Aldimas menggelengkan kepalanya dan berdeham. Ia mengatur wajahnya agar datar kembali. Ia membiarkan Layla memasak di sana, tanpa mau bertanya lagi.Sebuah getaran di meja makan membuat Aldimas menoleh. Ternyata itu adalah ponsel Layla, yang menyala karena ada satu pesan masuk. Mata Aldimas seolah bergerak otomatis. Ia melirik layar ponsel itu.‘Foto pria?’ Alis Aldimas berkerut ketika melihat sekilas lock-screen ponsel Layla. Ia belum melihatnya dengan jelas karena layarnya sudah mati duluan. Namun, bisa dipastikan kalau pria itu bukan dirinya.Aldimas melirik Layla sekali lagi. ‘Apa yang wanita itu sembunyikan dariku?’“Nah, makanlah,” kata Layla sambil meletakkan nasi hangat dan sayur sop di depan Aldimas.Pria itu mengerjap. Sepertinya, ia terlalu dalam memikirkan siapa pria di ponsel Layla sampai tidak menyadari kalau wanita itu sudah selesai memasak.“Hm,” Aldimas hanya berdeham, matanya masih melirik ponsel Layla yang mati.“Itu—“Drrt!Ucapan Aldimas terpotong ketika ponsel La
Gara-gara satu pesan itu, Aldimas tidak bisa berkonsentrasi selama di kantor. Beberapa kali ia kehilangan fokusnya, bahkan hampir salah memberikan tanda tangan. Memang hanya satu kalimat, tapi entah kenapa dadanya seperti bergejolak setiap mengingatnya.‘Sejauh mana mereka melangkah?’ itu yang dipikirkan Aldimas. Ia mungkin masih bisa memaklumi soal mantan pacarnya Layla, tapi tidak dengan pacar baru. Apa yang terjadi jika kedua keluarga tahu kalau pernikahan ini hanya kontrak?Pikiran Aldimas semakin tidak karuan. Ia pun menekan interkom, dan menyuruh sekretarisnya masuk ke ruangan.“Saya minta selidiki sesuatu,” suruh Aldimas langsung begitu sang sekretaris masuk ke ruangan. “Selidiki orang yang bernama Jay, yang dekat dengan istriku.”Sekretaris wanita bernama Anggita itu memiringkan kepalanya. “Jay? Maksud Bapak, Zainudin OB kantor kita, Pak?”Aldimas memijat pelipisnya dan menghela napas. “Apa dia dekat dengan istriku?”“Sejauh yang saya ingat... gak, sih, Pak. Kan, yang tahu Bap
Alis Layla berkerut. Kalau tadi, dia kebingungan, kali ini ia lebih merasakan kesal. Suami? Jadi, Aldimas memainkan kartu konyol itu sekarang?Layla mendengus. “Suami? Sekarang kamu mau menyebut dirimu sebagai suami aku?”“Memang itu faktanya,” jawab Aldimas enteng, tanpa peduli kalau Layla sudah merinding dibuatnya.“Konyol banget!” Layla kembali berdiri. Ia menguatkan hatinya untuk tidak sedikit pun gentar ketika Aldimas menggunakan nada otoriternya kembali.“Layla Sarasvati!”Layla terus berjalan setelah menyambar tas kerja dan tidak lupa membawa ponsel itu kembali. Akan gawat jadinya kalau Aldimas bertanya lebih jauh soal pesan-pesan itu. Meskipun begitu, Layla bisa merasakan Aldimas mengikutinya di belakang.“Pukul tujuh pagi, dia mengirimkanmu pesan. Lalu, ada pesan lagi pada pukul dua belas, memintamu jangan lupa makan siang. Kemudian, pesan terakhir ini masuk sore ini, menceritakan soal peliharaannya atau entah siapa—namanya White,” Aldimas mengoceh dengan nada datar, seperti
Layla membuka pintu kamarnya perlahan, lalu melongokkan kepala ke kamar depan. Pintu kamar Aldimas masih tertutup rapat. Itu berarti, entah pria itu belum bangun, atau sudah berangkat lebih dulu.‘Aman....’ Layla mendesah, lalu mengendap keluar dari kamarnya. Ia harus menghindari Aldimas sebisa mungkin mulai sekarang. Kejadian semalam tentu menjadi trauma besar untuk Layla, dan ia masih belum memiliki muka untuk menghadapi Aldimas.“Ayo, sarapan.”Layla membeku ketika mendengar suara Aldimas begitu memasuki ruang makan. Pria itu sudah duduk manis di meja makan, menyesap kopinya sambil mengecek layar tablet. Matanya sedikit melirik begitu melihat Layla datang.Mungkin Layla kurang berdoa, sehingga Tuhan sedang memberinya hukuman. Ia berharap tidak bertemu sama sekali dengan Aldimas pagi ini, atau paling tidak seharian ini. Namun yang terjadi malah sebaliknya.Layla merasa seperti tikus yang terperangkap. Ia tetap terpaku di tempatnya berdiri.“Kamu gak mau sarapan?” ulang Aldimas setel
Layla membulatkan matanya. Ia bukan terkejut karena Raikhal mengetahui soal gugatan itu, melainkan terkejut karena prosesnya sangatlah cepat. Ternyata benar, Raikhal menghubunginya gara-gara gugatannya sudah diproses pengadilan.“Seratus lima puluh juta?! Kamu gila, ya!” bentak Raikhal lagi, mengulang jumlah gugutan yang Layla layangkan.Layla menarik napas panjang. “Harusnya kamu bilang itu ke diri kamu sendiri,” jawabnya. “Kamu gila, ya, udah habisin uang aku segitu banyaknya?”Layla pun mendorong tubuh Raikhal. Walaupun tidak berbuah banyak, setidaknya ia berhasil menciptakan jarak di antara keduanya. Dengan begitu, Layla bisa merogoh saku blazernya dan memegang ponselnya erat-erat.‘Please, Mas Diego... semoga kamu dengerin percakapan ini buat jadi bukti tambahan,’ mohon Layla dalam hati.“Aku udah kasih kamu seminggu buat balikin semua atau sebagian uang aku, tapi apa? Kamu bahkan sama sekali gak tanggapin aku. Jumlah yang kamu baca itu gak semuanya aku hitung. Masih ada tetek-be
Raikhal dengan cepat bangun dan mengangkat kepalanya. Ia memicing begitu melihat sosok tinggi yang berdiri menjulang di hadapannya.“Siapa lo?!” bentak Raikhal.Namun, pria itu tidak menjawab, dan hanya membenarkan letak kacamatanya sebelum membantu Layla bangun. Bisa Raikhal dengan suaranya yang berat itu menanyakan keadaan Layla dengan lembut. Dari sanalah Raikhal menduga suatu hal.“Ah... simpenan baru kamu, Lay?” Raikhal terkekeh sinis, lalu menunjuk-nunjuk Layla yang tampak payah. “Ckck... udah aku duga, kamu emang berbakat buat gaet pria-pria matang.... Hebat kamu, Lay!”Layla hanya mengerjapkan matanya, tidak memiliki tenaga untuk menjawab semua ucapan kasar Raikhal. Ia menoleh, menatap bingung suami—kontaknya—yang berdiri sambil merangkul bahunya. Kenapa orang ini bisa ada di sini? Bagaimana Aldimas tahu keberadaannya?“Jawab dong, Sayang....” Raikhal mengulurkan tangan, bermaksud untuk meraih lengan Layla.Melihat itu, Layla hanya memejamkan mata. Ia takut Raikhal kembali ber
Layla belum berani membuka mulut, begitu juga dengan Aldimas. Pria itu hanya menatap lurus ke jalanan, dengan tangan yang menggenggam kemudi dengan erat. Dari ujung mata Layla, ia bisa melihat pria itu mulai mengutak-atik ponselnya yang terpasang di dashboard mobil. Ia menghubungi Diego, dan mengaturnya dalam mode loudspeaker.“Halo—“Belum selesai Diego menyapa, Aldimas sudah memotongnya, “Naikan tuntutannya.”“Apa?” suara Diego terdengar kebingungan.“Untuk bajingan itu, naikan tuntutannya,” ulang Aldimas. “Dan tambahkan juga pasal penganiayaan dan....”Ketika Aldimas menoleh sejenak ke arahnya, Layla terkesiap. Punggungnya refleks menjadi tegak, tetapi matanya hanya mengerjap. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat melihat tatapan datar yang memancarkan kekhawatiran itu.‘Kenapa dia menatapku begitu?’ batin Layla bertanya.“Prostitusi online,” lanjut Aldimas, mengakhiri perintahnya.Layla membulatkan matanya. Bagaimana Aldimas tahu soal prostitusi online itu? Bukankah ia hanya mengu
Aldimas menghela napas, lalu menjawab dengan datar. “Bukan kamu yang tonjok saya.”Aldimas pikir, wanita itu akan mengoceh atau paling tidak sekadar terkekeh dengan jawabannya itu. Namun ternyata tidak, Layla masih hanya menatapnya. Bibirnya tertekuk ke bawah, dan bisa Aldimas lihat ia juga menggigit kecil bibir bawahnya itu.‘Kenapa kamu memasang wajah seperti itu?’ batin Aldimas bertanya.Layla tiba-tiba saja mengulurkan tangannya, membuat bola mata Aldimas membulat seketika. Namun anehnya, Aldimas sama sekali tidak bisa bergerak. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku ketika melihat jemari kurus Layla mengarah ke sudut bibirnya.“Beneran gak apa-apa?” tanya Layla ketika ia berhasil menyentuh luka itu.Jujur, Aldimas merasakan sedikit perih sekarang, tapi ia tidak bisa menghindar. Ia malah merasa jika rasa sakit dan ujung jari Layla seperti candu.Aldimas ingin menahan tangan itu lebih lama di sana. Ia refleks memegang pergelangan tangan Layla, dan perlahan telapak tangannya membungkus