Layla awalnya cukup terkejut sampai tidak bisa berbuat apa pun ketika Aldimas mendorongnya masuk. Namun, bibir Aldimas terasa begitu nyata di atas bibirnya. Layla terbuai dan mulai memejamkan mata, beriringan dengan air mata yang meleleh di pipinya.
Rindu yang mereka tahan berbulan-bulan akhirnya meluap tak terbendung. Mereka hanya takut saling dibenci, takut saling menyakiti, hingga saling menahan diri. Ketika salah satunya berani mendobrak, maka tidak ada lagi yang bisa melarang mereka.
Aldimas melepaskan ciumannya, lalu menyatukan dahi mereka. Napas keduanya memburu, tapi dada mereka terasa penuh. Ibu jari Aldimas mengusap pipi Layla yang basah. Melihat bibir wanita itu bergetar, Aldimas merasa kembali sesak.
“Maaf...,” bisik Aldimas.
Layla menggeleng. Lalu, tanpa diduga Aldimas, wanita itu langsung memeluknya. Ia melingkarkan kedua lengannya di leher Aldimas, dan menenggelamkan isak tangisnya di dada
Kaki Aldimas terus bergerak gelisah, sementara tangannya saling bertaut. Rumah keluarga Darmawan yang memang berada di luar kota, terasa lebih sejuk daripada rumah Aldimas. Namun tetap saja, itu tidak bisa menghentikan laju keringat dingin yang mulai membasahi punggungnya.Aldimas tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Ia gugup, tapi juga kesal. Bukan karena apa-apa, tapi karena pria yang duduk menyilangkan kaki di depannya, dan memandangnya dengan senyum menyebalkan.“Sayang,” Aldimas berbisik kepada Layla yang baru kembali setelah memanggil Nenek dari kamar. “Kok, Mike bisa ada di sini.”Layla meringis dengan wajah bersalah. “Mama yang nyuruh, kebetulan juga dia lagi balik ke Indo.”Aldimas pun hanya menghela napas. Awalnya, ia kira akan jauh lebih sulit menakhlukan sang nenek dibanding mamanya Layla. Namun, yang terjadi malah kebalikannya. Mama Layla jauh lebih protektif dan seolah tidak ingin Layla k
Layla benci siapa saja yang menahannya untuk berada di sekolah lebih lama. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, seharusnya ia sudah bersama sang kekasih, menonton film bersama di apartemennya.Namun, dua orang pria berpakaian jas licin dan rambut ditata rapi, menghancurkan semua rencana Layla. Mereka datang tanpa janji, dan membuat Layla terpaksa menemuinya di ruang bimbingan murid ini.“Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?” Layla bertanya dengan sopan sambil mengeluarkan senyum bisnisnya. Itu senyum yang selalu ia pakai ketika berhadapan dengan wali murid.“Oh, Nona Layla Sarasvati?” seorang pria yang memakai jas abu-abu menyapa Layla lebih dulu, dan mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Diego Januerja, pengacara.”Layla juga menerima kartu nama dari pria bernama Diego itu. Dahinya mengernyit, untuk apa seorang pengacara menemuinya? Apa dia salah satu wali murid di pre-school ini?“Dan ini—““Berhenti basa-basi, dan langsung saja bicara intinya.” Seorang pria lain yang memakai jas h
Heels merah menyala itu seolah tengah mengejek Layla. Ia tergeletak sembarangan, seperti dibuka secara terburu-buru. Di dekatnya, ada sepatu warna hitam yang sangat dikenalnya—itu milik Raikhal.Tubuh Layla langsung menegang. Ia bukan wanita polos yang tidak bisa berspekulasi macam-macam. Usianya sudah menginjak 27 tahun, dan hal dewasa seperti ini sudah menjadi gosip yang didengarnya hampir setiap hari.“R-Rai?” Layla masuk dengan debar jantung yang sudah menggila.Kepalanya sudah kosong saking cepatnya aliran darah yang mengalir ke kepala. Keringat dingin membanjiri punggungnya. Sampai ia mencapai ruang tengah, genggaman tangannya pada tas menjadi lemas.Kemeja dan celana jeans berserakan di sana, lengkap dengan pakaian dalam wanita.“Mhhm... lebih cepat, Sayang....”Layla menoleh, tepat ke arah pintu kamar tidur yang terbuka sedikit. Itu suara desahan wanita.“Kamu gak sabaran banget ya....”Sekarang, Layla tahu persis siapa pemilik suara itu. Raikhal. Suaranya terdengar lebih bera
“Aku kasih kamu kesempatan satu minggu buat balikin semua uang yang kamu pakai buat isi apartemen, beli kamera, dan sewa studio kamu.”Wajah Raikhal langsung memucat begitu mendengar permintaan Layla.Hampir semua barang yang ada di apartemen ini adalah hasil tabungan Layla. Jangan lupakan deretan kamera antik dan terbaru yang berjejer di lemari sana. Layla bahkan rela mendatangi rumah lelang untuk mendapatkan kamera keluaran tahun 1980-an sebagai hadiah ulang tahun Raikhal tahun lalu.Studio yang sedang dirintis Raikhal pun adalah campur tangan Layla juga. Kalau saja ia tidak bilang akan memberikannya modal untuk studio itu, Raikhal akan selamanya menjadi fotografer freelance saja.Pengkianatan ini akan menjadi tamparan untuk Raikhal. Layla harus menunjukkan pra itu bukan apa-apa tanpa dirinya.Layla menarik napas ketika setetes air mata hampir keluar. “Kalau gak, kamu akan berhadapan sama pengacara aku.”“Pengacara?” Raikhal mendengus kala Layla ingin berbalik badan. “Guru pre-schoo
Efek alkohol memang luar biasa. Belum ada 12 jam Layla meneguk minuman itu, ia sudah benar-benar melupakan masalahnya semalam.Atau... tidak juga.Karena faktanya, ia malah membuat masalah baru. Begitu membuka mata, Layla melihat langit-langit yang asing di depannya. Semua terasa sangat mewah, bahkan kasur yang ditempatinya terasa seperti tumpukan bulu.Mata Layla terbelalak. “AKU DI MANA?!”Ini bukan kamar kosnya, melainkan di sebuah kamar hotel mewah.Ia berusaha untuk duduk dengan cepat, tapi rasa pening langsung menyerangnya. Ia menggeram, dan terpaksa merebahkan diri lagi. Di tengah kepanikan, Layla menengok ke arah tubuhnya yang terbalut selimut.‘Oh... untung aja!’ pakaiannya masih utuh, bahkan blazernya masih dipakai.Layla kembali mencoba bangun dari kasur, kali ini perlahan. Tepat saat itu, rasa mual yang luar biasa terasa mengaduk perutnya.“HUWEKKK!”Layla langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya di kloset. Ini adalah hangover terparah yang pern
“APA?! KENAPA?!”Layla menjauhkan ponselnya saat neneknya berteriak.“Udah Nenek duga, dia itu emang gak baik buat kamu!” lanjut neneknya, suaranya lebih menggebu-gebu daripada saat menyuruh Layla pulang tadi.Layla mengerutkan dahinya. “Dari mana Nenek tau?”“Memangnya kamu pikir Nenek gak cari tau?” Ah... benar juga, Layla berdecak. Hal apa yang tidak diketahui nenek bawel ini.“Udah! Kamu cepat pulang. Nenek akan jodohin kamu sama cucu Wandara saja!”“Hah?!”Layla tanpa sadar berteriak ketika mendengar ocehan neneknya lagi. Tiba-tiba menyuruhnya pulang, tiba-tiba ingin menjodohkannya. Apalagi dengan keluarga Wandara yang terkenal banyak skandalnya itu.Bahkan belum lama ini kabarnya salah satu cucunya terkena skandal narkoba.Layla merinding kalau benar neneknya mau menjodohkannya dengan pria itu.“Kamu dengar gak, Layla?” ulang neneknya.Layla tidak mau mendengarnya lagi. Ia pun mengambil tisu di meja dan membuatnya jadi bola. Setelah itu, menggesekkannya ke speaker ponselnya.“A
“Bu!” Layla memekik. Bukan karena dirinya dihina, tetapi karena ibu itu mengucapkan kata tidak baik di depan anaknya sendiri.Layla melirik khawatir ke anak ibu itu. Bocah laki-laki itu tampak tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.Layla menghela napas, lalu menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan bocah itu. Ia pun melirik name tag yang berisi informasi nama dan kelas itu.“Vano bisa masuk dulu, ya, Nak. Gabung sama teman-teman yang lain,” ujar Layla dengan senyuman manis.“HALAH! Gak usah ya sok-sokan nasehatin anak saya!” sang ibu malah marah dan menarik si anak ke belakang tubuhnya. “Kamu aja gak benar kelakukannya!”Layla kehabisan kesabaran. Dia memang seorang guru pre-school yang dituntut selalu sabar. Namun, jika menghadapi orang dewasa yang seperti ini, kesabarannya bisa setara dengan tisu dibagi 3, lalu dicelupkan ke air.“Bu—““Lay, Lay, Lay!” suara Poppy bersamaan dengan langkah kaki terburu-buru pun terdengar, memaksa Layla menelan amarahnya.Poppy tiba di sebelah
Jantung Layla seolah sudah jatuh sampai ke kakinya. Mulutnya ternganga, melihat pria yang sama sekali tak diharapkan kehadirannya justru hadir di ruangan itu.Dia adalah Aldimas Mandrawoto, si pria sombong yang sudah mengalihkan tatapan kepadanya.Tanpa sadar, Layla menelan air liurnya.“P-Pak Aldimas, silakan masuk,” Bu Retno berdiri dari kursinya dan menghampiri Aldimas.Layla semakin melongo. Siapa sebenarnya pria ini, sampai membuat Bu Retno yang tegas itu menjadi tunduk?!Namun, alih-alih duduk di sofa yang ditunjukkan Bu Retno, Aldimas malah menghampiri Layla yang masih membulatkan mata. Wanita itu refleks mundur satu langkah saat langkah Aldimas semakin dekat.Pria itu berhenti tepat di depan Layla, lalu mengulaskan senyum tipis yang terlihat misterius dan... mencurigakan.“Saya tanya sekali lagi.” Aldimas pun memutar tubuhnya kembali, tapi tidak beranjak dari sisi Layla. “Atas tuduhan apa, Anda melaporkan tunangan saya.”“APA?!”Pekikkan itu tidak hanya berasal dari mulut Layl