Luna melangkah cepat menuju lobi, mengabaikan panggilan Rayyanza. Matanya terfokus pada pintu lift yang tertutup di depannya. Rayyanza bergegas menyusul, dan tepat sebelum Luna masuk ke lift, ia meraih tangannya lembut. "Ayolah, Sayang. Maafkan aku. Mari kita jalan-jalan," bujuk Rayyanza dengan wajah memelas. Luna menghela napas, "Tidak! Aku sudah tidak berselera." Tanpa menyerah, Rayyanza menggenggam tangan Luna lebih erat dan menuntunnya ke arah basement. Meski enggan, Luna akhirnya mengikuti langkah Rayyanza menuju mobil. Wajahnya masih menunjukkan ketidaksenangan saat ia duduk di kursi penumpang. Rayyanza mengambil posisi di kursi kemudi, lalu menoleh ke arah Luna. "Sayang ..., aku minta maaf," ucapnya dengan tulus, berusaha meredakan ketegangan. "Aku tidak suka dengan caramu cemburu," balas Luna, masih dengan ekspresi kesal. "Tapi-." Rayyanza hampir saja terpancing emosi, namun ia berhasil menahan diri. Ia tidak ingin suasana semakin memburuk. Ia kemudian berdehem pela
Di ruang apartemen yang tenang, Luna dan Rayyanza saling mendekatkan wajah, terbawa oleh suasana yang romantis. Namun, tepat saat bibir mereka hampir bersentuhan, Sus Runi melangkah melewati mereka menuju kamar.Terkejut, keduanya tersentak dan segera menjauhkan diri, salah tingkah seperti remaja yang tertangkap basah. Luna kembali fokus pada televisi, sementara Rayyanza sibuk menimang Arshaka hingga bayi mungil itu tertidur pulas.Setelah memastikan Arshaka terlelap, Rayyanza dengan hati-hati membawanya ke dalam kamar. Ia membaringkan putranya di tempat tidur, lalu ikut berbaring di sampingnya. Sejenak, ia memandangi wajah damai Arshaka, merasakan kebahagiaan yang membuncah dalam dadanya."Sayang ... kemari sebentar," panggil Rayyanza lembut.Luna beranjak dari sofa, melangkah pelan menghampiri Rayyanza masuk ke dalam kamar. "Ada apa?" tanyanya halus.Rayyanza menepuk bantal di sebelahnya, "Sini, rebahkan tubuhmu."Tanpa ragu, Luna menuruti permintaan Rayyanza. Begitu Luna berbaring,
Pria yang mengawasi Rayyanza dan Luna, segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Jemarinya dengan cepat mencari kontak Amanda, dan tanpa ragu ia menekan tombol panggil."Halo ..., Manda. Kamu di mana?" tanyanya dengan nada santai.Suara Amanda terdengar sedikit terkejut di seberang sana. "Hai, Boy ... Aku di Singapura. Tumben menghubungiku, ada apa?""Oh, aku kira kamu ada di Jakarta.""Tidak, memangnya kenapa, Boy?" Amanda bertanya, ia sangat penasaran mengapa pria itu tiba-tiba saja menghubunginya. Boy, masih terus mengawasi Rayyanza, ia menjawab dengan hati-hati, "Tidak ada apa-apa, aku hanya tiba-tiba saja teringat padamu." kata pria yang mengenakan kemeja hitam tersebut.Awalnya, Boy, putra rekan bisnis Ayah Amanda, berniat melaporkan apa yang dilihatnya. Namun, sesuatu menahannya. Ia berpikir mungkin Amanda pasti sedang sibuk mengurus perusahaan ayahnya di Singapura. Tidak ingin memperkeruh, ia segera mengurungkan niatnya.Di seberang sana, Amanda terdiam sejenak. I
Luna mengerutkan alisnya, rasa tidak suka terpancar jelas dari raut wajahnya. Ia merasa terkekang oleh larangan Rayyanza, namun di sisi lain, kesadaran akan peran penting pria itu dalam hidupnya membuat Luna bimbang. Tanpa Rayyanza, ia tahu kehidupannya dan Arshaka mungkin akan jauh lebih sulit.Setelah pergulatan batin yang singkat, Luna akhirnya memilih untuk mengalah. "Baiklah jika itu maumu," Seusai makan, keduanya memutuskan untuk pulang. Kekhawatiran akan Arshaka yang ditinggal berdua bersama Sus Runi di apartemen mulai menggelayut dalam benak mereka. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru, mereka berjalan menuju area parkir.Tanpa mereka sadari, Boy telah menunggu kemunculan mereka di sana. Matanya awas mengamati setiap gerakan Luna dan Rayyanza yang hendak memasuki mobil. "Siapa wanita itu?" gumamnya penasaran, jemarinya bersiap di atas tombol kamera ponselnya.Namun, nasib tidak berpihak pada Boy. Saat ia hendak mengambil foto Luna, rambut panjang wanita itu yang tergerai
"Klien baru," jawab Rayyanza dengan cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Dia baru berencana akan berinvestasi di perusahaanku." Kebohongan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.Amanda terdiam sejenak, intuisinya mengatakan bahwa ada yang tidak beres. Namun, ia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh saat ini. Dengan suara tenang, ia menjawab, "Oh ... aku kira kamu kemana.""Sayang ... badanku lengket. Aku mandi dulu, ya. Nanti aku hubungi lagi, oke?"Setelah menutup telepon, Rayyanza menarik napas lega. "Ah ..., akhirnya Amanda tidak mendesakku," gumamnya, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar. Namun, tiba-tiba pikirannya melayang jauh pada Luna. Sebuah perasaan posesif yang kuat bersemayam dalam hatinya. Ia tidak ingin Luna dimiliki oleh pria manapun.Sementara itu, di Singapura, Amanda duduk termenung di tepi ranjang. Keresahan menggerogoti hatinya. Pengakuan Rayyanza terasa janggal, meninggalkan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Ta
Amanda duduk di sofa, matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan teliti. Tak ada yang tampak janggal, semuanya terlihat normal seperti biasa. Namun, ia tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal.Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, jemarinya segera menekan nomor Rayyanza. Nada sambung terus berbunyi tanpa jawaban. Amanda menghela napas, ia mulai merasa kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya, tapi tak ada jawaban sama sekali.Merasa tak bisa lagi berdiam diri, Amanda memutuskan untuk mencari informasi dari asisten pribadinya. Dengan langkah tegas, ia menuju ruangan Dessy. Tanpa basa-basi, ia langsung membuka pintu dan masuk.Dessy terkejut ketika melihat Istri Pak CEO yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangannya. "Siang... kemana pak Rayyanza? Apakah siang ini dia ada jadwal meeting atau bertemu klien?" tanya Amanda.Dessy mengerutkan dahi. "Sepertinya tidak ada, Bu. Sebentar, saya coba cek jadwalnya," jawabnya seraya membuka folder jadwal. "T
Dengan tangan gemetar, Rayyanza menyerahkan Arshaka, anak mereka, kepada Luna. Ia segera memakai sepatunya dengan tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang seiring dengan langkahnya yang cepat menuju lift.Sementara itu, di lobi apartemen, Amanda melangkah perlahan menuju lift. Belum sempat kakinya mencapai lift, sebuah suara bariton menyapanya."Amanda?"Ia langsung berbalik, mencari sumber suara. Matanya bertemu dengan sosok pria tampan yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu tersenyum hangat padanya.Tepat pada saat itu, pintu lift terbuka. Rayyanza, yang baru saja turun, terbelalak melihat sosok Amanda yang berdiri membelakangi lift. Dengan gerakan cepat, ia berbalik badan, bersyukur Amanda belum menyadari kehadirannya. Pintu lift kembali menutup, membawa Rayyanza turun menuju basement. Kali ini, ia berhasil meloloskan diri. "Ryuki?" Amanda menyapa pria bermata sipit itu, nada suaranya menyiratkan keterkejutan sekaligus kegembiraan.Tanpa pikir panjang, Amanda mengajak Ryuki untu
Rayyanza berdiri di depan cermin di ruang kerjanya, berusaha menenangkan diri sambil merapikan penampilannya. Tanpa ia sadari, aroma minyak bayi yang sebelumnya digosokkan oleh Sus Runi pada tubuh Arshaka masih menempel di kemejanya.Jantungnya berdebar kencang saat Amanda tiba-tiba masuk ke dalam ruangan."Mengapa wangi bayi?" tanya Amanda, hidungnya menangkap aroma yang tak asing ketika ia memeluk Rayyanza.Rayyanza terkejut dan gugup seketika. "Oh, ya?" Ia menunduk, menarik sedikit kemeja dan menciumnya. Kaget, ia menyadari bahwa aroma Arshaka memang masih tertinggal.Otaknya berpacu mencari alasan. "Tadi, aku bertemu calon investor yang membawa anak kecil. Ya, nama investornya Pak Hendra," Rayyanza berbohong, berusaha terdengar meyakinkan. "Anaknya menggemaskan sekali, jadi aku gendong sebentar. Tapi aku tidak menyangka wanginya akan menempel seperti ini."Amanda menyimak, memperhatikan gelagat Rayyanza yang mencurigakan. "Tapi, sebelumnya aku tanya asistenmu, kamu tidak ada jadwa