Hanya satu kalimat, tapi sukses membuat seluruh tubuh Layla merinding seketika. Tidak sampai sepuluh detik, pria itu meneleponnya lagi. Kali ini, Layla mau tidak mau mengangkatnya.“Halo?” sapa Layla.“Kamu di mana?”Layla menaikan sebelah alisnya. “Bukannya aku udah bilang, aku lagi karya wisata sama anak-anak?”“Aku tau,” sekilas, Layla bisa mendengar helaan napas Aldimas. “Maksud saya, posisi kamu di mana?”“Di pantai.” Dahi Layla masih berkerut, tapi ia menjawab seadaanya saja. Layla juga melihat tatapan bingung Mike, seolah bertanya ‘ada apa?’, dan Layla hanya menjawabnya dengan bahu terangkat.“Oke.”Aldimas memutuskan panggilan begitu saja, tanpa ada penjelasan soal pertanyaannya itu. Layla menatap ponselnya dengan kerutan dahi semakin dalam. Ia tahu kalau Aldimas aneh, tapi tidak pernah membayangkan bisa seaneh ini. Akhirnya, Layla tidak mau memikirkan itu lagi, dan kembali memasukan ponselnya ke saku celana.“Siapa? Suamimu?” tanya Mike, terdengar sedikit sarkas.“Kenapa nada
Bisa terlihat jelas kalau wanita itu sedang marah besar kepadanya, tapi Aldimas tidak peduli. Ia tetap mengikuti langkah berapi-api Layla. Kalau saja ada kertas yang terinjak di atas pasir itu, sudah pasti terbakar gara-gara Layla.“Kamu!” Layla tiba-tiba berbalik badan, membuat Aldimas juga berhenti melangkah.Kedua alis wanita itu berkedut-kedut, menunjukkan seberapa jengkelnya dia sekarang. Namun bukannya kesal, Aldimas malah merasa geli melihatnya. Layla terlihat seperti anak anjing yang berusaha menakut-nakuti seekor serigala.“Sampai kapan kamu mau bertingkah kayak gitu?” Layla melanjutkan, dengan tangan sibuk menyibak rambutnya yang berantakan karena angin.“Saya kenapa?”“Tiba-tiba datang, tiba-tiba panggil ‘sayang’, tiba-tiba peluk, tiba-tiba berantem sama Mike, tiba-tiba—““Itu gak tiba-tiba, saya memang sudah berencana datang ke sini,” potong Aldimas ketika menyadari kalau Layla tidak akan berhenti sebelum disela.Wanita itu menyipitkan matanya, membuat Aldimas menghela nap
Rasanya, Layla ingin melemparkan bola matanya ke kepala Aldimas sampai bolong. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu kepada sang nenek?! Belum lagi senyum mengejeknya itu dengan lirikan yang membuatnya jengkel. Pria ini pasti sedang balas dendam gara-gara Layla menghindarinya seminggu penuh.“Sini, balikin!” Layla berusaha meraih ponselnya kembali, tapi Aldimas menggerakkan tubuhnya, sehingga ia tidak berhasil.Tubuh Aldimas yang jauh lebih tinggi menjadi keunggulan. Satu tangannya yang besar pun sedang memegangi tangan kanan Layla, sehingga wanita itu hanya bisa mengandalkan tangan kirinya. Layla sudah melompat-lompat seperti anak katak, tapi tetap saja tidak berhasil mengambil ponsel itu.Sementara itu, Aldimas terus berbicara dengan neneknya. Ia meladeni setiap ucapan aneh yang dibicarakan Nenek. Bahkan, Layla sempat mendengar neneknya mengucapkan soal cicit.‘Gila! Masalah Opa aja belum selesai, ini ditambah Nenek?! Orang ini beneran mau tidur sama aku, ya?!’ rasanya, Layla ingin s
Layla melirik ke arah Aldimas. Ia tahu, pria itu pasti sedang menahan tawanya. Aldimas berkali-kali berdeham sambil menghindari mata Layla. Begitu mereka saling bertatapan lagi, Layla bisa melihat sudut bibir pria itu berkedut.‘Menyebalkan!’“Saya pesan layanan kamar sebentar,” ucap Aldimas, dengan nada yang terdengar biasa—pura-pura.Sepertinya, Layla menyadari itu. Ia kembali berkata dengan ketus sambil menatap langit-langit kamar, “Gak perlu, aku gak laper banget.”“Saya sekalian mau turun.”Kali ini, ucapan Aldimas sukses membuatnya menoleh. Layla kira, ketika Aldimas bilang akan memesan layanan kamar, pria itu akan memanggilnya melalui telepon hotel.“Turun?” ulang Layla.Akhirnya, Layla paham kenapa Aldimas hanya berdiri di sana sedari tadi. Pria itu bahkan tidak melepaskan jam tangan mahalnya, atau paling tidak mengganti sepatu itu dengan sandal hotel.“Kamu bisa pakai kamar ini sendiri, biar saya cari kamar lain,” ucap Aldimas, sehingga membuat Layla duduk di tepi kasur.Untu
Begitu Layla terbangun, matahari sudah menyapa dari balik gorden.Wanita itu mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa lebih ringan—atau lebih tepatnya, kosong. Ia seperti melewatkan satu hal malam tadi, tapi tidak ingat apa itu.Kasur di sebelahnya kosong—tidak, bahkan kamar ini sangat sunyi. Ia sendirian di sini, tapi rasanya semalam tidak begitu. Layla merasa ada seseorang yang duduk di sebelahnya, di tepi kasur, duduk sambil membelai wajahnya beberapa kali. Lalu, orang itu mencium—“AHHH!!”Layla refleks duduk di kasur sambil memegangi bibirnya sendiri. Itu pasti hanya mimpi, kan?“Aldimas... gak datang malam tadi, kan?” Layla bergumam pelan sambil masih memegangi bibirnya.Matanya melirik sekeliling, telinganya pun ditajamkan. Kamar ini benar-benar sepi, tidak ada suara-suara kehidupan, selain suara napasnya sendiri. Perlahan, Layla menurunkan kakinya dan mencari sandal hotelnya. Ia terjinjit mengintip ke arah kamar mandi yang pintunya terbuka.Aman. Tidak ada seorang pun di sana
Layla benci siapa saja yang menahannya untuk berada di sekolah lebih lama. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, seharusnya ia sudah bersama sang kekasih, menonton film bersama di apartemennya.Namun, dua orang pria berpakaian jas licin dan rambut ditata rapi, menghancurkan semua rencana Layla. Mereka datang tanpa janji, dan membuat Layla terpaksa menemuinya di ruang bimbingan murid ini.“Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?” Layla bertanya dengan sopan sambil mengeluarkan senyum bisnisnya. Itu senyum yang selalu ia pakai ketika berhadapan dengan wali murid.“Oh, Nona Layla Sarasvati?” seorang pria yang memakai jas abu-abu menyapa Layla lebih dulu, dan mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Diego Januerja, pengacara.”Layla juga menerima kartu nama dari pria bernama Diego itu. Dahinya mengernyit, untuk apa seorang pengacara menemuinya? Apa dia salah satu wali murid di pre-school ini?“Dan ini—““Berhenti basa-basi, dan langsung saja bicara intinya.” Seorang pria lain yang memakai jas h
Heels merah menyala itu seolah tengah mengejek Layla. Ia tergeletak sembarangan, seperti dibuka secara terburu-buru. Di dekatnya, ada sepatu warna hitam yang sangat dikenalnya—itu milik Raikhal.Tubuh Layla langsung menegang. Ia bukan wanita polos yang tidak bisa berspekulasi macam-macam. Usianya sudah menginjak 27 tahun, dan hal dewasa seperti ini sudah menjadi gosip yang didengarnya hampir setiap hari.“R-Rai?” Layla masuk dengan debar jantung yang sudah menggila.Kepalanya sudah kosong saking cepatnya aliran darah yang mengalir ke kepala. Keringat dingin membanjiri punggungnya. Sampai ia mencapai ruang tengah, genggaman tangannya pada tas menjadi lemas.Kemeja dan celana jeans berserakan di sana, lengkap dengan pakaian dalam wanita.“Mhhm... lebih cepat, Sayang....”Layla menoleh, tepat ke arah pintu kamar tidur yang terbuka sedikit. Itu suara desahan wanita.“Kamu gak sabaran banget ya....”Sekarang, Layla tahu persis siapa pemilik suara itu. Raikhal. Suaranya terdengar lebih bera
“Aku kasih kamu kesempatan satu minggu buat balikin semua uang yang kamu pakai buat isi apartemen, beli kamera, dan sewa studio kamu.”Wajah Raikhal langsung memucat begitu mendengar permintaan Layla.Hampir semua barang yang ada di apartemen ini adalah hasil tabungan Layla. Jangan lupakan deretan kamera antik dan terbaru yang berjejer di lemari sana. Layla bahkan rela mendatangi rumah lelang untuk mendapatkan kamera keluaran tahun 1980-an sebagai hadiah ulang tahun Raikhal tahun lalu.Studio yang sedang dirintis Raikhal pun adalah campur tangan Layla juga. Kalau saja ia tidak bilang akan memberikannya modal untuk studio itu, Raikhal akan selamanya menjadi fotografer freelance saja.Pengkianatan ini akan menjadi tamparan untuk Raikhal. Layla harus menunjukkan pra itu bukan apa-apa tanpa dirinya.Layla menarik napas ketika setetes air mata hampir keluar. “Kalau gak, kamu akan berhadapan sama pengacara aku.”“Pengacara?” Raikhal mendengus kala Layla ingin berbalik badan. “Guru pre-schoo