas Rania dengan keheranan atas pertanyaan Raihan. "Memangnya kenapa? Mana tahu kita akan membuat adik untuk Vano," cakap Raihan dengan tidak masuk akalnya. Tidak peduli, dia memang tengah serius pada bunanya Vano. Rania menurunkan celana Raihan dengan kasar. "Mas sudah janji akan menerima semuanya. Mas sendiri yang memilih Jihan dan melepaskan Rania." "Kau cemburu?" "Tidak." "Aku akan bilang pada ibu dan aya
Setelah hampir pukul 21.00, Rania dan Renan memilih untuk mengobrol di rooftop rumah sakit sambil menghirup udara malam yang sebenarnya tidak bagus untuk kesehatan. Namun, dari sanalah pemandangan ibu kota nampak terlihat, memandangnya dapat membuat pikiran tenang sejenak. Ada banyak obrolan yang mereka bahas atau saling bercanda ria tanpa peduli sekitar mereka. Hingga mereka memasuki topik utama yang sedari awal sudah direncanakan. "Bandung, lumayan jauh untukku …," ucap Rania sambil memandangi jalanan ibu kota pada malam hari dari atas atap gedung rumah sakit yang anaknya tempati. Renan tersenyum tipis, dia membuka jaket hitamnya dan dipasangkan ke tubuh Rania dari belakang. Lalu, tubuh Renan menempel pada punggung Rania. Kedua telapak tangannya bergerak menggenggam jari-jemari wanita yang ia cintai tersebut. "A-aku ingin membawa kalian, tapi Vano juga butuh sosok ayahnya …," kilahnya sambil menciumi puncak kepala Rania. Rambut wanitanya sangat harum, beraroma jeruk dan sangat m
Alis Vano tertaut sempurna tatkala melihat bunanya sedang menggendong anak bayi yang disebut-sebut sebagai adik Ano. Sejak bunanya dan handa Enan membawa anak bayi tersebut, Ano merasa diabaikan. Apalagi adik kecil itu selalu diperhatikan dan diajak berbicara, ada rasa cemburu yang menyelimuti hatinya. Bisa-bisanya Buna Rania tidak memihak padanya lagi. Ingat saja tadi, Vano berbicara bahwa ia ingin dibelikan sepeda jika ia sudah keluar dari rumah sakit. Nyatanya, permintaannya ditolak karena Rania berkata Vano sudah punya adik. Jadi, dirinya tidak boleh meminta ini itu lagi karena buna akan membelikan adiknya saja mainan mulai sekarang. Buna dan handa Enan sibuk mengurus bayi laki-laki itu, sehingga Ano merasa tidak dipedulikan lagi. Berkali-kali mencoba mencari perhatian dengan tingkah-tingkah aneh yang bisa memicu atensi orang-orang, tapi tetap tidak mempan. "B-buna! Buna! Ano mau di endong!" pintanya pada buna. Matanya sedikit membulat karena adik kecil ikut menolehkan kepalany
"Bagaimana dengan dua bulan yang akan datang?" tanya Danu pada anaknya, Jihan dan pada calon menantunya, Raihan. Haru yang ada disana, tampak mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kaca yang ada di depannya. Bahkan, air tehnya sudah tidak lagi beruap. "Jihan mengikuti saja, tergantung keinginan mas Raihan," jawab wanita itu dengan sopan, matanya sedikit melirik Raihan yang tampaknya sedang melamun. "Bagaimana denganmu, Raihan?" Danu mengalihkan pandangan pada Raihan yang jiwanya seperti tidak ada disana. Tidak ada jawaban, sampai akhirnya Jihan yang menyenggol lengan calon suaminya. "Mas!" "H-hah! I-itu," gagap Raihan karena kesadarannya sudah kembali lagi. Dia bingung, sudah sampai dimana pembicaraan mereka. Alhasil, dia menatap Jihan untuk mendapatkan jawaban. "Kau kenapa, Nak? Apa yang sedang kau pikirkan? Ini kita sedang membahas pernikahanmu," sela Haru. Dia tahu, pikiran putra sulungnya pasti sedang mengarah pada yan