Layla membulatkan matanya. Ia bukan terkejut karena Raikhal mengetahui soal gugatan itu, melainkan terkejut karena prosesnya sangatlah cepat. Ternyata benar, Raikhal menghubunginya gara-gara gugatannya sudah diproses pengadilan.“Seratus lima puluh juta?! Kamu gila, ya!” bentak Raikhal lagi, mengulang jumlah gugutan yang Layla layangkan.Layla menarik napas panjang. “Harusnya kamu bilang itu ke diri kamu sendiri,” jawabnya. “Kamu gila, ya, udah habisin uang aku segitu banyaknya?”Layla pun mendorong tubuh Raikhal. Walaupun tidak berbuah banyak, setidaknya ia berhasil menciptakan jarak di antara keduanya. Dengan begitu, Layla bisa merogoh saku blazernya dan memegang ponselnya erat-erat.‘Please, Mas Diego... semoga kamu dengerin percakapan ini buat jadi bukti tambahan,’ mohon Layla dalam hati.“Aku udah kasih kamu seminggu buat balikin semua atau sebagian uang aku, tapi apa? Kamu bahkan sama sekali gak tanggapin aku. Jumlah yang kamu baca itu gak semuanya aku hitung. Masih ada tetek-be
Raikhal dengan cepat bangun dan mengangkat kepalanya. Ia memicing begitu melihat sosok tinggi yang berdiri menjulang di hadapannya.“Siapa lo?!” bentak Raikhal.Namun, pria itu tidak menjawab, dan hanya membenarkan letak kacamatanya sebelum membantu Layla bangun. Bisa Raikhal dengan suaranya yang berat itu menanyakan keadaan Layla dengan lembut. Dari sanalah Raikhal menduga suatu hal.“Ah... simpenan baru kamu, Lay?” Raikhal terkekeh sinis, lalu menunjuk-nunjuk Layla yang tampak payah. “Ckck... udah aku duga, kamu emang berbakat buat gaet pria-pria matang.... Hebat kamu, Lay!”Layla hanya mengerjapkan matanya, tidak memiliki tenaga untuk menjawab semua ucapan kasar Raikhal. Ia menoleh, menatap bingung suami—kontaknya—yang berdiri sambil merangkul bahunya. Kenapa orang ini bisa ada di sini? Bagaimana Aldimas tahu keberadaannya?“Jawab dong, Sayang....” Raikhal mengulurkan tangan, bermaksud untuk meraih lengan Layla.Melihat itu, Layla hanya memejamkan mata. Ia takut Raikhal kembali ber
Layla belum berani membuka mulut, begitu juga dengan Aldimas. Pria itu hanya menatap lurus ke jalanan, dengan tangan yang menggenggam kemudi dengan erat. Dari ujung mata Layla, ia bisa melihat pria itu mulai mengutak-atik ponselnya yang terpasang di dashboard mobil. Ia menghubungi Diego, dan mengaturnya dalam mode loudspeaker.“Halo—“Belum selesai Diego menyapa, Aldimas sudah memotongnya, “Naikan tuntutannya.”“Apa?” suara Diego terdengar kebingungan.“Untuk bajingan itu, naikan tuntutannya,” ulang Aldimas. “Dan tambahkan juga pasal penganiayaan dan....”Ketika Aldimas menoleh sejenak ke arahnya, Layla terkesiap. Punggungnya refleks menjadi tegak, tetapi matanya hanya mengerjap. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat melihat tatapan datar yang memancarkan kekhawatiran itu.‘Kenapa dia menatapku begitu?’ batin Layla bertanya.“Prostitusi online,” lanjut Aldimas, mengakhiri perintahnya.Layla membulatkan matanya. Bagaimana Aldimas tahu soal prostitusi online itu? Bukankah ia hanya mengu
Aldimas menghela napas, lalu menjawab dengan datar. “Bukan kamu yang tonjok saya.”Aldimas pikir, wanita itu akan mengoceh atau paling tidak sekadar terkekeh dengan jawabannya itu. Namun ternyata tidak, Layla masih hanya menatapnya. Bibirnya tertekuk ke bawah, dan bisa Aldimas lihat ia juga menggigit kecil bibir bawahnya itu.‘Kenapa kamu memasang wajah seperti itu?’ batin Aldimas bertanya.Layla tiba-tiba saja mengulurkan tangannya, membuat bola mata Aldimas membulat seketika. Namun anehnya, Aldimas sama sekali tidak bisa bergerak. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku ketika melihat jemari kurus Layla mengarah ke sudut bibirnya.“Beneran gak apa-apa?” tanya Layla ketika ia berhasil menyentuh luka itu.Jujur, Aldimas merasakan sedikit perih sekarang, tapi ia tidak bisa menghindar. Ia malah merasa jika rasa sakit dan ujung jari Layla seperti candu.Aldimas ingin menahan tangan itu lebih lama di sana. Ia refleks memegang pergelangan tangan Layla, dan perlahan telapak tangannya membungkus
Keesokan harinya, Layla memutuskan untuk izin bekerja lebih dulu. Aldimas juga sudah mewanti-wantinya, menyuruhnya untuk mengambil cuti sampai seminggu penuh. Namun, tentu saja Layla tidak mau. Ia hanya perlu beristirahat satu atau dua hari sampai luka-lukanya tidak terlalu kentara.“Telepon saja jika kamu butuh sesuatu,” itu adalah kalimat terakhir Aldimas sebelum menutup pintu.Dulu, Layla pasti akan menganggap itu basa-basi saja, tetapi sekarang ia pasti akan melakukan itu. Kejadian kemarin membuatnya yakin kalau Aldimas bukan pria yang suka omong-kosong. Bahkan ketika telepon Layla itu tidak jelas, ia tetap mencari keberadannya.Tidak banyak yang Layla lakukan selama di rumah. Karena bosan, ia pun membuka catatan mengajarnya dan sesekali bertukar pesan dengan Poppy. Ia tahu kalau tidak bisa mengganggu Poppy setiap saat karena temannya itu pasti sedang mengajar. Mengurusi sepuluh orang balita jauh lebih merepotkan daripada mengerjakan puluhan laporan.Ting! Tong!Layla sedang mereg
Layla tidak menyangka kalau orang yang baru ia temui, justru menjadi orang asing pertama yang tahu soal pernikahan kontrak itu. Maksudnya, dari mana dia tahu? Ia percaya kalau Aldimas tidak seceroboh itu untuk memberitahu keluarganya sendiri.Layla berusaha menormalkan ekspresinya kembali. Ia memaksakan senyum di depan Satria.“Apa maksudmu? Kontrak apa?” tanya Layla, pura-pura tak paham. “Kami emang menikah karena surat wasiat opa kamu, tapi... tidak ada yang namanya kontrak.”Satria malah tertawa renyah mendengar jawaban Layla. “Hanya orang yang gak paham sifat Kak Al, yang bakal percaya soal itu.”Setelahnya, Satria mengubah posisi duduknya lagi. Ia mencodongkan badannya ke depan, menatap Layla dengan lurus. “Aldimas Noah Mandrawoto adalah orang paling perhitungan yang aku kenal.”Dalam hati, Layla sangat setuju dengan pernyataan Satria itu. Mungkin karena jiwa pebisnisnya itu, Aldimas selalu membuat segalanya give and take. Ia tidak mau rugi sendiri.Namun pastinya, Layla tidak bi
Lagi-lagi Satria malah tertawa. “Oh, kalian benar-benar lucu.”Lalu, sebelum Aldimas bertanya apa maksudnya itu, Satria sudah berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekati Aldimas yang masih berdiri di sana. Sebelumnya, Aldimas tidak pernah merasa muak dengan segala tingkah Satria. Namun kali ini, melihat pria itu duduk di ruang tamu rumahnya, mengobrol hanya berdua dengan Layla, ia hampir kehilangan kendali.Satria menepuk pundak Aldimas dua kali. “Jangan sampai menyesal, Kak. Kak Layla... sepertinya wanita yang baik.”Pria itu pun berjalan ke arah pintu sebelum Aldimas mengusirnya lagi. Aldimas bergeming di sana, bahkan setelah ia mendengar suara pintu tertutup.‘Satria tau soal kontrak itu? Dari mana?’ tubuh Aldimas mendadak kaku.Aldimas menoleh ke arah pintu kamar Layla. Tidak mungkin juga wanita itu secara gamblang menceritakannya kepada Satria. Walaupun sifat Layla agak menyebalkan, tapi ia bukan wanita yang terlalu polos.Aldimas akhirnya berjalan menuju pintu itu. Ia mengetukn
Layla tidak yakin apa yang sedang dibicarakan Opa Hardian. Meskipun begitu, ia tetap mengambil sapu tangan berwarna merah muda itu. Sapu tangan itu terasa familar, tapi Layla masih belum ingat kenapa.Mungkin karena menyadari kebingungan Layla, Opa melanjutkan, “Kamu memberikaan kepada saya setahun yang lalu, di pos pendakian waktu itu.”‘Tahun lalu... pos pendakian....’Mata Layla beredar, berusaha mengingat kejadian yang sudah cukup lama itu. Sampai akhirnya, ia mengingat suatu kejadian yang hampir ia lupakan. Waktu itu, Layla dipaksa naik gunung oleh sepupunya. Layla yang tidak suka kegiatan luar ruangan pun sampai terkilir beberapa kali karena terjatuh.Karena jalannya yang lambat, ia pun tertinggal oleh rombongan di pos terakhir. Keadaan mulai mendung dan gerimis, jadi Layla hanya berdiam di pos itu sampai ada seseorang yang menemukannya. Lalu, seseorang tiba-tiba memasuki pos pendakian dengan napas terengah-engah. Layla pikir itu adalah salah satu anggota rombongannya, tapi tern