Pria yang mengawasi Rayyanza dan Luna, segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Jemarinya dengan cepat mencari kontak Amanda, dan tanpa ragu ia menekan tombol panggil."Halo ..., Manda. Kamu di mana?" tanyanya dengan nada santai.Suara Amanda terdengar sedikit terkejut di seberang sana. "Hai, Boy ... Aku di Singapura. Tumben menghubungiku, ada apa?""Oh, aku kira kamu ada di Jakarta.""Tidak, memangnya kenapa, Boy?" Amanda bertanya, ia sangat penasaran mengapa pria itu tiba-tiba saja menghubunginya. Boy, masih terus mengawasi Rayyanza, ia menjawab dengan hati-hati, "Tidak ada apa-apa, aku hanya tiba-tiba saja teringat padamu." kata pria yang mengenakan kemeja hitam tersebut.Awalnya, Boy, putra rekan bisnis Ayah Amanda, berniat melaporkan apa yang dilihatnya. Namun, sesuatu menahannya. Ia berpikir mungkin Amanda pasti sedang sibuk mengurus perusahaan ayahnya di Singapura. Tidak ingin memperkeruh, ia segera mengurungkan niatnya.Di seberang sana, Amanda terdiam sejenak. I
Luna mengerutkan alisnya, rasa tidak suka terpancar jelas dari raut wajahnya. Ia merasa terkekang oleh larangan Rayyanza, namun di sisi lain, kesadaran akan peran penting pria itu dalam hidupnya membuat Luna bimbang. Tanpa Rayyanza, ia tahu kehidupannya dan Arshaka mungkin akan jauh lebih sulit.Setelah pergulatan batin yang singkat, Luna akhirnya memilih untuk mengalah. "Baiklah jika itu maumu," Seusai makan, keduanya memutuskan untuk pulang. Kekhawatiran akan Arshaka yang ditinggal berdua bersama Sus Runi di apartemen mulai menggelayut dalam benak mereka. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru, mereka berjalan menuju area parkir.Tanpa mereka sadari, Boy telah menunggu kemunculan mereka di sana. Matanya awas mengamati setiap gerakan Luna dan Rayyanza yang hendak memasuki mobil. "Siapa wanita itu?" gumamnya penasaran, jemarinya bersiap di atas tombol kamera ponselnya.Namun, nasib tidak berpihak pada Boy. Saat ia hendak mengambil foto Luna, rambut panjang wanita itu yang tergerai
"Klien baru," jawab Rayyanza dengan cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Dia baru berencana akan berinvestasi di perusahaanku." Kebohongan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.Amanda terdiam sejenak, intuisinya mengatakan bahwa ada yang tidak beres. Namun, ia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh saat ini. Dengan suara tenang, ia menjawab, "Oh ... aku kira kamu kemana.""Sayang ... badanku lengket. Aku mandi dulu, ya. Nanti aku hubungi lagi, oke?"Setelah menutup telepon, Rayyanza menarik napas lega. "Ah ..., akhirnya Amanda tidak mendesakku," gumamnya, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar. Namun, tiba-tiba pikirannya melayang jauh pada Luna. Sebuah perasaan posesif yang kuat bersemayam dalam hatinya. Ia tidak ingin Luna dimiliki oleh pria manapun.Sementara itu, di Singapura, Amanda duduk termenung di tepi ranjang. Keresahan menggerogoti hatinya. Pengakuan Rayyanza terasa janggal, meninggalkan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Ta
Amanda duduk di sofa, matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan teliti. Tak ada yang tampak janggal, semuanya terlihat normal seperti biasa. Namun, ia tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal.Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, jemarinya segera menekan nomor Rayyanza. Nada sambung terus berbunyi tanpa jawaban. Amanda menghela napas, ia mulai merasa kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya, tapi tak ada jawaban sama sekali.Merasa tak bisa lagi berdiam diri, Amanda memutuskan untuk mencari informasi dari asisten pribadinya. Dengan langkah tegas, ia menuju ruangan Dessy. Tanpa basa-basi, ia langsung membuka pintu dan masuk.Dessy terkejut ketika melihat Istri Pak CEO yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangannya. "Siang... kemana pak Rayyanza? Apakah siang ini dia ada jadwal meeting atau bertemu klien?" tanya Amanda.Dessy mengerutkan dahi. "Sepertinya tidak ada, Bu. Sebentar, saya coba cek jadwalnya," jawabnya seraya membuka folder jadwal. "T
Dengan tangan gemetar, Rayyanza menyerahkan Arshaka, anak mereka, kepada Luna. Ia segera memakai sepatunya dengan tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang seiring dengan langkahnya yang cepat menuju lift.Sementara itu, di lobi apartemen, Amanda melangkah perlahan menuju lift. Belum sempat kakinya mencapai lift, sebuah suara bariton menyapanya."Amanda?"Ia langsung berbalik, mencari sumber suara. Matanya bertemu dengan sosok pria tampan yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu tersenyum hangat padanya.Tepat pada saat itu, pintu lift terbuka. Rayyanza, yang baru saja turun, terbelalak melihat sosok Amanda yang berdiri membelakangi lift. Dengan gerakan cepat, ia berbalik badan, bersyukur Amanda belum menyadari kehadirannya. Pintu lift kembali menutup, membawa Rayyanza turun menuju basement. Kali ini, ia berhasil meloloskan diri. "Ryuki?" Amanda menyapa pria bermata sipit itu, nada suaranya menyiratkan keterkejutan sekaligus kegembiraan.Tanpa pikir panjang, Amanda mengajak Ryuki untu
Rayyanza berdiri di depan cermin di ruang kerjanya, berusaha menenangkan diri sambil merapikan penampilannya. Tanpa ia sadari, aroma minyak bayi yang sebelumnya digosokkan oleh Sus Runi pada tubuh Arshaka masih menempel di kemejanya.Jantungnya berdebar kencang saat Amanda tiba-tiba masuk ke dalam ruangan."Mengapa wangi bayi?" tanya Amanda, hidungnya menangkap aroma yang tak asing ketika ia memeluk Rayyanza.Rayyanza terkejut dan gugup seketika. "Oh, ya?" Ia menunduk, menarik sedikit kemeja dan menciumnya. Kaget, ia menyadari bahwa aroma Arshaka memang masih tertinggal.Otaknya berpacu mencari alasan. "Tadi, aku bertemu calon investor yang membawa anak kecil. Ya, nama investornya Pak Hendra," Rayyanza berbohong, berusaha terdengar meyakinkan. "Anaknya menggemaskan sekali, jadi aku gendong sebentar. Tapi aku tidak menyangka wanginya akan menempel seperti ini."Amanda menyimak, memperhatikan gelagat Rayyanza yang mencurigakan. "Tapi, sebelumnya aku tanya asistenmu, kamu tidak ada jadwa
Rayyanza tiba-tiba menyadari bahwa perdebatan mereka telah menarik perhatian orang-orang yang ada di lobi. Ia melepaskan cengkeramannya dari kerah Ryuki, berusaha menenangkan diri.Ryuki merapikan kemejanya yang kusut lalu tersenyum. "Bagaimana kalau kita mengopi?" tawarnya."Aku tidak punya waktu!" jawab Rayyanza ketus, berusaha mengakhiri percakapan secepatnya.Mengabaikan Ryuki, Rayyanza bergegas memesan beberapa minuman dan makanan, membayarnya dengan tergesa-gesa."Apa kamu tidak takut Amanda mengetahuinya?" Ryuki kembali memancing saat Rayyanza akan melangkah pergi.Rayyanza menghentikan langkah, menoleh, menatap Ryuki dengan tatapan tajam. "Mengapa kamu mengurusi urusanku?" balasnya sinis.Ryuki terdiam sejenak kemudian berkata, "Aku menyukai Luna. Aku tidak ingin kamu menyakitinya! Sebaiknya, kamu tidak usah serakah."Rayyanza mendengus dan tersenyum sinis. "Sudah kuduga, kamu pasti mempunyai maksud tertentu," ujarnya. "Asal kamu tahu, aku tidak takut Amanda mengetahuinya dan
Rayyanza, dengan gerak-gerik canggung, tiba-tiba berkata, "A-Aku mau ke toilet." katanya dengan terbata-bata. Ia bergegas melangkah menuju toilet, memanfaatkan letak toilet yang kebetulan berdekatan dengan dapur.Luna, bangkit perlahan, melangkah ke dapur untuk menyiapkan susu. Tanpa sengaja, matanya menangkap bayangan Rayyanza melalui celah pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Pria itu terlihat gelisah dan salah tingkah.Setelah selesai, Luna kembali ke ruang tamu. Ia menyerahkan botol susu kepada Amanda yang tengah menggendong Arshaka. Bayi mungil itu segera menyambut botolnya, menyedot isinya dengan penuh semangat.Tak lama kemudian, Rayyanza kembali dan duduk di samping Amanda. Suasana mulai mencair ketika Amanda berkata dengan nada riang, "Sayang, lihat, dia tampan sekali dan sangat menggemaskan." Rayyanza melirik Arshaka, lalu tersenyum kaku, mengangguk menanggapi ucapan Amanda."Oh, ya, kapan kamu akan mulai bekerja?" tanya Amanda pada Luna. Pertanyaan itu membuat Luna bingu
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka