Walaupun rasanya Layla ingin membakar kertas-kertas ini, nyatanya ia tidak boleh. Bisa hancur dunia dan seisinya jika Layla melakukan itu. Jadi, ia hanya meletakkannya di meja makan sebelum makan salad buah yang tadi sempat dibuatnya.“Aldimas udah makan belum, ya?”“Ah, masa bodoh!”“Emangnya dia pernah peduli juga sama aku?”“Tapi... dia, kan, lagi sakit.”Layla terus berdebat dengan dirinya sendiri sambil memakan sarapannya. Matanya terus melirik ke arah pintu kamar Aldimas. Pria itu memang menyebalkan, tapi bagaimanapun mereka tetap tinggal dalam satu rumah.Perdebatan batin itu terus berlanjut sampai sebuah dering ponsel mengejutkannya. Layla melirik ponselnya di atas meja. Nama Diego Januerja muncul di sana.‘Buat apa pengacara Aldimas telepon aku pagi-pagi? Apa... Aldimas ngajuin cerai gara-gara kejadian itu?’Tiba-tiba Layla merasa bersemangat. Kalau benar Aldimas ingin mengajukan cerai di hari ketujuh ini, sejahteralah hidupnya.“Halo, Mas Diego?” sapa Layla di telepon.Tidak
Layla menghela napas panjang begitu membuka pintu depan. Hari pertama mengajar kembali, ia dihadapkan dengan setumpuk pekerjaan. Belum lagi anak-anak didiknya kenapa banyak berulah hari ini.Layla juga harus bertemu dengan Diego untuk membahas tuntutannya. Alhasil, Layla baru bisa kembali ke rumah pukul 6 sore.“Kok, gelap—ASTAGA!”Layla menjatuhkan semua map dan bahan mengajar di tangannya saat melihat sesosok bayangan hitam duduk di sofa. Kacamata yang dipakainya berkilat terkena seberkas cahaya dari jendela, membuatnya seperti mata dedemit yang menyeramkan.Apalagi sosok itu hanya diam saja, tidak menyapanya ketika masuk ke rumah. Rambutnya yang diturunkan itu hampir menutupi sebagian wajahnya, sangat berbeda dari tampilannya yang biasa.“NGAPAIN SIH GELAP-GELAP BEGINI?!” Layla tidak tahan untuk mengomel kepada Aldimas yang duduk di sana.Layla mengambil kembali barang-barangnya yang berserakan, lalu menyalakan lampu utama. “Kamu sebegitu sakitnya sampai gak bisa nyalain lampu?”“A
Aldimas menggelengkan kepalanya dan berdeham. Ia mengatur wajahnya agar datar kembali. Ia membiarkan Layla memasak di sana, tanpa mau bertanya lagi.Sebuah getaran di meja makan membuat Aldimas menoleh. Ternyata itu adalah ponsel Layla, yang menyala karena ada satu pesan masuk. Mata Aldimas seolah bergerak otomatis. Ia melirik layar ponsel itu.‘Foto pria?’ Alis Aldimas berkerut ketika melihat sekilas lock-screen ponsel Layla. Ia belum melihatnya dengan jelas karena layarnya sudah mati duluan. Namun, bisa dipastikan kalau pria itu bukan dirinya.Aldimas melirik Layla sekali lagi. ‘Apa yang wanita itu sembunyikan dariku?’“Nah, makanlah,” kata Layla sambil meletakkan nasi hangat dan sayur sop di depan Aldimas.Pria itu mengerjap. Sepertinya, ia terlalu dalam memikirkan siapa pria di ponsel Layla sampai tidak menyadari kalau wanita itu sudah selesai memasak.“Hm,” Aldimas hanya berdeham, matanya masih melirik ponsel Layla yang mati.“Itu—“Drrt!Ucapan Aldimas terpotong ketika ponsel La
Gara-gara satu pesan itu, Aldimas tidak bisa berkonsentrasi selama di kantor. Beberapa kali ia kehilangan fokusnya, bahkan hampir salah memberikan tanda tangan. Memang hanya satu kalimat, tapi entah kenapa dadanya seperti bergejolak setiap mengingatnya.‘Sejauh mana mereka melangkah?’ itu yang dipikirkan Aldimas. Ia mungkin masih bisa memaklumi soal mantan pacarnya Layla, tapi tidak dengan pacar baru. Apa yang terjadi jika kedua keluarga tahu kalau pernikahan ini hanya kontrak?Pikiran Aldimas semakin tidak karuan. Ia pun menekan interkom, dan menyuruh sekretarisnya masuk ke ruangan.“Saya minta selidiki sesuatu,” suruh Aldimas langsung begitu sang sekretaris masuk ke ruangan. “Selidiki orang yang bernama Jay, yang dekat dengan istriku.”Sekretaris wanita bernama Anggita itu memiringkan kepalanya. “Jay? Maksud Bapak, Zainudin OB kantor kita, Pak?”Aldimas memijat pelipisnya dan menghela napas. “Apa dia dekat dengan istriku?”“Sejauh yang saya ingat... gak, sih, Pak. Kan, yang tahu Bap
Alis Layla berkerut. Kalau tadi, dia kebingungan, kali ini ia lebih merasakan kesal. Suami? Jadi, Aldimas memainkan kartu konyol itu sekarang?Layla mendengus. “Suami? Sekarang kamu mau menyebut dirimu sebagai suami aku?”“Memang itu faktanya,” jawab Aldimas enteng, tanpa peduli kalau Layla sudah merinding dibuatnya.“Konyol banget!” Layla kembali berdiri. Ia menguatkan hatinya untuk tidak sedikit pun gentar ketika Aldimas menggunakan nada otoriternya kembali.“Layla Sarasvati!”Layla terus berjalan setelah menyambar tas kerja dan tidak lupa membawa ponsel itu kembali. Akan gawat jadinya kalau Aldimas bertanya lebih jauh soal pesan-pesan itu. Meskipun begitu, Layla bisa merasakan Aldimas mengikutinya di belakang.“Pukul tujuh pagi, dia mengirimkanmu pesan. Lalu, ada pesan lagi pada pukul dua belas, memintamu jangan lupa makan siang. Kemudian, pesan terakhir ini masuk sore ini, menceritakan soal peliharaannya atau entah siapa—namanya White,” Aldimas mengoceh dengan nada datar, seperti
Layla membuka pintu kamarnya perlahan, lalu melongokkan kepala ke kamar depan. Pintu kamar Aldimas masih tertutup rapat. Itu berarti, entah pria itu belum bangun, atau sudah berangkat lebih dulu.‘Aman....’ Layla mendesah, lalu mengendap keluar dari kamarnya. Ia harus menghindari Aldimas sebisa mungkin mulai sekarang. Kejadian semalam tentu menjadi trauma besar untuk Layla, dan ia masih belum memiliki muka untuk menghadapi Aldimas.“Ayo, sarapan.”Layla membeku ketika mendengar suara Aldimas begitu memasuki ruang makan. Pria itu sudah duduk manis di meja makan, menyesap kopinya sambil mengecek layar tablet. Matanya sedikit melirik begitu melihat Layla datang.Mungkin Layla kurang berdoa, sehingga Tuhan sedang memberinya hukuman. Ia berharap tidak bertemu sama sekali dengan Aldimas pagi ini, atau paling tidak seharian ini. Namun yang terjadi malah sebaliknya.Layla merasa seperti tikus yang terperangkap. Ia tetap terpaku di tempatnya berdiri.“Kamu gak mau sarapan?” ulang Aldimas setel
Layla membulatkan matanya. Ia bukan terkejut karena Raikhal mengetahui soal gugatan itu, melainkan terkejut karena prosesnya sangatlah cepat. Ternyata benar, Raikhal menghubunginya gara-gara gugatannya sudah diproses pengadilan.“Seratus lima puluh juta?! Kamu gila, ya!” bentak Raikhal lagi, mengulang jumlah gugutan yang Layla layangkan.Layla menarik napas panjang. “Harusnya kamu bilang itu ke diri kamu sendiri,” jawabnya. “Kamu gila, ya, udah habisin uang aku segitu banyaknya?”Layla pun mendorong tubuh Raikhal. Walaupun tidak berbuah banyak, setidaknya ia berhasil menciptakan jarak di antara keduanya. Dengan begitu, Layla bisa merogoh saku blazernya dan memegang ponselnya erat-erat.‘Please, Mas Diego... semoga kamu dengerin percakapan ini buat jadi bukti tambahan,’ mohon Layla dalam hati.“Aku udah kasih kamu seminggu buat balikin semua atau sebagian uang aku, tapi apa? Kamu bahkan sama sekali gak tanggapin aku. Jumlah yang kamu baca itu gak semuanya aku hitung. Masih ada tetek-be
Raikhal dengan cepat bangun dan mengangkat kepalanya. Ia memicing begitu melihat sosok tinggi yang berdiri menjulang di hadapannya.“Siapa lo?!” bentak Raikhal.Namun, pria itu tidak menjawab, dan hanya membenarkan letak kacamatanya sebelum membantu Layla bangun. Bisa Raikhal dengan suaranya yang berat itu menanyakan keadaan Layla dengan lembut. Dari sanalah Raikhal menduga suatu hal.“Ah... simpenan baru kamu, Lay?” Raikhal terkekeh sinis, lalu menunjuk-nunjuk Layla yang tampak payah. “Ckck... udah aku duga, kamu emang berbakat buat gaet pria-pria matang.... Hebat kamu, Lay!”Layla hanya mengerjapkan matanya, tidak memiliki tenaga untuk menjawab semua ucapan kasar Raikhal. Ia menoleh, menatap bingung suami—kontaknya—yang berdiri sambil merangkul bahunya. Kenapa orang ini bisa ada di sini? Bagaimana Aldimas tahu keberadaannya?“Jawab dong, Sayang....” Raikhal mengulurkan tangan, bermaksud untuk meraih lengan Layla.Melihat itu, Layla hanya memejamkan mata. Ia takut Raikhal kembali ber