Di apartemen, Luna terduduk lemas, tubuhnya seolah kehilangan seluruh tenaga. Berita dari Amanda bagai petir di siang bolong, menghantam jiwanya tanpa ampun."Halo ... Luna?" seru Amanda."Ya, Manda," jawab Luna dengan suara bergetar. "Kita berdoa saja semoga Rayyan selamat," katanya, berpura-pura tenang.Setelah memutus sambungan telepon, Luna termangu. Pikirannya berkecamuk, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada Rayyanza. Jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi, bagaimana nasib dirinya dan Arshaka?Air mata mulai mengalir tanpa bisa dibendung, membasahi pipinya yang pucat. Isakan lirih lolos dari bibirnya yang bergetar. Hatinya seolah diremas kuat-kuat, meninggalkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba, tangisan Arshaka memecah keheningan dari dalam kamar, seolah ikut merasakan kesedihan ibunya. Suara tangisan itu menambah perasaan tak enak yang menyelimuti Luna.Langsung saja, Luna menyeka air mata. Dengan langkah gontai, ia bergegas masuk ke dalam kam
Malam itu, Luna membalas ciumannya. Rayyanza semakin terbawa suasana, ciuman mereka semakin dalam, kedua tangannya menyusuri lekuk tubuh Luna.Akhirnya Luna melepaskan diri, terengah-engah. "Cepat ke mobil, ganti bajumu. Bukankah kamu merindukan Arshaka?"Rayyanza tak segera beranjak. Ia memandangi bibir tipis Luna yang memerah dan basah dari jarak dekat. Ia ingin menciumnya sekali lagi, namun Luna menolak, segera membuang wajah ke samping."Cepat ambil pakaianmu, jangan lupa telepon Amanda. Beri dia kabar bahwa kamu baik-baik saja. Dia sangat mengkhawatirkanmu." kata Luna. Pria tampan itu mengangguk. "Baiklah ...." Ia kemudian beranjak. "Tapi, nanti kita tidur bertiga, oke?""Tidak! Enak saja!" tolak Luna tegas, namun senyum kecil tersungging di bibirnya.Rayyanza tersenyum, seolah mengerti dengan senyum tipis yang mengembang di bibir Luna. Dengan langkah yang tergesa, pria itu meninggalkan unit apartemen. Lift membawanya turun ke basement. Baru saat itu ia tersadar, bahwa ponseln
Di dalam kamar yang suasananya menyerupai kamar hotel, Luna terdiam. Kebimbangan dan keraguan terpancar jelas di wajahnya. Namun, belum sempat ia memutuskan, Rayyanza langsung menarik tangannya dengan lembut, membimbingnya untuk berbaring di tempat tidur.Rayyanza memiringkan tubuhnya menghadap Luna, lalu memeluknya dengan mesra. Tangannya bergerak perlahan, mengusap anak rambut yang jatuh di kening Luna. Wanita cantik itu tidak menolak, membiarkan dirinya berada dalam dekapan Rayyanza."Luna ... Sayangku," ucap Rayyanza lirih. "Selama ini, aku belum pernah mengucapkan terima kasih padamu. Kamu telah mengandung, merawat, dan melahirkan anak kita. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kamu memilih untuk mempertahankan Arshaka."Pandangan mereka bertemu, saling mengunci dalam keheningan malam. Rayyanza perlahan mengecup kening Luna dengan lembut, lalu mendekap kepalanya. Tangannya bergerak perlahan, mengelus rambut Luna dengan penuh kasih sayang, seolah ingin menidurkannya dalam pelu
Luna mendengus dan tersenyum mengejek. "Bangun tidur sudah langsung melamarku? Minimal ada cincin berlian dan bunga," katanya bercanda, mencoba mencairkan suasana."Benarkah? Jika aku menyiapkan semuanya, apakah nanti kamu akan menerima lamaranku?" balas Rayyanza, setengah bercanda."Tentu saja tidak!" Luna memutar bola matanya, pura-pura kesal.Rayyanza mencubit hidung Luna dengan gemas, kemudian beranjak. "Sudah, aku harus bersiap-siap pergi ke kantor."Pria itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Luna menyiapkan roti sandwich dan segelas teh manis hangat, lalu menatanya di atas meja ruang televisi.Beberapa saat kemudian, Rayyanza keluar dari kamar mandi. Luna tercekat melihat tubuh yang hanya terbalut handuk hingga sebatas pinggang. Dada bidang dengan sedikit otot membuat Luna menelan salivanya secara otomatis.Rayyanza melangkah dengan meninggalkan jejak basah di lantai, masuk ke dalam kamar Luna untuk mengenakan pakaian. "Sayang ...," panggil Rayy
Di dalam unit apartemen penthouse, Luna termangu. Pikirannya berkelana jauh, dan perasaanya pun campur aduk. "Halo ... Luna?" Suara Amanda memecah lamunannya. Luna terkesiap. "Ah, ya, Manda," ia berusaha menenangkan suaranya. "Aku yakin itu hanya sekadar mimpi. Tidak usah terlalu dipikirkan, namanya juga bunga tidur." "Tapi, perasaanku juga tidak enak, Luna," Amanda melanjutkan, kekhawatiran terdengar jelas dalam suaranya. Luna kembali termenung. Rasa bersalah menyelimuti hatinya, membuat dadanya terasa berat. "Oh ya, kapan kamu akan kembali ke Indonesia?" tanya Luna, mengalihkan pembicaraan. "Sekitar empat bulan lagi," sahut Amanda. "Ternyata masih lama, ya?" "Pekerjaanku di sini belum selesai. Ayo, main ke sini bersama Rayyan. Aku sangat merindukanmu," ungkap Amanda. "Oh, ya, kapan kamu kembali bekerja?" "Ya, nanti kapan-kapan aku main ke Singapura. Kalau untuk masuk bekerja, aku belum tahu, tapi kemungkinan minggu depan," jawab Luna, berusaha terdengar tenang. "Jika kam
Luna menikmati ketenangan di taman seorang diri. Jemarinya melingkar di gelas ice moccacino yang dingin. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya yang cantik, memberi ketenangan walau sesaat.Tiba-tiba, ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama Rayyanza tertera pada layar, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. "Hallo ..." jawabnya lembut."Hallo, Sayang. Sedang apa?" suara Rayyanza terdengar hangat di seberang sana."Aku sedang duduk di taman," balas Luna."Bersama siapa?" "Sendirian," jawab Luna singkat."Perlu aku temani?" tawaran Rayyanza membuat hati Luna berbunga-bunga."Memangnya, kamu sudah tidak sibuk?" "Aku baru saja selesai bertemu dengan klien. Bagaimana, apa hari ini kita jadi jalan-jalan?" ajak Rayyanza.Tanpa sadar, Luna mengangguk semangat. "Ya, jadi," jawabnya, senang."Baiklah, Sayang ... aku akan segera menjemputmu.""Aku tunggu di taman," ucap Luna sebelum mengakhiri panggilan.Di kantornya, Rayyanza bergegas merapikan dokumen-dokumen yang tergeletak di at
Luna melangkah cepat menuju lobi, mengabaikan panggilan Rayyanza. Matanya terfokus pada pintu lift yang tertutup di depannya. Rayyanza bergegas menyusul, dan tepat sebelum Luna masuk ke lift, ia meraih tangannya lembut. "Ayolah, Sayang. Maafkan aku. Mari kita jalan-jalan," bujuk Rayyanza dengan wajah memelas. Luna menghela napas, "Tidak! Aku sudah tidak berselera." Tanpa menyerah, Rayyanza menggenggam tangan Luna lebih erat dan menuntunnya ke arah basement. Meski enggan, Luna akhirnya mengikuti langkah Rayyanza menuju mobil. Wajahnya masih menunjukkan ketidaksenangan saat ia duduk di kursi penumpang. Rayyanza mengambil posisi di kursi kemudi, lalu menoleh ke arah Luna. "Sayang ..., aku minta maaf," ucapnya dengan tulus, berusaha meredakan ketegangan. "Aku tidak suka dengan caramu cemburu," balas Luna, masih dengan ekspresi kesal. "Tapi-." Rayyanza hampir saja terpancing emosi, namun ia berhasil menahan diri. Ia tidak ingin suasana semakin memburuk. Ia kemudian berdehem pela
Di ruang apartemen yang tenang, Luna dan Rayyanza saling mendekatkan wajah, terbawa oleh suasana yang romantis. Namun, tepat saat bibir mereka hampir bersentuhan, Sus Runi melangkah melewati mereka menuju kamar.Terkejut, keduanya tersentak dan segera menjauhkan diri, salah tingkah seperti remaja yang tertangkap basah. Luna kembali fokus pada televisi, sementara Rayyanza sibuk menimang Arshaka hingga bayi mungil itu tertidur pulas.Setelah memastikan Arshaka terlelap, Rayyanza dengan hati-hati membawanya ke dalam kamar. Ia membaringkan putranya di tempat tidur, lalu ikut berbaring di sampingnya. Sejenak, ia memandangi wajah damai Arshaka, merasakan kebahagiaan yang membuncah dalam dadanya."Sayang ... kemari sebentar," panggil Rayyanza lembut.Luna beranjak dari sofa, melangkah pelan menghampiri Rayyanza masuk ke dalam kamar. "Ada apa?" tanyanya halus.Rayyanza menepuk bantal di sebelahnya, "Sini, rebahkan tubuhmu."Tanpa ragu, Luna menuruti permintaan Rayyanza. Begitu Luna berbaring,