Layla tidak menyangka kalau orang yang baru ia temui, justru menjadi orang asing pertama yang tahu soal pernikahan kontrak itu. Maksudnya, dari mana dia tahu? Ia percaya kalau Aldimas tidak seceroboh itu untuk memberitahu keluarganya sendiri.Layla berusaha menormalkan ekspresinya kembali. Ia memaksakan senyum di depan Satria.“Apa maksudmu? Kontrak apa?” tanya Layla, pura-pura tak paham. “Kami emang menikah karena surat wasiat opa kamu, tapi... tidak ada yang namanya kontrak.”Satria malah tertawa renyah mendengar jawaban Layla. “Hanya orang yang gak paham sifat Kak Al, yang bakal percaya soal itu.”Setelahnya, Satria mengubah posisi duduknya lagi. Ia mencodongkan badannya ke depan, menatap Layla dengan lurus. “Aldimas Noah Mandrawoto adalah orang paling perhitungan yang aku kenal.”Dalam hati, Layla sangat setuju dengan pernyataan Satria itu. Mungkin karena jiwa pebisnisnya itu, Aldimas selalu membuat segalanya give and take. Ia tidak mau rugi sendiri.Namun pastinya, Layla tidak bi
Lagi-lagi Satria malah tertawa. “Oh, kalian benar-benar lucu.”Lalu, sebelum Aldimas bertanya apa maksudnya itu, Satria sudah berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekati Aldimas yang masih berdiri di sana. Sebelumnya, Aldimas tidak pernah merasa muak dengan segala tingkah Satria. Namun kali ini, melihat pria itu duduk di ruang tamu rumahnya, mengobrol hanya berdua dengan Layla, ia hampir kehilangan kendali.Satria menepuk pundak Aldimas dua kali. “Jangan sampai menyesal, Kak. Kak Layla... sepertinya wanita yang baik.”Pria itu pun berjalan ke arah pintu sebelum Aldimas mengusirnya lagi. Aldimas bergeming di sana, bahkan setelah ia mendengar suara pintu tertutup.‘Satria tau soal kontrak itu? Dari mana?’ tubuh Aldimas mendadak kaku.Aldimas menoleh ke arah pintu kamar Layla. Tidak mungkin juga wanita itu secara gamblang menceritakannya kepada Satria. Walaupun sifat Layla agak menyebalkan, tapi ia bukan wanita yang terlalu polos.Aldimas akhirnya berjalan menuju pintu itu. Ia mengetukn
Layla tidak yakin apa yang sedang dibicarakan Opa Hardian. Meskipun begitu, ia tetap mengambil sapu tangan berwarna merah muda itu. Sapu tangan itu terasa familar, tapi Layla masih belum ingat kenapa.Mungkin karena menyadari kebingungan Layla, Opa melanjutkan, “Kamu memberikaan kepada saya setahun yang lalu, di pos pendakian waktu itu.”‘Tahun lalu... pos pendakian....’Mata Layla beredar, berusaha mengingat kejadian yang sudah cukup lama itu. Sampai akhirnya, ia mengingat suatu kejadian yang hampir ia lupakan. Waktu itu, Layla dipaksa naik gunung oleh sepupunya. Layla yang tidak suka kegiatan luar ruangan pun sampai terkilir beberapa kali karena terjatuh.Karena jalannya yang lambat, ia pun tertinggal oleh rombongan di pos terakhir. Keadaan mulai mendung dan gerimis, jadi Layla hanya berdiam di pos itu sampai ada seseorang yang menemukannya. Lalu, seseorang tiba-tiba memasuki pos pendakian dengan napas terengah-engah. Layla pikir itu adalah salah satu anggota rombongannya, tapi tern
Setelah itu, hanya Layla dan opanya yang mengobrol. Wanita itu malah sudah duduk anteng di sebelah brankar. Sementara itu, Aldimas sudah berkali-kali melirik jam tangannya.Ia bukan sebal karena Layla menyita waktunya dengan bersikap sok akrab dengan Opa. Malah sebaliknya, ia tidak mau opanya menyita waktu Layla terlalu lama. Wanita itu memang bilang sudah sengaja cuti hari ini, tapi tidak harus menghabiskan waktu seharian bersama Opa, kan?Aldimas jauh lebih tenang mengetahui Layla berdiam diri di rumah, daripada menghadapi bahaya seperti waktu itu.Aldimas hanya menatap percakapan opanya dan Layla dengan tangan terkepal. Begitu banyak kata umpatan di ujung lidahnya ketika opanya mulai bercerita soal masa kecil Aldimas, tetapi tak bisa ia ucapkan. Itu karena Layla terlihat sangat antusias mendengarnya, dan sesekali melempar tatapan jail ke arah Aldimas.Peringatan terakhir datang, sekretaris Aldimas menelepon dan menyuruhnya untuk segera kembali ke kantor untuk menghadiri rapat. Sete
“Boleh.”Layla mengerjap beberapa kali ketika mendengar jawaban Aldimas. Memang, dirinya yang menawarkan mi goreng ini, tetapi ia tidak menyangka kalau Aldimas bakal mengiakan. Hidup hampir tiga bulan bersama pria itu, membuat Layla hampir yakin kalau Aldimas bakal menolaknya dengan dingin.Sekarang, Layla bingung harus menjawab apa. Padahal tadi dia hanya basa-basi.“Kamu yang mau masak, atau saya harus masak sendiri?” tanya Aldimas kemudian, membuat Layla tersadar. Nada bicaranya biasa, tapi entah kenapa bagi Layla itu seperti sindiran.“Iya, iya, aku buatin.” Layla menyuapkan satu gulung mi lagi sebelum beranjak dari sofa.“Layla,” panggil Aldimas tiba-tiba ketika Layla sudah berdiri.“Apa?”“Bisa tidak kamu hanya menjawab satu kali. Saya tidak suka kamu mengulang jawaban seperti itu.”Layla lagi-lagi mendengkus. “Iya, iya.”“Layla.”Layla yang tidak mau mendengar ocehan Aldimas pun segera melesat ke arah dapur. Ia juga dengan terpaksa meninggalkan mangkuk mi goreng itu di ruang te
“Ya, harus.”“...Harus.”“....Rus.”“ARGH!!”Layla menendang selimutnya sendiri dan berteriak. Pembicaraannya dengan Aldimas sore tadi terus berputar di otaknya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi matanya belum bisa terpejam. Padahal, besok ia harus sudah kembali bekerja.Layla tidak punya banyak pengalaman soal pria. Ia memang pernah berpacaran beberapa kali, tetapi bukan berarti pengalamannya sebanyak itu. Mereka tidak pernah lebih dari saling berpelukan dan ciuman ringan.“Apa aku tanya Poppy, ya? Tapi... dia juga sama payahnya sama aku.” Layla mengacak rambutnya sendiri. “Atau Mike?”Tiba-tiba saja nama Mike terlintas di kepala Layla. Mike—atau Michael Hartono, adalah sahabat kecilnya yang sekarang lebih aktif di Amerika Serikat untuk karier modelnya. Waktu SMA dulu, Mike terkenal suka sekali gonta-ganti pacar.‘Jadi... dia pasti punya pengalaman lebih banyak, kan?’ pikir Layla dalam hati.Kalau dilihat dari waktunya, sekarang pasti masih siang hari di Amerika Ser
Tidak ada yang berjalan baik setelah pembicaraannya dengan Aldimas sore itu. Menelepon Mike pun tidak membuahkan hasil. Selama beberapa hari, Layla hidup seperti zombi. Ia terlalu khawatir Aldimas tiba-tiba menerobos kamarnya dan mengajaknya tidur bersama.Di sekolah pun Layla hampir tidak bisa berkonsentrasi. Ia berkali-kali ditegur rekannya, bahkan anak muridnya juga. Begitu pulang ke rumah, pikirannya kembali dipenuhi Aldimas.‘Lama-lama, aku bisa gila,’ gerutu Layla dalam hati ketika membuka pintu kamar. Hari yang sama berulang.“Layla,” suara Aldimas memanggil dari meja makan.Beberapa hari terakhir ini, Layla selalu berangkat lebih awal untuk menghindari Aldimas. Namun entah kenapa pria itu bisa bangun lebih pagi hari ini. Itu artinya, Layla tidak bisa menghindar.“H-hai,” sapa Layla kaku.“Duduk. Saya rasa kita harus bicara.”Layla menggigit bibir bawahnya dan menuruti ucapan Aldimas. Perlahan, ia menarik kursi di depan Aldimas. Lalu, seolah sudah disiapkan sejak awal, Aldimas
Awalnya, Layla berpikir semua itu hanya lelucon. Mike tidak mungkin sebaik itu untuk pulang demi dirinya. Mike tidak mungkin selenggang itu jadwalnya. Dan Mike tidak mungkin senekat itu untuk meninggalkan ‘pacar-pacarnya’ di Amerika.“Tapi, kamu gak bilang mau pulang. D-dan... ngapain kamu di sini?!” Layla mengambil satu langkah mundur begitu Mike berdiri tepat di depannya.“Aku ke rumah kamu, tapi Nenek sama Tante bilang kamu itu udah tinggal sama suami.” Mike menghela napas kasar. “Gimana aku gak syok pas dengar sendiri kamu itu udah bersuami, dan itu bukan si bajingan Raikhal?!”“Maaf, itu—““Kamu gak hamil duluan, kan?”“APA?!”“Kayaknya mustahil juga.” Mike menaruh jari telunjuknya di dagu, sembari matanya menatap ke arah perut Layla. “Kamu aja tanya soal seks sama aku.”“MICHAEL HARTONO!”Wajah Layla memerah seketika. Ini tempat umum, bagaimana bisa Mike berkata segamblang itu di sini?!“Sstt, jangan teriak-teriak dong!” Mike menurunkan kacamata hitamnya, dan menunjukkan wajah s