“Bu!” Layla memekik. Bukan karena dirinya dihina, tetapi karena ibu itu mengucapkan kata tidak baik di depan anaknya sendiri.
Layla melirik khawatir ke anak ibu itu. Bocah laki-laki itu tampak tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.
Layla menghela napas, lalu menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan bocah itu. Ia pun melirik name tag yang berisi informasi nama dan kelas itu.
“Vano bisa masuk dulu, ya, Nak. Gabung sama teman-teman yang lain,” ujar Layla dengan senyuman manis.
“HALAH! Gak usah ya sok-sokan nasehatin anak saya!” sang ibu malah marah dan menarik si anak ke belakang tubuhnya. “Kamu aja gak benar kelakukannya!”
Layla kehabisan kesabaran. Dia memang seorang guru pre-school yang dituntut selalu sabar. Namun, jika menghadapi orang dewasa yang seperti ini, kesabarannya bisa setara dengan tisu dibagi 3, lalu dicelupkan ke air.
“Bu—“
“Lay, Lay, Lay!” suara Poppy bersamaan dengan langkah kaki terburu-buru pun terdengar, memaksa Layla menelan amarahnya.
Poppy tiba di sebelah Layla, lalu tersenyum canggung kepada wali murid itu, sebelum berbisik, “Bu Retno udah nunggu, ayo.”
“Tapi, Pop—“
Poppy tidak membiarkannya berbicara, dan langsung menyeret Layla beranjak dari sana. Ia juga kembali mengeluarkan senyum bisnis kepada wali murid itu, seolah sedang meminta maaf.
Melihat itu, Layla mendengus sebal. “Kenapa, sih, ditarik? Aku baru aja mau balas mulut nyinyir dia!”
“Dan membuat kamu langsung dapat SP 3? Jangan gila deh, Lay!” Poppy membalas.
Layla tidak menyahut lagi. Ia pun menurut saja ketika Poppy membawanya ke ruangan Bu Retno. Poppy mengetuk pintunya, dan begitu terdengar sahutan dingin dari dalam, ia pun mendorongnya sampai terbuka.
“Permisi, Bu,” sapa Poppy.
Layla yang ada di belakangnya pun ikut menyapa. “Selamat pagi, Bu.”
“Poppy, kamu boleh kembali ke kelas, dan Layla silakan masuk,” ucap Bu Retno tegas.
Tidak perlu dua kali disuruh, Poppy pun meninggalkan Layla di sana. Layla tidak protes, dan masuk dengan napas tertahan. Bu Retno selalu memiliki aura tersendiri yang membuatnya tertekan.
Di dalam ruangan itu, ternyata Bu Retno tidak sendiri. Ada Bu Sandra juga, si wali murid parlente yang menjadi biang kehebohan gara-gara status W******p-nya.
Bu Sandra meliriknya sekilas, sebelum melengos dengan dengusan. Ia memakai terusan hitam dengan akses emas. Kalung dan anting mutiaranya berkilauan tertimpa cahaya lampu ruangan. Dan tolong jangan bayangkan bagaimana semerbak bau parfumnya.
Layla berusaha tidak merasa terganggu. Ia hanya menghampiri meja Bu Retno dan berdiri di depannya.
“Saya yakin, kamu sudah tau alasan kenapa kamu dipanggil ke sini,” ucap Bu Retno sebagai pembuka.
“Ya, Bu,” jawab Layla.
Keributan tadi pagi, ditambah hadirnya sosok Bu Sandra di sini, sudah pasti masalah yang akan dibahas adalah soal fotonya yang ada di hotel itu.
“Gak usah banyak basa-basi, Bu Retno!” Bu Sandra yang duduk di sofa itu menyilangkan kakinya. “Langsung aja jatuhkan sanksi buat dia!”
Lebih dari suara ketusnya, Layla sangat tidak suka dipanggil “dia” dalam keadaan formal begini. Bagaimanapun, statusnya masih sebagai guru di sini.
“Sabar, Bu Sandra. Mari kita dengar penjelasan dari Bu Layla.”
“Halah! Gak perlu! Guru yang gak punya moral, gak perlu dipertahankan di sekolah elit ini. Memangnya Ibu mau, reputasi Serenity Spring School ini tercemar gara-gara satu guru?!”
Pada saat Bu Retno berusaha berpikir rasional, Bu Sandra sudah menggebu-gebu. Napasnya terlihat naik-turun, dan tatapan matanya menghunus Layla yang masih berdiri di depannya. Layla tidak paham, apa yang membuat Bu Sandra bersikeras menjatuhkan hukuman untuknya.
Memang, perbuatan Layla tidak bisa dikatakan terpuji, tapi toh ia melakukan itu di luar jam kerja—malah pada malam akhir pekan. Layla juga tidak ingat pernah mengganggu Bu Sandra atau anaknya.
‘Heran, kenapa Bu Sandra kayaknya dendam banget sama aku, ya,’ pikir Layla dalam hati.
“Sabar, Bu,” Bu Retno tampak tak bisa berkomentar banyak untuk ucapan Bu Sandra. Tentu saja karena dia adalah salah satu donatur terbesar.
Lalu, Bu Retno kembali menatap Layla. “Setelah ini, kami akan mengadakan forum bersama pimpinan yayasan, donatur, dan beberapa perwakilan orang tua murid. Jadi, saya harap kamu bisa bekerja sama, Layla.”
Layla menelan air liurnya sendiri. “F-forum, Bu?”
Walaupun terlihat seperti wanita yang keras kepala, Layla sangat takut jika menyangkut soal kariernya. Ia sudah mempertaruhkan diri, kabur dari rumah, dengan tekad ingin menjadi wanita sukses tanpa keluarganya.
Apa yang akan mereka katakan kalau tahu Layla dipecat?
“Iya—“
“Masih untung dibuatkan forum terlebih dulu!” Bu Sandra menunjuk-nunjuk Layla. “Kalau saya kepala sekolahnya, sudah langsung dilaporkan ke Kementerian Pendidikan!”
Ceklek!
Suara pintu yang dibuka membuat ketiga wanita itu menoleh. Bu Retno sampai berdiri dari duduknya, mungkin ingin memarahi orang yang tak sopan itu. Di dalam sini sedang ada pembicaraan serius, siapa yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk lebih dulu?
Namun dua detik kemudian, ekspresi Layla dan Bu Retno langsung berubah.
Seorang pria dengan setelan rapi membawa masuk kakinya yang terbalut sepatu hitam mengkilat itu. Tubuhnya yang tinggi tampak sangat menonjol di ruangan itu. Belum lagi tatapan dingin di balik kacamatanya yang menyorot Bu Sandra tajam, membuat tubuh wanita itu menjadi tegang seketika.
“Melaporkan? Atas tuduhan apa Anda melaporkannya?”
Jantung Layla seolah sudah jatuh sampai ke kakinya. Mulutnya ternganga, melihat pria yang sama sekali tak diharapkan kehadirannya justru hadir di ruangan itu.Dia adalah Aldimas Mandrawoto, si pria sombong yang sudah mengalihkan tatapan kepadanya.Tanpa sadar, Layla menelan air liurnya.“P-Pak Aldimas, silakan masuk,” Bu Retno berdiri dari kursinya dan menghampiri Aldimas.Layla semakin melongo. Siapa sebenarnya pria ini, sampai membuat Bu Retno yang tegas itu menjadi tunduk?!Namun, alih-alih duduk di sofa yang ditunjukkan Bu Retno, Aldimas malah menghampiri Layla yang masih membulatkan mata. Wanita itu refleks mundur satu langkah saat langkah Aldimas semakin dekat.Pria itu berhenti tepat di depan Layla, lalu mengulaskan senyum tipis yang terlihat misterius dan... mencurigakan.“Saya tanya sekali lagi.” Aldimas pun memutar tubuhnya kembali, tapi tidak beranjak dari sisi Layla. “Atas tuduhan apa, Anda melaporkan tunangan saya.”“APA?!”Pekikkan itu tidak hanya berasal dari mulut Layl
Setelah selesai perbincangan di ruangan Bu Retno, Layla segera menarik Aldimas ke salah satu ruang konsultasi. Hanya berdua. Ia ingin mendapatkan penjelasan soal semua ucapannya tadi.Sekarang, mereka sudah duduk saling berhadapan, terhalang sebuah meja berukuran sedang. Aldimas duduk dengan santainya, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Layla duduk sambil melipat tangan di dada. Matanya menatap lurus ke arah wajah datar Aldimas.‘Pria ini sikapnya udah berubah lagi. Tadi aja selalu pasang senyum bisnis, sekarang mukanya datar kayak tembok!’ batin Layla jengkel.“Jadi, Tuan Aldimas—““Panggil Aldimas saja,” potong Aldimas datar.Layla menghela napas dan memutar bola mata. “Oke, Aldimas. Bisakah Anda menjelaskan semuanya yang terjadi tadi?”Aldimas mengangkat bahunya. “Singkatnya, saya sudah menyelamatkan kamu.”“Dengan menyebut saya sebagai tunangan Anda?”“Itu satu-satunya cara.”“Apa gak ada cara yang lebih masuk akal?!” Layla sadar, kalau ia hampir saja lepas kendali. Jad
“Tunggu, tunggu, tunggu.” Layla mengangkat tangannya. “Siapa yang bilang saya mau melakukan pernikahan kontrak dengan Anda?”“Jadi, kamu tidak mau berterima kasih?” Aldimas memiringkan kepala dan melipat tangannya di dada. “Saya tidak percaya, seorang guru berintegritas tinggi, ternyata suka mengingkari janji.”“Hei! Saya akan berterima kasih, tapi gak kayak gini....” Layla menunjuk surat-surat di depannya. “Mungkin dengan traktir makan? Atau kopi? Atau barang?”“Reputasimu hanya seharga secangkir kopi?”Layla menggeram. Tangannya sudah terkepal di atas meja, siap membalik meja itu dan melemparnya ke wajah datar Aldimas. Kenapa pria ini sangat mahir membalikkan kata-katanya?Namun, sebelum Layla melancarkan semua niatannya, pria itu sudah berdiri dan mengancingkan jasnya kembali. Mata Layla pun mengikuti sosoknya.“Kamu bisa pikirkan dengan baik-baik,” ucap Aldimas sebelum berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Saya bukan orang yang sabaran. Tapi, kamu pengecualian, Layla.”Blam!Pin
Alis Layla menukik tajam melihat siapa orang yang ada di dalam mobil itu, terlebih pria itu menggunakan kalimat perintah.‘Kenapa pria ini kembali lagi?!’ pekik Layla dalam hati.“Kamu ngapain ke sini lagi?!” tanya Layla ketus, matanya menatap tajam ke arah Aldimas yang masih anteng duduk di dalam mobil.Aldimas tampak meliriknya, lalu beberapa detik kemudian, sopirnya sudah berdiri di depan Layla dan membukakan pintu mobil itu. Sopir itu jauh lebih sopan daripada majikannya, membuat Layla tidak tega sendiri kalau bersikap sinis kepadanya juga.“Masuklah,” ulang Aldimas lagi.Sopir itu masih setia tersenyum ramah dan memegangi pintu mobil. Dia menjadi titik kelemahan Layla kali ini. Akhirnya, wanita itu menghela napas panjang, dan masuk ke mobil.“Sudah saya bilang, saya sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Anda!” Layla langsung menyerocos begitu duduk manis di sebelah Aldimas.Bukannya menanggapi, Aldimas malah memberikan map lagi kepada Layla. Kali ini berwarna biru. “Saya bisa
Mana yang lebih mengejutkan? Mendapat lamaran pernikahan tiba-tiba atau kedatangan orang tua yang paling kamu hindari?Layla tidak bisa memilih, karena keduanya sama-sama membuat kepalanya pening sekarang.Ia belum selesai berurusan dengan urusan Aldimas tadi, tapi sudah dibuat pusing dengan kehadiran nenek dan mamanya. Layla sudah bisa menduga, kalau ini bukan hanya sekadar kunjungan biasa.“Kamu ini ditelepon berkali-kali kenapa tidak diangkat?” Neneknya langsung menodongnya dengan pertanyaan.Layla ingat kalau ia memasang ponselnya dalam mode hening gara-gara gosip tadi pagi. Ia juga tidak memeriksanya sedari tadi karena sibuk bertengkar dengan Aldimas.Karena tidak mau memberi alasan, Layla malah langsung mengalihkan topik. “Nenek dan Mama mau apa ke sini?”“Kamu masih tanya untuk apa?” neneknya menjawab dengan nada terdengar marah.Layla menelan air liurnya.“Kamu pikir, Nenek gak dengar gosip kamu di sekolah—““Oh, hahaha, ya ampun... apa Nenek lelah? Bagaimana kalau kita masuk
Layla merasakan alarm tanda bahaya segera muncul di atas kepalanya. Ia sudah tahu arti senyuman neneknya itu, yang sama artinya dengan melihat sebuah kesempatan. Makanya, sebelum itu semakin gawat, Layla buru-buru mendorong Aldimas.“Nenek, sepertinya Aldimas sangat sibuk. Iya, kan?” Layla menggerakkan bola matanya, memberi isyarat agar Aldimas segera pergi.“Pulanglah! Tidak perlu berkenalan lebih jauh,” mulutnya pun bergerak mengucapkan kata itu tanpa suara.Perlu usaha hebat untuk bisa mengusir Aldimas dari sana. Neneknya masih ingin mengobrol, dan Layla tahu kalau Aldimas punya maksud tersembunyi. Namun pada akhirnya, pria itu bisa juga angkat kaki dari kosannya itu.‘Oke, sekarang tinggal hadapi Nenek dan Mama.’ Layla menarik napas panjang, sebelum berbalik menghadap wajah neneknya yang sudah kembali suram.“Kita bicara di kamar aja, gimana?”***Layla tahu, semua tidak akan berjalan dengan baik jika itu berurusan dengan Nenek. Semuanya berbuntut panjang. Dimulai dari putusnya La
Layla tertawa canggung. “Ha-ha-ha, tapi aku sangat sibuk, maaf sekali. Aku harus menyiapkan materi mengajar untuk hari Senin.”Di balik tawanya itu, Layla ingin sekali menendang kepala Ryan. Atau minimal, melempar piring kotor itu ke wajahnya.Namun bukannya mengerti, Ryan malah tertawa keras. “Oh, ayolah... kenapa kamu jual mahal sekali.”Tangan Layla terkepal mendengar jawaban itu.“Bukankah ini akan lebih mudah? Keluarga kita sudah sepakat menjodohkan kita, apa salahnya jika bersenang-senang duluan? Toh, kita akan menikah pada akhirnya,” lanjut Ryan.‘Siapa yang ingin menikah denganmu?! Lebih baik aku dikutuk menjadi ikan pari daripada menikahimu!’ Layla bereriak dalam hati. Sepertinya ia harus mulai merekam ucapan Ryan untuk bukti kepada neneknya.Pria yang kurang ajar! Tidak menghormati wanita!Layla menarik napas cukup panjang. “Kurasa, nenekku belum mengatakan apa pun soal pernikahan,” jawab Layla sambil menahan emosi. “Beliau hanya menyuruhku datang dan makan siang denganmu.”
“Empat kali.”“Dua kali.”“Di bar, di sekolah, soal nenekmu, dan pria tadi.”Layla menghela napas. “Yang Nenek tidak dihitung. Jadi, tiga kali.”“Baiklah, tiga kali,” ucap Aldimas, terdengar mengalah.Setelah kejadian di restoran itu, Aldimas menawarkan Layla untuk mengantarkannya pulang. Tentunya bukan karena khawatir, tapi justru ingin membahas hal yang belum selesai kemarin. Dimulai dari perdebatan tentang berapa banyak pria itu sudah menolong Layla. Wanita itu kagum sendiri dengan kemampuan mengingat Aldimas.Aldimas begitu perhitungan. Layla bahkan sempat curiga kalau Aldimas ternyata mengikutinya ke restoran tersebut. Sayangnya, pria itu menjelaskan dengan logis kenapa dia ada di sana—yaitu makan siang bersama klien.“Dan bayaranmu?” tanya Aldimas kemudian, seperti dugaan Layla—pria yang perhitungan.“Perhitungan sekali,” komentar Layla.“Saya ini bussines man.”Layla berdecak. Daripada bussines man, Aldimas mungkin lebih pas disebut sebagai debt-collector. Padahal pada pertemua