“Boleh.”Layla mengerjap beberapa kali ketika mendengar jawaban Aldimas. Memang, dirinya yang menawarkan mi goreng ini, tetapi ia tidak menyangka kalau Aldimas bakal mengiakan. Hidup hampir tiga bulan bersama pria itu, membuat Layla hampir yakin kalau Aldimas bakal menolaknya dengan dingin.Sekarang, Layla bingung harus menjawab apa. Padahal tadi dia hanya basa-basi.“Kamu yang mau masak, atau saya harus masak sendiri?” tanya Aldimas kemudian, membuat Layla tersadar. Nada bicaranya biasa, tapi entah kenapa bagi Layla itu seperti sindiran.“Iya, iya, aku buatin.” Layla menyuapkan satu gulung mi lagi sebelum beranjak dari sofa.“Layla,” panggil Aldimas tiba-tiba ketika Layla sudah berdiri.“Apa?”“Bisa tidak kamu hanya menjawab satu kali. Saya tidak suka kamu mengulang jawaban seperti itu.”Layla lagi-lagi mendengkus. “Iya, iya.”“Layla.”Layla yang tidak mau mendengar ocehan Aldimas pun segera melesat ke arah dapur. Ia juga dengan terpaksa meninggalkan mangkuk mi goreng itu di ruang te
“Ya, harus.”“...Harus.”“....Rus.”“ARGH!!”Layla menendang selimutnya sendiri dan berteriak. Pembicaraannya dengan Aldimas sore tadi terus berputar di otaknya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi matanya belum bisa terpejam. Padahal, besok ia harus sudah kembali bekerja.Layla tidak punya banyak pengalaman soal pria. Ia memang pernah berpacaran beberapa kali, tetapi bukan berarti pengalamannya sebanyak itu. Mereka tidak pernah lebih dari saling berpelukan dan ciuman ringan.“Apa aku tanya Poppy, ya? Tapi... dia juga sama payahnya sama aku.” Layla mengacak rambutnya sendiri. “Atau Mike?”Tiba-tiba saja nama Mike terlintas di kepala Layla. Mike—atau Michael Hartono, adalah sahabat kecilnya yang sekarang lebih aktif di Amerika Serikat untuk karier modelnya. Waktu SMA dulu, Mike terkenal suka sekali gonta-ganti pacar.‘Jadi... dia pasti punya pengalaman lebih banyak, kan?’ pikir Layla dalam hati.Kalau dilihat dari waktunya, sekarang pasti masih siang hari di Amerika Ser
Tidak ada yang berjalan baik setelah pembicaraannya dengan Aldimas sore itu. Menelepon Mike pun tidak membuahkan hasil. Selama beberapa hari, Layla hidup seperti zombi. Ia terlalu khawatir Aldimas tiba-tiba menerobos kamarnya dan mengajaknya tidur bersama.Di sekolah pun Layla hampir tidak bisa berkonsentrasi. Ia berkali-kali ditegur rekannya, bahkan anak muridnya juga. Begitu pulang ke rumah, pikirannya kembali dipenuhi Aldimas.‘Lama-lama, aku bisa gila,’ gerutu Layla dalam hati ketika membuka pintu kamar. Hari yang sama berulang.“Layla,” suara Aldimas memanggil dari meja makan.Beberapa hari terakhir ini, Layla selalu berangkat lebih awal untuk menghindari Aldimas. Namun entah kenapa pria itu bisa bangun lebih pagi hari ini. Itu artinya, Layla tidak bisa menghindar.“H-hai,” sapa Layla kaku.“Duduk. Saya rasa kita harus bicara.”Layla menggigit bibir bawahnya dan menuruti ucapan Aldimas. Perlahan, ia menarik kursi di depan Aldimas. Lalu, seolah sudah disiapkan sejak awal, Aldimas
Awalnya, Layla berpikir semua itu hanya lelucon. Mike tidak mungkin sebaik itu untuk pulang demi dirinya. Mike tidak mungkin selenggang itu jadwalnya. Dan Mike tidak mungkin senekat itu untuk meninggalkan ‘pacar-pacarnya’ di Amerika.“Tapi, kamu gak bilang mau pulang. D-dan... ngapain kamu di sini?!” Layla mengambil satu langkah mundur begitu Mike berdiri tepat di depannya.“Aku ke rumah kamu, tapi Nenek sama Tante bilang kamu itu udah tinggal sama suami.” Mike menghela napas kasar. “Gimana aku gak syok pas dengar sendiri kamu itu udah bersuami, dan itu bukan si bajingan Raikhal?!”“Maaf, itu—““Kamu gak hamil duluan, kan?”“APA?!”“Kayaknya mustahil juga.” Mike menaruh jari telunjuknya di dagu, sembari matanya menatap ke arah perut Layla. “Kamu aja tanya soal seks sama aku.”“MICHAEL HARTONO!”Wajah Layla memerah seketika. Ini tempat umum, bagaimana bisa Mike berkata segamblang itu di sini?!“Sstt, jangan teriak-teriak dong!” Mike menurunkan kacamata hitamnya, dan menunjukkan wajah s
Hanya satu kalimat, tapi sukses membuat seluruh tubuh Layla merinding seketika. Tidak sampai sepuluh detik, pria itu meneleponnya lagi. Kali ini, Layla mau tidak mau mengangkatnya.“Halo?” sapa Layla.“Kamu di mana?”Layla menaikan sebelah alisnya. “Bukannya aku udah bilang, aku lagi karya wisata sama anak-anak?”“Aku tau,” sekilas, Layla bisa mendengar helaan napas Aldimas. “Maksud saya, posisi kamu di mana?”“Di pantai.” Dahi Layla masih berkerut, tapi ia menjawab seadaanya saja. Layla juga melihat tatapan bingung Mike, seolah bertanya ‘ada apa?’, dan Layla hanya menjawabnya dengan bahu terangkat.“Oke.”Aldimas memutuskan panggilan begitu saja, tanpa ada penjelasan soal pertanyaannya itu. Layla menatap ponselnya dengan kerutan dahi semakin dalam. Ia tahu kalau Aldimas aneh, tapi tidak pernah membayangkan bisa seaneh ini. Akhirnya, Layla tidak mau memikirkan itu lagi, dan kembali memasukan ponselnya ke saku celana.“Siapa? Suamimu?” tanya Mike, terdengar sedikit sarkas.“Kenapa nada
Bisa terlihat jelas kalau wanita itu sedang marah besar kepadanya, tapi Aldimas tidak peduli. Ia tetap mengikuti langkah berapi-api Layla. Kalau saja ada kertas yang terinjak di atas pasir itu, sudah pasti terbakar gara-gara Layla.“Kamu!” Layla tiba-tiba berbalik badan, membuat Aldimas juga berhenti melangkah.Kedua alis wanita itu berkedut-kedut, menunjukkan seberapa jengkelnya dia sekarang. Namun bukannya kesal, Aldimas malah merasa geli melihatnya. Layla terlihat seperti anak anjing yang berusaha menakut-nakuti seekor serigala.“Sampai kapan kamu mau bertingkah kayak gitu?” Layla melanjutkan, dengan tangan sibuk menyibak rambutnya yang berantakan karena angin.“Saya kenapa?”“Tiba-tiba datang, tiba-tiba panggil ‘sayang’, tiba-tiba peluk, tiba-tiba berantem sama Mike, tiba-tiba—““Itu gak tiba-tiba, saya memang sudah berencana datang ke sini,” potong Aldimas ketika menyadari kalau Layla tidak akan berhenti sebelum disela.Wanita itu menyipitkan matanya, membuat Aldimas menghela nap
Rasanya, Layla ingin melemparkan bola matanya ke kepala Aldimas sampai bolong. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu kepada sang nenek?! Belum lagi senyum mengejeknya itu dengan lirikan yang membuatnya jengkel. Pria ini pasti sedang balas dendam gara-gara Layla menghindarinya seminggu penuh.“Sini, balikin!” Layla berusaha meraih ponselnya kembali, tapi Aldimas menggerakkan tubuhnya, sehingga ia tidak berhasil.Tubuh Aldimas yang jauh lebih tinggi menjadi keunggulan. Satu tangannya yang besar pun sedang memegangi tangan kanan Layla, sehingga wanita itu hanya bisa mengandalkan tangan kirinya. Layla sudah melompat-lompat seperti anak katak, tapi tetap saja tidak berhasil mengambil ponsel itu.Sementara itu, Aldimas terus berbicara dengan neneknya. Ia meladeni setiap ucapan aneh yang dibicarakan Nenek. Bahkan, Layla sempat mendengar neneknya mengucapkan soal cicit.‘Gila! Masalah Opa aja belum selesai, ini ditambah Nenek?! Orang ini beneran mau tidur sama aku, ya?!’ rasanya, Layla ingin s
Layla melirik ke arah Aldimas. Ia tahu, pria itu pasti sedang menahan tawanya. Aldimas berkali-kali berdeham sambil menghindari mata Layla. Begitu mereka saling bertatapan lagi, Layla bisa melihat sudut bibir pria itu berkedut.‘Menyebalkan!’“Saya pesan layanan kamar sebentar,” ucap Aldimas, dengan nada yang terdengar biasa—pura-pura.Sepertinya, Layla menyadari itu. Ia kembali berkata dengan ketus sambil menatap langit-langit kamar, “Gak perlu, aku gak laper banget.”“Saya sekalian mau turun.”Kali ini, ucapan Aldimas sukses membuatnya menoleh. Layla kira, ketika Aldimas bilang akan memesan layanan kamar, pria itu akan memanggilnya melalui telepon hotel.“Turun?” ulang Layla.Akhirnya, Layla paham kenapa Aldimas hanya berdiri di sana sedari tadi. Pria itu bahkan tidak melepaskan jam tangan mahalnya, atau paling tidak mengganti sepatu itu dengan sandal hotel.“Kamu bisa pakai kamar ini sendiri, biar saya cari kamar lain,” ucap Aldimas, sehingga membuat Layla duduk di tepi kasur.Untu