Di sudut sebuah kafe, Luna dan Ryuki masih berbincang. Cangkir ice cappuccino di atas meja kini telah kosong. "Oh ya, kamu tinggal di unit berapa?" tanya Ryuki."Aku tinggal di unit tiga lima dua," jawab Luna dengan senyum tipis."Bolehkah kapan-kapan aku main ke unitmu?""Tentu saja boleh." Luna menjawab dengan ramah.Menyadari hari yang semakin malam, Luna mencoba beranjak dari duduknya, hendak kembali ke dalam unit. "Sudah malam. Kalau begitu, aku permisi," ujarnya sopan."Tunggu, Luna!" seru Ryuki tiba-tiba, membuat langkah Luna terhenti."Ada apa?" tanya Luna, sedikit terkejut.Dengan sedikit gugup, Ryuki memberanikan diri untuk bertanya, "Bolehkah aku meminta nomor teleponmu?"Tanpa keberatan, Luna kemudian memberitahukan nomor ponselnya kepada Ryuki. Setelah itu, ia berpamitan, meninggalkan Ryuki yang masih terpaku di tempat duduknya.Pria bermata sipit itu, terus memandangi Luna yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai, membangunkan Luna dari tidurnya. Jemarinya meraba nakas di samping ranjang, meraih ponsel yang berkedip lemah. Layarnya menyala, menampilkan pesan dari Rayyanza yang terbengkalai sejak semalam.[Mengapa kamu menutup teleponnya?]Luna menghela nafas panjang, membiarkan pesan itu tenggelam. Dengan langkah yang masih berat oleh kantuk, Luna melangkah ke kamar Arshaka. Di sana, putra kecilnya telah terjaga, sepasang mata bulat berbinar menatapnya."Sudah tidak menangis, jagoan mama?" tanya Luna lembut, dengan suara serak khas bangun tidur.Sus Runi, yang tengah sibuk merapikan lemari bayi, menyahut, "Dek Arshaka baru saja selesai menyusu, Bu. Tenang sekali pagi ini."Luna mengangkat Arshaka ke dalam dekapannya. "Anak mama makin tampan saja," bisiknya, mengecup pipi gembil sang buah hati."Makin hari, wajahnya semakin mirip dengan bapak ya, Bu," komentar Sus Runi.Luna tersenyum tipis mendengarnya. "Benarkah?" katanya sembari memperhatika
Senja mulai merambat ketika ketukan lembut terdengar di pintu unit. Luna membukanya, dan seketika terpana. Di hadapannya berdiri sosok pria tampan dalam balutan kemeja putih dan jeans sobek yang membuatnya terlihat begitu menawan."Ryuki?" nama itu meluncur dari bibir Luna, bercampur rasa terkejut dan senang."Aku membawakanmu ini," Ryuki tersenyum, mengangkat jinjingan berisi pizza yang menggoda.Meski ragu, Luna tak kuasa menolak kebaikan Ryuki. "Ayo, masuklah," ajaknya dengan senyum hangat.Pria bermata sipit, berhidung mancung, melepas alas kakinya dan melangkah masuk. Ia duduk di sofa dengan gerakan yang anggun."Mau minum apa?" tawar Luna."Apa saja," jawab Ryuki dengan santai. Mata pria itu menjelajahi ruangan. "Jika dilihat dari unit yang dihuninya, sepertinya suami Luna orang kaya. Karena tidak mungkin orang biasa-biasa mampu membeli unit termewah di apartemen ini," gumam Ryuki dalam hati. Ia menjadi penasaran, siapa suami Luna sebernarnya? Tiba-tiba, tangisan Arshaka memec
Di apartemen, Luna terduduk lemas, tubuhnya seolah kehilangan seluruh tenaga. Berita dari Amanda bagai petir di siang bolong, menghantam jiwanya tanpa ampun."Halo ... Luna?" seru Amanda."Ya, Manda," jawab Luna dengan suara bergetar. "Kita berdoa saja semoga Rayyan selamat," katanya, berpura-pura tenang.Setelah memutus sambungan telepon, Luna termangu. Pikirannya berkecamuk, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada Rayyanza. Jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi, bagaimana nasib dirinya dan Arshaka?Air mata mulai mengalir tanpa bisa dibendung, membasahi pipinya yang pucat. Isakan lirih lolos dari bibirnya yang bergetar. Hatinya seolah diremas kuat-kuat, meninggalkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba, tangisan Arshaka memecah keheningan dari dalam kamar, seolah ikut merasakan kesedihan ibunya. Suara tangisan itu menambah perasaan tak enak yang menyelimuti Luna.Langsung saja, Luna menyeka air mata. Dengan langkah gontai, ia bergegas masuk ke dalam kam
Malam itu, Luna membalas ciumannya. Rayyanza semakin terbawa suasana, ciuman mereka semakin dalam, kedua tangannya menyusuri lekuk tubuh Luna.Akhirnya Luna melepaskan diri, terengah-engah. "Cepat ke mobil, ganti bajumu. Bukankah kamu merindukan Arshaka?"Rayyanza tak segera beranjak. Ia memandangi bibir tipis Luna yang memerah dan basah dari jarak dekat. Ia ingin menciumnya sekali lagi, namun Luna menolak, segera membuang wajah ke samping."Cepat ambil pakaianmu, jangan lupa telepon Amanda. Beri dia kabar bahwa kamu baik-baik saja. Dia sangat mengkhawatirkanmu." kata Luna. Pria tampan itu mengangguk. "Baiklah ...." Ia kemudian beranjak. "Tapi, nanti kita tidur bertiga, oke?""Tidak! Enak saja!" tolak Luna tegas, namun senyum kecil tersungging di bibirnya.Rayyanza tersenyum, seolah mengerti dengan senyum tipis yang mengembang di bibir Luna. Dengan langkah yang tergesa, pria itu meninggalkan unit apartemen. Lift membawanya turun ke basement. Baru saat itu ia tersadar, bahwa ponseln
Di dalam kamar yang suasananya menyerupai kamar hotel, Luna terdiam. Kebimbangan dan keraguan terpancar jelas di wajahnya. Namun, belum sempat ia memutuskan, Rayyanza langsung menarik tangannya dengan lembut, membimbingnya untuk berbaring di tempat tidur.Rayyanza memiringkan tubuhnya menghadap Luna, lalu memeluknya dengan mesra. Tangannya bergerak perlahan, mengusap anak rambut yang jatuh di kening Luna. Wanita cantik itu tidak menolak, membiarkan dirinya berada dalam dekapan Rayyanza."Luna ... Sayangku," ucap Rayyanza lirih. "Selama ini, aku belum pernah mengucapkan terima kasih padamu. Kamu telah mengandung, merawat, dan melahirkan anak kita. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kamu memilih untuk mempertahankan Arshaka."Pandangan mereka bertemu, saling mengunci dalam keheningan malam. Rayyanza perlahan mengecup kening Luna dengan lembut, lalu mendekap kepalanya. Tangannya bergerak perlahan, mengelus rambut Luna dengan penuh kasih sayang, seolah ingin menidurkannya dalam pelu
Luna mendengus dan tersenyum mengejek. "Bangun tidur sudah langsung melamarku? Minimal ada cincin berlian dan bunga," katanya bercanda, mencoba mencairkan suasana."Benarkah? Jika aku menyiapkan semuanya, apakah nanti kamu akan menerima lamaranku?" balas Rayyanza, setengah bercanda."Tentu saja tidak!" Luna memutar bola matanya, pura-pura kesal.Rayyanza mencubit hidung Luna dengan gemas, kemudian beranjak. "Sudah, aku harus bersiap-siap pergi ke kantor."Pria itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Luna menyiapkan roti sandwich dan segelas teh manis hangat, lalu menatanya di atas meja ruang televisi.Beberapa saat kemudian, Rayyanza keluar dari kamar mandi. Luna tercekat melihat tubuh yang hanya terbalut handuk hingga sebatas pinggang. Dada bidang dengan sedikit otot membuat Luna menelan salivanya secara otomatis.Rayyanza melangkah dengan meninggalkan jejak basah di lantai, masuk ke dalam kamar Luna untuk mengenakan pakaian. "Sayang ...," panggil Rayy
Di dalam unit apartemen penthouse, Luna termangu. Pikirannya berkelana jauh, dan perasaanya pun campur aduk. "Halo ... Luna?" Suara Amanda memecah lamunannya. Luna terkesiap. "Ah, ya, Manda," ia berusaha menenangkan suaranya. "Aku yakin itu hanya sekadar mimpi. Tidak usah terlalu dipikirkan, namanya juga bunga tidur." "Tapi, perasaanku juga tidak enak, Luna," Amanda melanjutkan, kekhawatiran terdengar jelas dalam suaranya. Luna kembali termenung. Rasa bersalah menyelimuti hatinya, membuat dadanya terasa berat. "Oh ya, kapan kamu akan kembali ke Indonesia?" tanya Luna, mengalihkan pembicaraan. "Sekitar empat bulan lagi," sahut Amanda. "Ternyata masih lama, ya?" "Pekerjaanku di sini belum selesai. Ayo, main ke sini bersama Rayyan. Aku sangat merindukanmu," ungkap Amanda. "Oh, ya, kapan kamu kembali bekerja?" "Ya, nanti kapan-kapan aku main ke Singapura. Kalau untuk masuk bekerja, aku belum tahu, tapi kemungkinan minggu depan," jawab Luna, berusaha terdengar tenang. "Jika kam