Layla merasakan alarm tanda bahaya segera muncul di atas kepalanya. Ia sudah tahu arti senyuman neneknya itu, yang sama artinya dengan melihat sebuah kesempatan. Makanya, sebelum itu semakin gawat, Layla buru-buru mendorong Aldimas.“Nenek, sepertinya Aldimas sangat sibuk. Iya, kan?” Layla menggerakkan bola matanya, memberi isyarat agar Aldimas segera pergi.“Pulanglah! Tidak perlu berkenalan lebih jauh,” mulutnya pun bergerak mengucapkan kata itu tanpa suara.Perlu usaha hebat untuk bisa mengusir Aldimas dari sana. Neneknya masih ingin mengobrol, dan Layla tahu kalau Aldimas punya maksud tersembunyi. Namun pada akhirnya, pria itu bisa juga angkat kaki dari kosannya itu.‘Oke, sekarang tinggal hadapi Nenek dan Mama.’ Layla menarik napas panjang, sebelum berbalik menghadap wajah neneknya yang sudah kembali suram.“Kita bicara di kamar aja, gimana?”***Layla tahu, semua tidak akan berjalan dengan baik jika itu berurusan dengan Nenek. Semuanya berbuntut panjang. Dimulai dari putusnya La
Layla tertawa canggung. “Ha-ha-ha, tapi aku sangat sibuk, maaf sekali. Aku harus menyiapkan materi mengajar untuk hari Senin.”Di balik tawanya itu, Layla ingin sekali menendang kepala Ryan. Atau minimal, melempar piring kotor itu ke wajahnya.Namun bukannya mengerti, Ryan malah tertawa keras. “Oh, ayolah... kenapa kamu jual mahal sekali.”Tangan Layla terkepal mendengar jawaban itu.“Bukankah ini akan lebih mudah? Keluarga kita sudah sepakat menjodohkan kita, apa salahnya jika bersenang-senang duluan? Toh, kita akan menikah pada akhirnya,” lanjut Ryan.‘Siapa yang ingin menikah denganmu?! Lebih baik aku dikutuk menjadi ikan pari daripada menikahimu!’ Layla bereriak dalam hati. Sepertinya ia harus mulai merekam ucapan Ryan untuk bukti kepada neneknya.Pria yang kurang ajar! Tidak menghormati wanita!Layla menarik napas cukup panjang. “Kurasa, nenekku belum mengatakan apa pun soal pernikahan,” jawab Layla sambil menahan emosi. “Beliau hanya menyuruhku datang dan makan siang denganmu.”
“Empat kali.”“Dua kali.”“Di bar, di sekolah, soal nenekmu, dan pria tadi.”Layla menghela napas. “Yang Nenek tidak dihitung. Jadi, tiga kali.”“Baiklah, tiga kali,” ucap Aldimas, terdengar mengalah.Setelah kejadian di restoran itu, Aldimas menawarkan Layla untuk mengantarkannya pulang. Tentunya bukan karena khawatir, tapi justru ingin membahas hal yang belum selesai kemarin. Dimulai dari perdebatan tentang berapa banyak pria itu sudah menolong Layla. Wanita itu kagum sendiri dengan kemampuan mengingat Aldimas.Aldimas begitu perhitungan. Layla bahkan sempat curiga kalau Aldimas ternyata mengikutinya ke restoran tersebut. Sayangnya, pria itu menjelaskan dengan logis kenapa dia ada di sana—yaitu makan siang bersama klien.“Dan bayaranmu?” tanya Aldimas kemudian, seperti dugaan Layla—pria yang perhitungan.“Perhitungan sekali,” komentar Layla.“Saya ini bussines man.”Layla berdecak. Daripada bussines man, Aldimas mungkin lebih pas disebut sebagai debt-collector. Padahal pada pertemua
Pada saat itulah Layla sadar. Ia langsung berdiri lagi dan mengulurkan tangannya kepada wanita itu sambil sedikit membungkuk. “O-oh. Halo, Nyonya. Nama saya Layla.”Farah, ibu tiri Aldimas, hanya menatap tangan Layla sekilas, sebelum mengalihkan tatapannya ke Aldimas lagi. “Awalnya aku khawatir ketika tahu Ayah sudah menjodohkanmu, tapi....” barulah ia menatap Layla. “Sepertinya itu tidak perlu.”Layla mengerjap, tidak terlalu paham maksud wanita itu.“Kamu hanya bekerja sebagai guru TK, kan?” tanya Farah kemudian.Layla kembali duduk setelah Aldimas menarik pelan tangannya. Ia pun menjawab, “Ya.”“Apa pekerjaan orang tuamu?”“Mereka... berdagang.”Ada keraguan sedikit saat Layla menjawab itu. ‘Tapi, ya... secara teknis mereka emang berdagang, sih...’“Oh, lucu sekali!” Tiba-tiba saja Farah tertawa hambar. “Opamu benar-benar tahu caranya menghibur orang.”Farah memang bersikap elegan, tapi entah kenapa Layla merasa terhina dengan tawanya itu. Wajahnya memanas, entah karena marah atau
Kata orang, menikah bukanlah hal yang mudah, tapi entah kenapa tidak dengan Layla. Hanya dalam sekejap mata, ia sudah menjadi istri orang. Pernikahan Layla terjadi dalam sekejap mata.Sepertinya baru kemarin mereka melakukan pertemuan keluarga, tahu-tahu sekarang ia sudah berdiri di aula resepsi pernikahan. Tidak banyak undangan yang hadir, kebanyakan adalah anggota direksi MD Group yang akan terlibat langsung suksesi Aldimas. Dari pihak Layla juga sengaja tidak mengundang banyak, hanya keluarga terdekat dan Poppy—teman Layla.Layla tidak akan kaget kalau setelah ini ada gosip dirinya hamil duluan.Bukan kemauannya juga menikah secepat kilat begini. Aldimas yang memburunya terus, bahkan sampai menghasut Nenek dan Mama. Omongan Nenek adalah mutlak, apa yang bisa Layla katakan kalau wanita itu saja sudah klop dengan Aldimas.Jadi, satu-satunya cara untuk Layla melindungi diri adalah dengan...“Surat perjanjian!”Aldimas, yang duduk di sofa seberang Layla pun mengangkat sebelah alisnya.
Hari kelima sebagai istri Aldimas Mandrawoto, tapi Layla sudah ingin mati kebosanan.Harusnya, ia tidak menyetujui neneknya untuk mengambil cuti di sekolah. Mereka memang pergi berbulan madu di hari kedua, tapi itu tidak lebih dari sekadar menumpang tidur di hotel. Aldimas malah sibuk bekerja dari hotel, sementara Layla memanfaatkannya untuk tidur seharian.Baru kemarin mereka kembali ke rumah, dan Aldimas sudah kembali bekerja ke kantor. Layla yang masih memiliki sisa dua hari lagi, sudah mati kutu di rumah ini.Rekan-rekan gurunya sudah bertanya segala macam. Bagi orang yang jarang mengambil cuti, Danilla terus dihujani pertanyaan untuk apa mengambil cuti seminggu penuh. Tentunya selain Poppy, tidak ada yang tahu ia sudah menikah dengan Aldimas.Layla bangkit dari posisinya di sofa dan berputar-putar sejenak. Mau ngapain, ya? Apa aku pergi jalan-jalan aja keluar?Pada saat itulah matanya mengarah pada ruangan khusus milik Aldimas. Pria itu bilang, ruangan itu adalah tempatnya bekerj
Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Aldimas katakan kepada Layla, tetapi sayangnya ucapannya itu begitu menyakitkan. Apa salah Layla? Dia hanya bertanya karena tidak tahu. Kenapa Aldimas sampai menuduhnya begitu?“Kamu itu hobi banget ya nuduh aku?!” Layla tidak bisa menahan emosinya. Itulah kebiasaan buruknya, selalu mudah terpancing jika ada seseorang yang membentaknya duluan.“Aku, kan, cuma bertanya karena aku gak sengaja menemukan itu!” lanjut Layla. “Ngomong biasa saja apa tidak bisa?!”“Bagaimana saya bisa percaya sama kamu kalau kamu sendiri saja melanggar perjanjian!”Layla mengepalkan tangannya. Ia tahu kalau Aldimas memang memiliki mulut yang ketus, tapi baru kali ini ia benar-benar sakit hati. Layla meluapkan kekesalannya itu dengan menendang tulang kering Aldimas, sebelum pergi dari ruangan itu.“Aldimas jelek!” pekiknya sebelum menutup pintu itu keras-keras.***Setelah menghabiskan seminggu penuh seperti pengangguran, Layla akhirnya bisa kembali ke sekolah hari in
Walaupun rasanya Layla ingin membakar kertas-kertas ini, nyatanya ia tidak boleh. Bisa hancur dunia dan seisinya jika Layla melakukan itu. Jadi, ia hanya meletakkannya di meja makan sebelum makan salad buah yang tadi sempat dibuatnya.“Aldimas udah makan belum, ya?”“Ah, masa bodoh!”“Emangnya dia pernah peduli juga sama aku?”“Tapi... dia, kan, lagi sakit.”Layla terus berdebat dengan dirinya sendiri sambil memakan sarapannya. Matanya terus melirik ke arah pintu kamar Aldimas. Pria itu memang menyebalkan, tapi bagaimanapun mereka tetap tinggal dalam satu rumah.Perdebatan batin itu terus berlanjut sampai sebuah dering ponsel mengejutkannya. Layla melirik ponselnya di atas meja. Nama Diego Januerja muncul di sana.‘Buat apa pengacara Aldimas telepon aku pagi-pagi? Apa... Aldimas ngajuin cerai gara-gara kejadian itu?’Tiba-tiba Layla merasa bersemangat. Kalau benar Aldimas ingin mengajukan cerai di hari ketujuh ini, sejahteralah hidupnya.“Halo, Mas Diego?” sapa Layla di telepon.Tidak