Luna mendengus dan tersenyum mengejek. "Bangun tidur sudah langsung melamarku? Minimal ada cincin berlian dan bunga," katanya bercanda, mencoba mencairkan suasana."Benarkah? Jika aku menyiapkan semuanya, apakah nanti kamu akan menerima lamaranku?" balas Rayyanza, setengah bercanda."Tentu saja tidak!" Luna memutar bola matanya, pura-pura kesal.Rayyanza mencubit hidung Luna dengan gemas, kemudian beranjak. "Sudah, aku harus bersiap-siap pergi ke kantor."Pria itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Luna menyiapkan roti sandwich dan segelas teh manis hangat, lalu menatanya di atas meja ruang televisi.Beberapa saat kemudian, Rayyanza keluar dari kamar mandi. Luna tercekat melihat tubuh yang hanya terbalut handuk hingga sebatas pinggang. Dada bidang dengan sedikit otot membuat Luna menelan salivanya secara otomatis.Rayyanza melangkah dengan meninggalkan jejak basah di lantai, masuk ke dalam kamar Luna untuk mengenakan pakaian. "Sayang ...," panggil Rayy
Di dalam unit apartemen penthouse, Luna termangu. Pikirannya berkelana jauh, dan perasaanya pun campur aduk. "Halo ... Luna?" Suara Amanda memecah lamunannya. Luna terkesiap. "Ah, ya, Manda," ia berusaha menenangkan suaranya. "Aku yakin itu hanya sekadar mimpi. Tidak usah terlalu dipikirkan, namanya juga bunga tidur." "Tapi, perasaanku juga tidak enak, Luna," Amanda melanjutkan, kekhawatiran terdengar jelas dalam suaranya. Luna kembali termenung. Rasa bersalah menyelimuti hatinya, membuat dadanya terasa berat. "Oh ya, kapan kamu akan kembali ke Indonesia?" tanya Luna, mengalihkan pembicaraan. "Sekitar empat bulan lagi," sahut Amanda. "Ternyata masih lama, ya?" "Pekerjaanku di sini belum selesai. Ayo, main ke sini bersama Rayyan. Aku sangat merindukanmu," ungkap Amanda. "Oh, ya, kapan kamu kembali bekerja?" "Ya, nanti kapan-kapan aku main ke Singapura. Kalau untuk masuk bekerja, aku belum tahu, tapi kemungkinan minggu depan," jawab Luna, berusaha terdengar tenang. "Jika kam
Luna menikmati ketenangan di taman seorang diri. Jemarinya melingkar di gelas ice moccacino yang dingin. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya yang cantik, memberi ketenangan walau sesaat.Tiba-tiba, ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama Rayyanza tertera pada layar, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Hallo ..." jawabnya lembut."Hallo, Sayang. Sedang apa?" suara Rayyanza terdengar hangat di seberang sana."Aku sedang duduk di taman," balas Luna."Bersama siapa?" "Sendirian," jawab Luna singkat."Perlu aku temani?" tawaran Rayyanza membuat hati Luna berbunga-bunga."Memangnya, kamu sudah tidak sibuk?" "Aku baru saja selesai bertemu dengan klien. Bagaimana, apa hari ini kita jadi jalan-jalan?" ajak Rayyanza.Tanpa sadar, Luna mengangguk semangat. "Ya, jadi," jawabnya, senang."Baiklah, Sayang ... aku akan segera menjemputmu.""Aku tunggu di taman," ucap Luna sebelum mengakhiri panggilan.Di kantornya, Rayyanza bergegas merapikan dokumen-dokumen yang tergeletak di at
Luna melangkah cepat menuju lobi, mengabaikan panggilan Rayyanza. Matanya terfokus pada pintu lift yang tertutup di depannya. Rayyanza bergegas menyusul, dan tepat sebelum Luna masuk ke lift, ia meraih tangannya lembut. "Ayolah, Sayang. Maafkan aku. Mari kita jalan-jalan," bujuk Rayyanza dengan wajah memelas. Luna menghela napas, "Tidak! Aku sudah tidak berselera." Tanpa menyerah, Rayyanza menggenggam tangan Luna lebih erat dan menuntunnya ke arah basement. Meski enggan, Luna akhirnya mengikuti langkah Rayyanza menuju mobil. Wajahnya masih menunjukkan ketidaksenangan saat ia duduk di kursi penumpang. Rayyanza mengambil posisi di kursi kemudi, lalu menoleh ke arah Luna. "Sayang ..., aku minta maaf," ucapnya dengan tulus, berusaha meredakan ketegangan. "Aku tidak suka dengan caramu cemburu," balas Luna, masih dengan ekspresi kesal. "Tapi-." Rayyanza hampir saja terpancing emosi, namun ia berhasil menahan diri. Ia tidak ingin suasana semakin memburuk. Ia kemudian berdehem pela
Di ruang apartemen yang tenang, Luna dan Rayyanza saling mendekatkan wajah, terbawa oleh suasana yang romantis. Namun, tepat saat bibir mereka hampir bersentuhan, Sus Runi melangkah melewati mereka menuju kamar.Terkejut, keduanya tersentak dan segera menjauhkan diri, salah tingkah seperti remaja yang tertangkap basah. Luna kembali fokus pada televisi, sementara Rayyanza sibuk menimang Arshaka hingga bayi mungil itu tertidur pulas.Setelah memastikan Arshaka terlelap, Rayyanza dengan hati-hati membawanya ke dalam kamar. Ia membaringkan putranya di tempat tidur, lalu ikut berbaring di sampingnya. Sejenak, ia memandangi wajah damai Arshaka, merasakan kebahagiaan yang membuncah dalam dadanya."Sayang ... kemari sebentar," panggil Rayyanza lembut.Luna beranjak dari sofa, melangkah pelan menghampiri Rayyanza masuk ke dalam kamar. "Ada apa?" tanyanya halus.Rayyanza menepuk bantal di sebelahnya, "Sini, rebahkan tubuhmu."Tanpa ragu, Luna menuruti permintaan Rayyanza. Begitu Luna berbaring,
Pria yang mengawasi Rayyanza dan Luna, segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Jemarinya dengan cepat mencari kontak Amanda, dan tanpa ragu ia menekan tombol panggil."Halo ..., Manda. Kamu di mana?" tanyanya dengan nada santai.Suara Amanda terdengar sedikit terkejut di seberang sana. "Hai, Boy ... Aku di Singapura. Tumben menghubungiku, ada apa?""Oh, aku kira kamu ada di Jakarta.""Tidak, memangnya kenapa, Boy?" Amanda bertanya, ia sangat penasaran mengapa pria itu tiba-tiba saja menghubunginya. Boy, masih terus mengawasi Rayyanza, ia menjawab dengan hati-hati, "Tidak ada apa-apa, aku hanya tiba-tiba saja teringat padamu." kata pria yang mengenakan kemeja hitam tersebut.Awalnya, Boy, putra rekan bisnis Ayah Amanda, berniat melaporkan apa yang dilihatnya. Namun, sesuatu menahannya. Ia berpikir mungkin Amanda pasti sedang sibuk mengurus perusahaan ayahnya di Singapura. Tidak ingin memperkeruh, ia segera mengurungkan niatnya.Di seberang sana, Amanda terdiam sejenak. I
Luna mengerutkan alisnya, rasa tidak suka terpancar jelas dari raut wajahnya. Ia merasa terkekang oleh larangan Rayyanza, namun di sisi lain, kesadaran akan peran penting pria itu dalam hidupnya membuat Luna bimbang. Tanpa Rayyanza, ia tahu kehidupannya dan Arshaka mungkin akan jauh lebih sulit.Setelah pergulatan batin yang singkat, Luna akhirnya memilih untuk mengalah. "Baiklah jika itu maumu," Seusai makan, keduanya memutuskan untuk pulang. Kekhawatiran akan Arshaka yang ditinggal berdua bersama Sus Runi di apartemen mulai menggelayut dalam benak mereka. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru, mereka berjalan menuju area parkir.Tanpa mereka sadari, Boy telah menunggu kemunculan mereka di sana. Matanya awas mengamati setiap gerakan Luna dan Rayyanza yang hendak memasuki mobil. "Siapa wanita itu?" gumamnya penasaran, jemarinya bersiap di atas tombol kamera ponselnya.Namun, nasib tidak berpihak pada Boy. Saat ia hendak mengambil foto Luna, rambut panjang wanita itu yang tergerai
"Klien baru," jawab Rayyanza dengan cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Dia baru berencana akan berinvestasi di perusahaanku." Kebohongan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.Amanda terdiam sejenak, intuisinya mengatakan bahwa ada yang tidak beres. Namun, ia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh saat ini. Dengan suara tenang, ia menjawab, "Oh ... aku kira kamu kemana.""Sayang ... badanku lengket. Aku mandi dulu, ya. Nanti aku hubungi lagi, oke?"Setelah menutup telepon, Rayyanza menarik napas lega. "Ah ..., akhirnya Amanda tidak mendesakku," gumamnya, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar. Namun, tiba-tiba pikirannya melayang jauh pada Luna. Sebuah perasaan posesif yang kuat bersemayam dalam hatinya. Ia tidak ingin Luna dimiliki oleh pria manapun.Sementara itu, di Singapura, Amanda duduk termenung di tepi ranjang. Keresahan menggerogoti hatinya. Pengakuan Rayyanza terasa janggal, meninggalkan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Ta