Layla belum berani membuka mulut, begitu juga dengan Aldimas. Pria itu hanya menatap lurus ke jalanan, dengan tangan yang menggenggam kemudi dengan erat. Dari ujung mata Layla, ia bisa melihat pria itu mulai mengutak-atik ponselnya yang terpasang di dashboard mobil. Ia menghubungi Diego, dan mengaturnya dalam mode loudspeaker.“Halo—“Belum selesai Diego menyapa, Aldimas sudah memotongnya, “Naikan tuntutannya.”“Apa?” suara Diego terdengar kebingungan.“Untuk bajingan itu, naikan tuntutannya,” ulang Aldimas. “Dan tambahkan juga pasal penganiayaan dan....”Ketika Aldimas menoleh sejenak ke arahnya, Layla terkesiap. Punggungnya refleks menjadi tegak, tetapi matanya hanya mengerjap. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat melihat tatapan datar yang memancarkan kekhawatiran itu.‘Kenapa dia menatapku begitu?’ batin Layla bertanya.“Prostitusi online,” lanjut Aldimas, mengakhiri perintahnya.Layla membulatkan matanya. Bagaimana Aldimas tahu soal prostitusi online itu? Bukankah ia hanya mengu
Aldimas menghela napas, lalu menjawab dengan datar. “Bukan kamu yang tonjok saya.”Aldimas pikir, wanita itu akan mengoceh atau paling tidak sekadar terkekeh dengan jawabannya itu. Namun ternyata tidak, Layla masih hanya menatapnya. Bibirnya tertekuk ke bawah, dan bisa Aldimas lihat ia juga menggigit kecil bibir bawahnya itu.‘Kenapa kamu memasang wajah seperti itu?’ batin Aldimas bertanya.Layla tiba-tiba saja mengulurkan tangannya, membuat bola mata Aldimas membulat seketika. Namun anehnya, Aldimas sama sekali tidak bisa bergerak. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku ketika melihat jemari kurus Layla mengarah ke sudut bibirnya.“Beneran gak apa-apa?” tanya Layla ketika ia berhasil menyentuh luka itu.Jujur, Aldimas merasakan sedikit perih sekarang, tapi ia tidak bisa menghindar. Ia malah merasa jika rasa sakit dan ujung jari Layla seperti candu.Aldimas ingin menahan tangan itu lebih lama di sana. Ia refleks memegang pergelangan tangan Layla, dan perlahan telapak tangannya membungkus
Keesokan harinya, Layla memutuskan untuk izin bekerja lebih dulu. Aldimas juga sudah mewanti-wantinya, menyuruhnya untuk mengambil cuti sampai seminggu penuh. Namun, tentu saja Layla tidak mau. Ia hanya perlu beristirahat satu atau dua hari sampai luka-lukanya tidak terlalu kentara.“Telepon saja jika kamu butuh sesuatu,” itu adalah kalimat terakhir Aldimas sebelum menutup pintu.Dulu, Layla pasti akan menganggap itu basa-basi saja, tetapi sekarang ia pasti akan melakukan itu. Kejadian kemarin membuatnya yakin kalau Aldimas bukan pria yang suka omong-kosong. Bahkan ketika telepon Layla itu tidak jelas, ia tetap mencari keberadannya.Tidak banyak yang Layla lakukan selama di rumah. Karena bosan, ia pun membuka catatan mengajarnya dan sesekali bertukar pesan dengan Poppy. Ia tahu kalau tidak bisa mengganggu Poppy setiap saat karena temannya itu pasti sedang mengajar. Mengurusi sepuluh orang balita jauh lebih merepotkan daripada mengerjakan puluhan laporan.Ting! Tong!Layla sedang mereg
Layla tidak menyangka kalau orang yang baru ia temui, justru menjadi orang asing pertama yang tahu soal pernikahan kontrak itu. Maksudnya, dari mana dia tahu? Ia percaya kalau Aldimas tidak seceroboh itu untuk memberitahu keluarganya sendiri.Layla berusaha menormalkan ekspresinya kembali. Ia memaksakan senyum di depan Satria.“Apa maksudmu? Kontrak apa?” tanya Layla, pura-pura tak paham. “Kami emang menikah karena surat wasiat opa kamu, tapi... tidak ada yang namanya kontrak.”Satria malah tertawa renyah mendengar jawaban Layla. “Hanya orang yang gak paham sifat Kak Al, yang bakal percaya soal itu.”Setelahnya, Satria mengubah posisi duduknya lagi. Ia mencodongkan badannya ke depan, menatap Layla dengan lurus. “Aldimas Noah Mandrawoto adalah orang paling perhitungan yang aku kenal.”Dalam hati, Layla sangat setuju dengan pernyataan Satria itu. Mungkin karena jiwa pebisnisnya itu, Aldimas selalu membuat segalanya give and take. Ia tidak mau rugi sendiri.Namun pastinya, Layla tidak bi
Lagi-lagi Satria malah tertawa. “Oh, kalian benar-benar lucu.”Lalu, sebelum Aldimas bertanya apa maksudnya itu, Satria sudah berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekati Aldimas yang masih berdiri di sana. Sebelumnya, Aldimas tidak pernah merasa muak dengan segala tingkah Satria. Namun kali ini, melihat pria itu duduk di ruang tamu rumahnya, mengobrol hanya berdua dengan Layla, ia hampir kehilangan kendali.Satria menepuk pundak Aldimas dua kali. “Jangan sampai menyesal, Kak. Kak Layla... sepertinya wanita yang baik.”Pria itu pun berjalan ke arah pintu sebelum Aldimas mengusirnya lagi. Aldimas bergeming di sana, bahkan setelah ia mendengar suara pintu tertutup.‘Satria tau soal kontrak itu? Dari mana?’ tubuh Aldimas mendadak kaku.Aldimas menoleh ke arah pintu kamar Layla. Tidak mungkin juga wanita itu secara gamblang menceritakannya kepada Satria. Walaupun sifat Layla agak menyebalkan, tapi ia bukan wanita yang terlalu polos.Aldimas akhirnya berjalan menuju pintu itu. Ia mengetukn
Layla tidak yakin apa yang sedang dibicarakan Opa Hardian. Meskipun begitu, ia tetap mengambil sapu tangan berwarna merah muda itu. Sapu tangan itu terasa familar, tapi Layla masih belum ingat kenapa.Mungkin karena menyadari kebingungan Layla, Opa melanjutkan, “Kamu memberikaan kepada saya setahun yang lalu, di pos pendakian waktu itu.”‘Tahun lalu... pos pendakian....’Mata Layla beredar, berusaha mengingat kejadian yang sudah cukup lama itu. Sampai akhirnya, ia mengingat suatu kejadian yang hampir ia lupakan. Waktu itu, Layla dipaksa naik gunung oleh sepupunya. Layla yang tidak suka kegiatan luar ruangan pun sampai terkilir beberapa kali karena terjatuh.Karena jalannya yang lambat, ia pun tertinggal oleh rombongan di pos terakhir. Keadaan mulai mendung dan gerimis, jadi Layla hanya berdiam di pos itu sampai ada seseorang yang menemukannya. Lalu, seseorang tiba-tiba memasuki pos pendakian dengan napas terengah-engah. Layla pikir itu adalah salah satu anggota rombongannya, tapi tern
Setelah itu, hanya Layla dan opanya yang mengobrol. Wanita itu malah sudah duduk anteng di sebelah brankar. Sementara itu, Aldimas sudah berkali-kali melirik jam tangannya.Ia bukan sebal karena Layla menyita waktunya dengan bersikap sok akrab dengan Opa. Malah sebaliknya, ia tidak mau opanya menyita waktu Layla terlalu lama. Wanita itu memang bilang sudah sengaja cuti hari ini, tapi tidak harus menghabiskan waktu seharian bersama Opa, kan?Aldimas jauh lebih tenang mengetahui Layla berdiam diri di rumah, daripada menghadapi bahaya seperti waktu itu.Aldimas hanya menatap percakapan opanya dan Layla dengan tangan terkepal. Begitu banyak kata umpatan di ujung lidahnya ketika opanya mulai bercerita soal masa kecil Aldimas, tetapi tak bisa ia ucapkan. Itu karena Layla terlihat sangat antusias mendengarnya, dan sesekali melempar tatapan jail ke arah Aldimas.Peringatan terakhir datang, sekretaris Aldimas menelepon dan menyuruhnya untuk segera kembali ke kantor untuk menghadiri rapat. Sete
“Boleh.”Layla mengerjap beberapa kali ketika mendengar jawaban Aldimas. Memang, dirinya yang menawarkan mi goreng ini, tetapi ia tidak menyangka kalau Aldimas bakal mengiakan. Hidup hampir tiga bulan bersama pria itu, membuat Layla hampir yakin kalau Aldimas bakal menolaknya dengan dingin.Sekarang, Layla bingung harus menjawab apa. Padahal tadi dia hanya basa-basi.“Kamu yang mau masak, atau saya harus masak sendiri?” tanya Aldimas kemudian, membuat Layla tersadar. Nada bicaranya biasa, tapi entah kenapa bagi Layla itu seperti sindiran.“Iya, iya, aku buatin.” Layla menyuapkan satu gulung mi lagi sebelum beranjak dari sofa.“Layla,” panggil Aldimas tiba-tiba ketika Layla sudah berdiri.“Apa?”“Bisa tidak kamu hanya menjawab satu kali. Saya tidak suka kamu mengulang jawaban seperti itu.”Layla lagi-lagi mendengkus. “Iya, iya.”“Layla.”Layla yang tidak mau mendengar ocehan Aldimas pun segera melesat ke arah dapur. Ia juga dengan terpaksa meninggalkan mangkuk mi goreng itu di ruang te
Kaki Aldimas terus bergerak gelisah, sementara tangannya saling bertaut. Rumah keluarga Darmawan yang memang berada di luar kota, terasa lebih sejuk daripada rumah Aldimas. Namun tetap saja, itu tidak bisa menghentikan laju keringat dingin yang mulai membasahi punggungnya.Aldimas tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Ia gugup, tapi juga kesal. Bukan karena apa-apa, tapi karena pria yang duduk menyilangkan kaki di depannya, dan memandangnya dengan senyum menyebalkan.“Sayang,” Aldimas berbisik kepada Layla yang baru kembali setelah memanggil Nenek dari kamar. “Kok, Mike bisa ada di sini.”Layla meringis dengan wajah bersalah. “Mama yang nyuruh, kebetulan juga dia lagi balik ke Indo.”Aldimas pun hanya menghela napas. Awalnya, ia kira akan jauh lebih sulit menakhlukan sang nenek dibanding mamanya Layla. Namun, yang terjadi malah kebalikannya. Mama Layla jauh lebih protektif dan seolah tidak ingin Layla k
Layla awalnya cukup terkejut sampai tidak bisa berbuat apa pun ketika Aldimas mendorongnya masuk. Namun, bibir Aldimas terasa begitu nyata di atas bibirnya. Layla terbuai dan mulai memejamkan mata, beriringan dengan air mata yang meleleh di pipinya.Rindu yang mereka tahan berbulan-bulan akhirnya meluap tak terbendung. Mereka hanya takut saling dibenci, takut saling menyakiti, hingga saling menahan diri. Ketika salah satunya berani mendobrak, maka tidak ada lagi yang bisa melarang mereka.Aldimas melepaskan ciumannya, lalu menyatukan dahi mereka. Napas keduanya memburu, tapi dada mereka terasa penuh. Ibu jari Aldimas mengusap pipi Layla yang basah. Melihat bibir wanita itu bergetar, Aldimas merasa kembali sesak.“Maaf...,” bisik Aldimas.Layla menggeleng. Lalu, tanpa diduga Aldimas, wanita itu langsung memeluknya. Ia melingkarkan kedua lengannya di leher Aldimas, dan menenggelamkan isak tangisnya di dada
“Kamu bisa lepas sepatunya sekarang, udah gak ada orang.”Wanita itu menoleh setelah Aldimas mengucapkan itu, membuat dia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Namun sayangnya, lift hotel ini semua berupa kaca, membuat Aldimas tetap bisa melihat sosok itu walaupun sudah mengalihkan pandangan.Aldimas memang bukan pria yang baik. Ketika Layla meminta untuk diberikan waktu, ia tidak sesabar itu. Aldimas diam-diam selalu mengawasi wanitanya, menyewa beberapa orang, bahkan sampai membayar mahal Mike hanya untuk sebuah foto. Namun, Aldimas tetap tidak ingin mendekat sebelum Layla yang memutuskan. Ia hanya menunggu dengan cara pengecut seperti itu.Jadi, bukanlah kebetulan sepenuhnya. Aldimas sudah tahu kalau Layla akan kembali ke ibu kota untuk menghadiri pernikahan temannya. Aldimas sendiri juga tamu undangan dari pihak pria. Hanya saja, ucapan Layla tadi benar-benar di luar kendalinya.Anehnya lagi, Layla menjadi sangat penurut sekarang. Padahal Aldimas sudah membayangkan geru
Resepsi pernikahan Poppy diadakan di sebuah ballroom utama hotel mewah. Layla tidak sempat mengikuti upacara pemberkatannya, jadi sebisa mungkin menghadiri resepsi dari awal. Poppy tampak cantik dengan wedding dress berwarna biru langit, dengan efek bunga sakura tiga dimensi.Wanita itu melambai kepada Layla ketika melewati karpet merah yang disediakan. Ia tampak terharu karena Layla bisa datang ke acara pernikahannya. Jujur saja, sampai kemarin pun Layla masih ragu haruskah ia kembali ke kota ini atau tidak. Poppy pun sempat mewanti-wantinya, dan tidak memaksa jika Layla memang tidak bisa. Namun pada akhirnya, Layla bisa memantapkan hati.Ia tidak menyesal datang ke sini. Melihat Poppy tersenyum bahagia, dan digandeng oleh seorang pria gagah terasa sangat mengharukan. Layla memang pernah menikah, tapi pasti rasanya berbeda dengan Poppy. Saat itu, acara pernikahan mereka hanya sebatas formalitas, dan senyum yang Layla tunjukkan hanyalah topeng.Setelah menyapa Poppy, Layla bergabung d
Tujuh bulan kemudian.Breaking news! Farah Yulia ditetapkan sebagai tersangka!...setelah dua kali persidangan, Farah Yulia ditetapkan sebagai salah satu tersangka penggelapan dana MD Group dan penculikan cucu menantu Almarhum Hardian Mandrawoto. Dia ditetapkan bersama sekreatris Hardian Mandrawoto, Norman Gumelar....Layla menghela napas panjang begitu membaca sederet kalimat pada berita itu. Ia tidak menyangka kalau waktunya cukup singkat untuk bisa membongkar semuanya. Bagaimanapun, Layla tahu kalau Farah bukan orang sembarangan. Ia pasti akan melakukan apa saja agar lolos dari tuduhan itu.Namun ternyata, Aldimas sangat bekerja keras sampai bisa menyelesaikan semuanya kurang dari setahun. Kasus penggelapan dana di MD Group yang menjadi ‘kanker’ di perusahaan itu pun terselesaikan dengan baik. Baik
Pesan Layla tidak Aldimas balas sampai pagi hari, tapi pria itu tetap datang ke rumah sakit sambil membawa barang-barang Layla. Aldimas sadar, ia tidak bisa terus menghindari Layla. Terakhir kali ia terus menghindar, semua berakhir buruk. Makanya, Aldimas tidak mau mengulangnya.Satu tangan Aldimas membawa tas besar berisi baju dan beberapa hal yang mungkin dibutuhkan Layla, sedangkan satunya lagi membawa kantung berisi bubur ayam depan kompleks. Setidaknya ia ingin menunjukkan sedikit perhatiannya kepada Layla dan mertuanya.Dari luar kamar ini, terdengar suara orang mengobrol di dalam kamar Layla. Aldimas juga samar-samar mendengar suara pria—mungkin Mike. Ia pun menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu ruang rawat itu.“Masuk,” suara mama Layla terdengar dari dalam.Mereka sama-sama menoleh ke arah Aldimas yang baru masuk. Seperti dugaannya, ada Mike juga di sana. Hanya pria
Tidak!Bukan seperti itu!Aldimas sudah siap dengan segala makian, tapi tidak siap dengan kalimat dingin yang menyebut nama Layla seperti itu.Tidak ada yang boleh membawa Layla peri darinya.“Tapi, Nek—““Saya kecewa sama kamu, Aldimas,” potong nenek Layla sebelum Aldimas membuat pembelaan. “Saya percayakan cucu kesayangan saya sama kamu, tapi... kamu malah membuat dia dalam bahaya. Kurang ajar!”Aldimas terdiam. Neneknya benar, Aldimas yang menghancurkan Layla. Aldimas yang membawa Layla dalam kekacauan ini.“Mike, cepat bawa kami masuk.” Seolah tidak mau berbicara lebih panjang dengan Aldimas, nenek Layla segera menyuruh Mike mendorong kursi rodanya kembali.“Aldimas.”Kepala Aldimas pun beralih kepada mamanya Layla yang memanggil. Namun, begitu bersitatap dengan pandangannya y
Aldimas mencoba untuk tersenyum, tapi air matanya tidak bisa berbohong. Sentuhan Layla membuatnya semakin merasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena melukai wanita selembut ini.Tangan Aldimas menggenggam tangan Layla yang masih berada di pipinya. Kepalanya kembali tertunduk, tak berani menatap wanita itu. “Maaf... Maafkan Mas, Layla....”“Sst.. gak apa-apa, Mas. Aku udah gak apa-apa kok.” Ibu jari Layla mengusap pipi Aldimas dengan lembut.“Maaf Mas gak bisa jagain kalian....”“Mas.”“Maaf, gara-gara Mas, kita harus kehilangan dia.”Untuk kali ini, ucapan Aldimas berhasil membuat Layla terdiam. Alis wanita itu berkerut. Apa ada yang mati gara-gara penyelamatan itu? Apa yang Aldimas maksud adalah Norman? Namun... kenapa pria itu terlihat sangat terpuruk, bila yang mati benar musuhnya?“Dia?” Layla tidak tahan untuk bertanya.
Roda brankar rumah sakit yang berderak di lantai seperti mars kematian untuk Aldimas. Setelah melihat Layla ambruk tadi, ia buru-buru menghampirinya. Ia sudah tidak peduli apa yang terjadi dengan Norman di sana—mau dia mati, berguling di lantai, atau ditembak memababi buta sekalipun. Prioritasnya hanya Layla.Wanita itu terlihat sangat kepayahan. Seluruh tubuhnya gemetaran dan matanya terpejam. Sesaat, Aldimas menduga kalau dirinya terlambat. Sampai akhirnya Layla membuka mata dan menangis ke arahnya.Aldimas pun segera memeluk tubuh mungil wanita itu, menggumamkan beribu maaf kepadanya. Napas Layla yang lemah terdengar mulai tenang. Ya, Aldimas kira dirinya dan Layla akan segera pulang dengan selamat ke rumah dan berpelukan sampai esok hari di kasur yang empuk. Namun, rintihan Layla menghentikannya.“Sakit....”Pada saat itulah Aldimas menyadari ada yang salah. Bukan di k