Jantung Layla seolah sudah jatuh sampai ke kakinya. Mulutnya ternganga, melihat pria yang sama sekali tak diharapkan kehadirannya justru hadir di ruangan itu.
Dia adalah Aldimas Mandrawoto, si pria sombong yang sudah mengalihkan tatapan kepadanya.
Tanpa sadar, Layla menelan air liurnya.
“P-Pak Aldimas, silakan masuk,” Bu Retno berdiri dari kursinya dan menghampiri Aldimas.
Layla semakin melongo. Siapa sebenarnya pria ini, sampai membuat Bu Retno yang tegas itu menjadi tunduk?!
Namun, alih-alih duduk di sofa yang ditunjukkan Bu Retno, Aldimas malah menghampiri Layla yang masih membulatkan mata. Wanita itu refleks mundur satu langkah saat langkah Aldimas semakin dekat.
Pria itu berhenti tepat di depan Layla, lalu mengulaskan senyum tipis yang terlihat misterius dan... mencurigakan.
“Saya tanya sekali lagi.” Aldimas pun memutar tubuhnya kembali, tapi tidak beranjak dari sisi Layla. “Atas tuduhan apa, Anda melaporkan tunangan saya.”
“APA?!”
Pekikkan itu tidak hanya berasal dari mulut Layla, melainkan dari Bu Retno dan Bu Sandra juga. Layla sudah menduga kalau pria itu memang gila, tapi tidak menyangka kalau sampai segila ini.
‘TUNANGAN?!’ batin Layla mengulang. ‘Sejak kapan statusku berubah menjadi tunangan pria ini?!’
Namun, sepertinya pria itu tidak peduli dengan pekikkan ketiga wanita, atau bahkan tatapan membunu Layla. Asistennya yang berdiri di belakangnya pun tidak berkomentar apa pun. Padahal, Layla berharap dia memukul kepala bosnya ini sampai pingsan.
Lalu, belum cukup membuat kegemparan dengan kata-katanya, Aldimas merangkul bahu Layla dan menggiringnya duduk di sofa, di hadapan Bu Sandra. Seperti disihir, Layla hanya menurut, dan duduk di samping Aldimas.
Masih sambil merangkul Layla, Aldimas duduk bersandar dan menyilangkan kakinya. “Apa ini soal foto kami di hotel waktu itu?”
“K-kami?” Bu Retno mengulang sambil terbata. “Jadi, foto Layla itu bersama....”
“Iya, saya yang ada di foto itu.” Aldimas tiba-tiba mengeratkan rangkulannya, membuat Layla mau tidak mau menoleh.
Pria itu tersenyum, lagi-lagi senyum misterius yang mencurigakan. “Apa ada yang salah dengan pasangan menyewa kamar hotel?” tanyanya, lalu melempar pandangan ke Bu Sandra. “Terlebih itu hotel milik saya.”
Layla merasakan tekanan darahnya naik sampai tengkuknya terasa sakit. Terlalu banyak kejutan yang ia dapatkan hari ini. Kepalanya jadi pusing harus mengolah yang mana dulu.
“Permisi, Tuan—shh!” Layla hanya bisa meringis kecil saat Aldimas meremas bahunya, seperti menyuruhnya untuk diam.
Bu Retno dan Bu Sandra berpandangan beberapa saat, sebelum akhirnya Bu Retno tertawa canggung.
“Ohahaha... jadi itu Anda, Pak Aldimas. Pantas saja terlihat familiar.” Sekilas, ia melempar tatapan ke arah Layla. “Saya... saya tidak menduga kalau Layla ternyata tunangan Bapak.”
“Ini karena tunangan saya tidak mau terlalu mengumbar hubungan ini,” jawab Aldimas. “Jadi... Anda tahu apa yang harus dilakukan, kan, Bu Retno?”
Layla tidak mengerti, dari mana pria ini mendapatkan kepercayaan diri begitu besar untuk bisa berbohong selancar itu. Ia bahkan tidak berkedip saat mengucapkan semuanya, malah tersenyum miring seolah sedang bangga.
Bu Retno mengangguk dengan paham. “B-Baik, Pak Aldi!”
Lantas, Aldimas kini melempar tatapan ke Bu Sandra, membuat Layla ikut menoleh. Wanita itu tampak mengepalkan tangannya di pangkuan. Tatapannya semakin tajam menghunus Layla.
“Sudah jelas bukan semuanya? Tidak perlu membuat forum, apalagi sampai melapor ke Menteri Pendidikan, kan?” ucap Aldimas. Walaupun itu ditujukan untuk Bu Retno juga, tapi tatapan matanya hanya mengarah kepada Bu Sandra.
“Ya, tentu saja, Pak,” jawab Bu Retno.
Namun, sepertinya Bu Sandra tidak terima. Wanita gempal itu berdiri dari duduknya dan memekik, “APA?!”
“Apa maksudnya, Bu Retno?! Memangnya apa yang berubah kalau pria ini adalah tunangan dia?!” Jelas-jelas di depannya ada Aldimas, tapi Bu Sandra kembali melayangkan telunjuknya hanya kepada Layla.
“Ah, maaf telat memperkenalkan diri.” Aldimas melepas rangkulannya dari Layla, lalu berdiri, dan merapikan jasnya. Ia pun mengulurkan tangannya kepada Bu Sandra. “Aldimas Mandrawoto, wakil direktur MD Group. Dan yayasan ini adalah bagian dari MD Group.”
Wajah Bu Sandra tiba-tiba menjadi pucat. Dengan gerakan kaku, ia pun menerima uluran tangan Aldimas.
Layla sendiri membulatkan matanya ketika tahu MD Group juga membawahi yayasan sekolah ini. Namun, apa hanya itu yang membuat Bu Sandra sampai pucat begitu? Apalagi ketika Aldimas mencondongkan tubuhnya dan berbisik di depan Bu Sandra.
Layla tidak bisa mendengar jelas apa yang Aldimas bisikan. Namun, ia sekilas mendengar soal “anggota dewan” dan “hotel”.
Sampai akhirnya, Aldimas kembali menegakkan tubuhnya. “Terima kasih atas perhatian Anda, Nyonya Sandra,” ucapnya sambil tersenyum. “Saya harap, kejadian ini tidak akan terulang lagi.”
Setelah selesai perbincangan di ruangan Bu Retno, Layla segera menarik Aldimas ke salah satu ruang konsultasi. Hanya berdua. Ia ingin mendapatkan penjelasan soal semua ucapannya tadi.Sekarang, mereka sudah duduk saling berhadapan, terhalang sebuah meja berukuran sedang. Aldimas duduk dengan santainya, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Layla duduk sambil melipat tangan di dada. Matanya menatap lurus ke arah wajah datar Aldimas.‘Pria ini sikapnya udah berubah lagi. Tadi aja selalu pasang senyum bisnis, sekarang mukanya datar kayak tembok!’ batin Layla jengkel.“Jadi, Tuan Aldimas—““Panggil Aldimas saja,” potong Aldimas datar.Layla menghela napas dan memutar bola mata. “Oke, Aldimas. Bisakah Anda menjelaskan semuanya yang terjadi tadi?”Aldimas mengangkat bahunya. “Singkatnya, saya sudah menyelamatkan kamu.”“Dengan menyebut saya sebagai tunangan Anda?”“Itu satu-satunya cara.”“Apa gak ada cara yang lebih masuk akal?!” Layla sadar, kalau ia hampir saja lepas kendali. Jad
“Tunggu, tunggu, tunggu.” Layla mengangkat tangannya. “Siapa yang bilang saya mau melakukan pernikahan kontrak dengan Anda?”“Jadi, kamu tidak mau berterima kasih?” Aldimas memiringkan kepala dan melipat tangannya di dada. “Saya tidak percaya, seorang guru berintegritas tinggi, ternyata suka mengingkari janji.”“Hei! Saya akan berterima kasih, tapi gak kayak gini....” Layla menunjuk surat-surat di depannya. “Mungkin dengan traktir makan? Atau kopi? Atau barang?”“Reputasimu hanya seharga secangkir kopi?”Layla menggeram. Tangannya sudah terkepal di atas meja, siap membalik meja itu dan melemparnya ke wajah datar Aldimas. Kenapa pria ini sangat mahir membalikkan kata-katanya?Namun, sebelum Layla melancarkan semua niatannya, pria itu sudah berdiri dan mengancingkan jasnya kembali. Mata Layla pun mengikuti sosoknya.“Kamu bisa pikirkan dengan baik-baik,” ucap Aldimas sebelum berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Saya bukan orang yang sabaran. Tapi, kamu pengecualian, Layla.”Blam!Pin
Alis Layla menukik tajam melihat siapa orang yang ada di dalam mobil itu, terlebih pria itu menggunakan kalimat perintah.‘Kenapa pria ini kembali lagi?!’ pekik Layla dalam hati.“Kamu ngapain ke sini lagi?!” tanya Layla ketus, matanya menatap tajam ke arah Aldimas yang masih anteng duduk di dalam mobil.Aldimas tampak meliriknya, lalu beberapa detik kemudian, sopirnya sudah berdiri di depan Layla dan membukakan pintu mobil itu. Sopir itu jauh lebih sopan daripada majikannya, membuat Layla tidak tega sendiri kalau bersikap sinis kepadanya juga.“Masuklah,” ulang Aldimas lagi.Sopir itu masih setia tersenyum ramah dan memegangi pintu mobil. Dia menjadi titik kelemahan Layla kali ini. Akhirnya, wanita itu menghela napas panjang, dan masuk ke mobil.“Sudah saya bilang, saya sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Anda!” Layla langsung menyerocos begitu duduk manis di sebelah Aldimas.Bukannya menanggapi, Aldimas malah memberikan map lagi kepada Layla. Kali ini berwarna biru. “Saya bisa
Mana yang lebih mengejutkan? Mendapat lamaran pernikahan tiba-tiba atau kedatangan orang tua yang paling kamu hindari?Layla tidak bisa memilih, karena keduanya sama-sama membuat kepalanya pening sekarang.Ia belum selesai berurusan dengan urusan Aldimas tadi, tapi sudah dibuat pusing dengan kehadiran nenek dan mamanya. Layla sudah bisa menduga, kalau ini bukan hanya sekadar kunjungan biasa.“Kamu ini ditelepon berkali-kali kenapa tidak diangkat?” Neneknya langsung menodongnya dengan pertanyaan.Layla ingat kalau ia memasang ponselnya dalam mode hening gara-gara gosip tadi pagi. Ia juga tidak memeriksanya sedari tadi karena sibuk bertengkar dengan Aldimas.Karena tidak mau memberi alasan, Layla malah langsung mengalihkan topik. “Nenek dan Mama mau apa ke sini?”“Kamu masih tanya untuk apa?” neneknya menjawab dengan nada terdengar marah.Layla menelan air liurnya.“Kamu pikir, Nenek gak dengar gosip kamu di sekolah—““Oh, hahaha, ya ampun... apa Nenek lelah? Bagaimana kalau kita masuk
Layla merasakan alarm tanda bahaya segera muncul di atas kepalanya. Ia sudah tahu arti senyuman neneknya itu, yang sama artinya dengan melihat sebuah kesempatan. Makanya, sebelum itu semakin gawat, Layla buru-buru mendorong Aldimas.“Nenek, sepertinya Aldimas sangat sibuk. Iya, kan?” Layla menggerakkan bola matanya, memberi isyarat agar Aldimas segera pergi.“Pulanglah! Tidak perlu berkenalan lebih jauh,” mulutnya pun bergerak mengucapkan kata itu tanpa suara.Perlu usaha hebat untuk bisa mengusir Aldimas dari sana. Neneknya masih ingin mengobrol, dan Layla tahu kalau Aldimas punya maksud tersembunyi. Namun pada akhirnya, pria itu bisa juga angkat kaki dari kosannya itu.‘Oke, sekarang tinggal hadapi Nenek dan Mama.’ Layla menarik napas panjang, sebelum berbalik menghadap wajah neneknya yang sudah kembali suram.“Kita bicara di kamar aja, gimana?”***Layla tahu, semua tidak akan berjalan dengan baik jika itu berurusan dengan Nenek. Semuanya berbuntut panjang. Dimulai dari putusnya La
Layla tertawa canggung. “Ha-ha-ha, tapi aku sangat sibuk, maaf sekali. Aku harus menyiapkan materi mengajar untuk hari Senin.”Di balik tawanya itu, Layla ingin sekali menendang kepala Ryan. Atau minimal, melempar piring kotor itu ke wajahnya.Namun bukannya mengerti, Ryan malah tertawa keras. “Oh, ayolah... kenapa kamu jual mahal sekali.”Tangan Layla terkepal mendengar jawaban itu.“Bukankah ini akan lebih mudah? Keluarga kita sudah sepakat menjodohkan kita, apa salahnya jika bersenang-senang duluan? Toh, kita akan menikah pada akhirnya,” lanjut Ryan.‘Siapa yang ingin menikah denganmu?! Lebih baik aku dikutuk menjadi ikan pari daripada menikahimu!’ Layla bereriak dalam hati. Sepertinya ia harus mulai merekam ucapan Ryan untuk bukti kepada neneknya.Pria yang kurang ajar! Tidak menghormati wanita!Layla menarik napas cukup panjang. “Kurasa, nenekku belum mengatakan apa pun soal pernikahan,” jawab Layla sambil menahan emosi. “Beliau hanya menyuruhku datang dan makan siang denganmu.”
“Empat kali.”“Dua kali.”“Di bar, di sekolah, soal nenekmu, dan pria tadi.”Layla menghela napas. “Yang Nenek tidak dihitung. Jadi, tiga kali.”“Baiklah, tiga kali,” ucap Aldimas, terdengar mengalah.Setelah kejadian di restoran itu, Aldimas menawarkan Layla untuk mengantarkannya pulang. Tentunya bukan karena khawatir, tapi justru ingin membahas hal yang belum selesai kemarin. Dimulai dari perdebatan tentang berapa banyak pria itu sudah menolong Layla. Wanita itu kagum sendiri dengan kemampuan mengingat Aldimas.Aldimas begitu perhitungan. Layla bahkan sempat curiga kalau Aldimas ternyata mengikutinya ke restoran tersebut. Sayangnya, pria itu menjelaskan dengan logis kenapa dia ada di sana—yaitu makan siang bersama klien.“Dan bayaranmu?” tanya Aldimas kemudian, seperti dugaan Layla—pria yang perhitungan.“Perhitungan sekali,” komentar Layla.“Saya ini bussines man.”Layla berdecak. Daripada bussines man, Aldimas mungkin lebih pas disebut sebagai debt-collector. Padahal pada pertemua
Pada saat itulah Layla sadar. Ia langsung berdiri lagi dan mengulurkan tangannya kepada wanita itu sambil sedikit membungkuk. “O-oh. Halo, Nyonya. Nama saya Layla.”Farah, ibu tiri Aldimas, hanya menatap tangan Layla sekilas, sebelum mengalihkan tatapannya ke Aldimas lagi. “Awalnya aku khawatir ketika tahu Ayah sudah menjodohkanmu, tapi....” barulah ia menatap Layla. “Sepertinya itu tidak perlu.”Layla mengerjap, tidak terlalu paham maksud wanita itu.“Kamu hanya bekerja sebagai guru TK, kan?” tanya Farah kemudian.Layla kembali duduk setelah Aldimas menarik pelan tangannya. Ia pun menjawab, “Ya.”“Apa pekerjaan orang tuamu?”“Mereka... berdagang.”Ada keraguan sedikit saat Layla menjawab itu. ‘Tapi, ya... secara teknis mereka emang berdagang, sih...’“Oh, lucu sekali!” Tiba-tiba saja Farah tertawa hambar. “Opamu benar-benar tahu caranya menghibur orang.”Farah memang bersikap elegan, tapi entah kenapa Layla merasa terhina dengan tawanya itu. Wajahnya memanas, entah karena marah atau