Tidak ada yang berubah setelah acara karya wisata itu, malah Layla merasakan jaraknya dengan Aldimas menjauh. Pria itu kembali bersikap dingin, bahkan beberapa hari terlihat seperti sengaja melewatkan sarapan.Mereka memang sempat bertengkar di pulau waktu itu, tapi sepertinya tidak sebesar itu. Aldimas tidak perlu sampai menjauhinya gara-gara kesal dengan Mike, kan? Semuanya itu masih bisa dibicarakan.Masalahnya, jangankan bicara, Aldimas bahkan tidak mengiriminya pesan sekali pun.“Hape kamu rusak?”Suara Poppy yang tiba-tiba terdengar membuat Layla mengalihkan tatapannya dari ponsel. Layarnya sudah sepenuhnya mati. Layla baru sadar kalau ia menatap benda itu dengan pandangan kosong sedari tadi.“Bukan hape aku, tapi hape dia kayaknya!” sahut Layla kesal.“Hah?”“Pop, aku mau tanya,” bukannya menjawab, Layla malah beralih ke topik lain. “Emangnya aku nyebelin, ya?”Poppy mengerjap. Ini pertama kalinya Layla bertanya seperti itu. Layla bukan orang menyebalkan, tapi terkadang wanita
Ternyata, wanita itu masih bersikeras. Untungnya, dia tidak seperti wanita agresif beberapa bulan lalu, yang tetap memaksa masuk ke dalam sana. Layla cukup sopan untuk bertanya.“Maaf, Ibu. Sepertinya Pak Aldimas sedang ada rapat penting, jadi tidak bisa diganggu untuk sekarang.” Janet tidak perlu mencoba untuk menelepon ruangan Aldimas. Satu-satunya cara untuk mengusir wanita seperti ini adalah menolaknya langsung.“Begitu, ya?” Layla menghela napas dan memandangi ponselnya lagi.Resepsionis itu mungkin benar, Aldimas pasti sedang sibuk sekarang. Bahkan pesannya sama sekali tidak dibalas.Namun di satu sisi, Layla merasa kesal sendiri karena usahanya tidak membuahkan hasil. Ia sudah berusaha membuatkan bekal, datang ke kantor ini, tapi sama sekali tidak bisa menemui Aldimas. Pria tidak tahu terima kasih!Layla pun berbalik badan sambil masih memegangi ponselnya. Sepertinya ia tahu satu orang yang bisa dihubungi pada saat seperti ini. Ia pun segera menelepon orang itu.“Halo?” sapa se
Seperti sudah ditakdirkan semesta—atau mungkin tidak ada yang berani satu lift dengan Aldimas—lift yang dinaiki mereka menuju lantai 45 sangat kosong. Hanya ada mereka berdua di sana, padahal ini masih jam makan siang.Suasana canggung menyelimuti mereka, walaupun tangan mereka masih bertautan di bawah sana. Layla hanya terus memandangi angka pada lift yang terus berganti. Sepuluh... lima belas... dua puluh satu... tiga puluh delapan... dan berhenti di lantai empat puluh lima.Layla melirik tangannya yang masih digandeng Aldimas, lalu menatap pria itu sendiri. Tidak ada yang diucapkannya. Apa ini artinya Layla sendiri yang harus bertanya soal tangan mereka ini?“Anu....” Namun, sebelum Layla menyelesaikan ucapannya, Aldimas sudah berhenti di depan sebuah ruangan. Dalam satu gerakan, pria itu membuka pintu tersebut.Ini bukan kali pertama Layla masuk ke ruangan seorang pimpina
Sepertinya, wacana untuk merahasiakan pernikahan itu sampai batas waktunya sudah tidak berlaku lagi. Pasalnya, setelah selesai makan siang, Aldimas malah berinisiatif mengantar Layla sampai lobi. Padahal wanita itu sudah bersikeras ingin pulang sendiri.Pasti sekarang, mereka sudah tahu kalau Layla bukan sekadar tamu VVIP wakil direktur MD Group, tetapi wanita yang memang memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Layla tidak bisa mengangkat kepalanya dengan benar. Apa gunanya mendapat predikat itu kalau ia malah merasa malu setengah mati sekarang?Aduh, cari topik, cari topik! Kaki Layla bergerak gelisah di dalam lift. Ia kembali berduaan saja dengan Aldimas di dalam lift.Karena kantor Aldimas berada di lantai paling atas, lift yang dinaiki mereka untuk turun sangat kosong. Namun, bukan itu yang membuat Layla canggung. Pasalnya, setiap kali pintu lfit terbuka di lantai-lantai tertentu, para karyawan tidak ada yang mau masuk begitu meliha
Aldimas belum pernah merasakan ketegangan seperti ini sebelumnya. Terakhir kali ia ketakutan menghadapi sebuah pintu adalah ketika dipanggil ke ruang BK saat SMP. Saat itu, ia baru saja memukul hidung temannya sampai mimisan karena menghina ibunya. Aldimas sebenarnya tidak masalah mendapatkan hukuman atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Namun, ia tidak mau membuat ibunya berlutut lagi seperti waktu itu, jadi dia pun tumbuh dengan memendam semua emosinya.Sekarang, adernalin itu kembali muncul. Di depannya adalah pintu kamar Layla yang tertutup rapat. Melihat mobil wanita itu sudah terparkir di halaman rumah, Aldimas yakin ia ada di dalam sana.Aldimas mengetuk pintu itu perlahan, bertaruh pada keberuntungannya apakah Layla sudah tidur atau belum.“Layla,” panggil Aldimas.Tidak ada jawaban. Pria itu pun kembali mengetuk.“Kamu udah tidur? Kita harus bicara soal... yang tadi.”Ceklek!Tep
“Saya adalah anak di luar nikah.”Layla mengerjap, tidak bersuara meskipun seluruh tubuhnya sudah kaku. “...Apa?” tanyanya pelan.“Saya adalah anak selingkuhan papa saya,” lanjut Aldimas datar, tapi entah kenapa tersimpan begitu banyak emosi di dalamnya—antara amarah, kesepian, dan bersalah.Layla masih diam. Bola matanya bergetar, menatap lurus ke arah Aldimas.“Papa dan mama tiri saya menikah karena perjodohan, dan sebelum itu... dia sudah menghamili ibu saya.”Tenggorokan Layla terasa kering hanya untuk bertanya. “T-terus... i-ibu kamu....”“Sudah meninggal 24 tahun lalu,” jawab Aldimas, lalu mengeluarkan sebuah senyum pahit. “Kamu udah lihat fotonya, kan?”Ah, Layla jadi teringat soal foto seorang wanita yang ia temukan ketika awal-awal tinggal bersama Aldimas. Wanita yang b
Wanita itu memejamkan. Jantung Aldimas kembali terpacu melihat itu. Ia tidak akan menahannya....Grrrk~Baik Aldimas maupun Layla membuka matanya kembali. Aldimas mengerjap, bingung sendiri dengan suara apa yang baru terdengar begitu keras.Namun berbeda dengan Aldimas, Layla malah menundukkan kepala. Awalnya, Aldimas pikir kalau Layla marah kepadanya gara-gara tindakan barusan. Dia mulai dilanda kepanikan. Tangannya pun dijauhkan dari wajah Layla.“Maaf—“Grrrk~Bunyi itu kembali terdengar, bersamaan dengan kepala Layla yang menunduk semakin dalam. Tangan wanita itu pun memegani perutnya. Pada saat itulah, Aldimas menyadari dari mana suara itu berasal.Dia bohong bilang udah makan ternyata....Aldimas menundukkan kepalanya juga, berusaha melihat wajah Layla. “Kamu belum makan malam, kan?”Layla mengangguk pelan.Aldimas kembali mengusap pipi L
“Terima kasih sudah membuat perusahaan tetap berjalan stabil. Tanpa kamu, kami tidak akan pernah berdiri di sini,” lanjut sang opa.Layla bisa merasakan tangan Aldimas menggenggam tangannya semakin erat. Dari luar, orang-orang hanya bisa melihat wajahnya yang dingin di balik kacamata berbingkai hitam itu. Namun Layla yakin, ada banyak gejolak emosi yang dirasakan pria itu.Ibu jari Layla bergerak, mengusap lembut tangan Aldimas di bawah sana. Pada saat itulah tatapan pria itu mulai beralih padanya, menjadi lebih lembut. Ada satu helaan napas pelan ketika Layla mengangguk.Gak apa-apa, ada aku di sini, tatapan Layla berbicara.“Dan Layla,” tiba-tiba Opa memanggil namanya, membuat Layla terkesiap.“Y-ya?”“Terima kasih sudah menjaga Aldimas.”***“Nona Layla, Bapak Ketua panggil Nona ke ruanganny
Kaki Aldimas terus bergerak gelisah, sementara tangannya saling bertaut. Rumah keluarga Darmawan yang memang berada di luar kota, terasa lebih sejuk daripada rumah Aldimas. Namun tetap saja, itu tidak bisa menghentikan laju keringat dingin yang mulai membasahi punggungnya.Aldimas tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Ia gugup, tapi juga kesal. Bukan karena apa-apa, tapi karena pria yang duduk menyilangkan kaki di depannya, dan memandangnya dengan senyum menyebalkan.“Sayang,” Aldimas berbisik kepada Layla yang baru kembali setelah memanggil Nenek dari kamar. “Kok, Mike bisa ada di sini.”Layla meringis dengan wajah bersalah. “Mama yang nyuruh, kebetulan juga dia lagi balik ke Indo.”Aldimas pun hanya menghela napas. Awalnya, ia kira akan jauh lebih sulit menakhlukan sang nenek dibanding mamanya Layla. Namun, yang terjadi malah kebalikannya. Mama Layla jauh lebih protektif dan seolah tidak ingin Layla k
Layla awalnya cukup terkejut sampai tidak bisa berbuat apa pun ketika Aldimas mendorongnya masuk. Namun, bibir Aldimas terasa begitu nyata di atas bibirnya. Layla terbuai dan mulai memejamkan mata, beriringan dengan air mata yang meleleh di pipinya.Rindu yang mereka tahan berbulan-bulan akhirnya meluap tak terbendung. Mereka hanya takut saling dibenci, takut saling menyakiti, hingga saling menahan diri. Ketika salah satunya berani mendobrak, maka tidak ada lagi yang bisa melarang mereka.Aldimas melepaskan ciumannya, lalu menyatukan dahi mereka. Napas keduanya memburu, tapi dada mereka terasa penuh. Ibu jari Aldimas mengusap pipi Layla yang basah. Melihat bibir wanita itu bergetar, Aldimas merasa kembali sesak.“Maaf...,” bisik Aldimas.Layla menggeleng. Lalu, tanpa diduga Aldimas, wanita itu langsung memeluknya. Ia melingkarkan kedua lengannya di leher Aldimas, dan menenggelamkan isak tangisnya di dada
“Kamu bisa lepas sepatunya sekarang, udah gak ada orang.”Wanita itu menoleh setelah Aldimas mengucapkan itu, membuat dia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Namun sayangnya, lift hotel ini semua berupa kaca, membuat Aldimas tetap bisa melihat sosok itu walaupun sudah mengalihkan pandangan.Aldimas memang bukan pria yang baik. Ketika Layla meminta untuk diberikan waktu, ia tidak sesabar itu. Aldimas diam-diam selalu mengawasi wanitanya, menyewa beberapa orang, bahkan sampai membayar mahal Mike hanya untuk sebuah foto. Namun, Aldimas tetap tidak ingin mendekat sebelum Layla yang memutuskan. Ia hanya menunggu dengan cara pengecut seperti itu.Jadi, bukanlah kebetulan sepenuhnya. Aldimas sudah tahu kalau Layla akan kembali ke ibu kota untuk menghadiri pernikahan temannya. Aldimas sendiri juga tamu undangan dari pihak pria. Hanya saja, ucapan Layla tadi benar-benar di luar kendalinya.Anehnya lagi, Layla menjadi sangat penurut sekarang. Padahal Aldimas sudah membayangkan geru
Resepsi pernikahan Poppy diadakan di sebuah ballroom utama hotel mewah. Layla tidak sempat mengikuti upacara pemberkatannya, jadi sebisa mungkin menghadiri resepsi dari awal. Poppy tampak cantik dengan wedding dress berwarna biru langit, dengan efek bunga sakura tiga dimensi.Wanita itu melambai kepada Layla ketika melewati karpet merah yang disediakan. Ia tampak terharu karena Layla bisa datang ke acara pernikahannya. Jujur saja, sampai kemarin pun Layla masih ragu haruskah ia kembali ke kota ini atau tidak. Poppy pun sempat mewanti-wantinya, dan tidak memaksa jika Layla memang tidak bisa. Namun pada akhirnya, Layla bisa memantapkan hati.Ia tidak menyesal datang ke sini. Melihat Poppy tersenyum bahagia, dan digandeng oleh seorang pria gagah terasa sangat mengharukan. Layla memang pernah menikah, tapi pasti rasanya berbeda dengan Poppy. Saat itu, acara pernikahan mereka hanya sebatas formalitas, dan senyum yang Layla tunjukkan hanyalah topeng.Setelah menyapa Poppy, Layla bergabung d
Tujuh bulan kemudian.Breaking news! Farah Yulia ditetapkan sebagai tersangka!...setelah dua kali persidangan, Farah Yulia ditetapkan sebagai salah satu tersangka penggelapan dana MD Group dan penculikan cucu menantu Almarhum Hardian Mandrawoto. Dia ditetapkan bersama sekreatris Hardian Mandrawoto, Norman Gumelar....Layla menghela napas panjang begitu membaca sederet kalimat pada berita itu. Ia tidak menyangka kalau waktunya cukup singkat untuk bisa membongkar semuanya. Bagaimanapun, Layla tahu kalau Farah bukan orang sembarangan. Ia pasti akan melakukan apa saja agar lolos dari tuduhan itu.Namun ternyata, Aldimas sangat bekerja keras sampai bisa menyelesaikan semuanya kurang dari setahun. Kasus penggelapan dana di MD Group yang menjadi ‘kanker’ di perusahaan itu pun terselesaikan dengan baik. Baik
Pesan Layla tidak Aldimas balas sampai pagi hari, tapi pria itu tetap datang ke rumah sakit sambil membawa barang-barang Layla. Aldimas sadar, ia tidak bisa terus menghindari Layla. Terakhir kali ia terus menghindar, semua berakhir buruk. Makanya, Aldimas tidak mau mengulangnya.Satu tangan Aldimas membawa tas besar berisi baju dan beberapa hal yang mungkin dibutuhkan Layla, sedangkan satunya lagi membawa kantung berisi bubur ayam depan kompleks. Setidaknya ia ingin menunjukkan sedikit perhatiannya kepada Layla dan mertuanya.Dari luar kamar ini, terdengar suara orang mengobrol di dalam kamar Layla. Aldimas juga samar-samar mendengar suara pria—mungkin Mike. Ia pun menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu ruang rawat itu.“Masuk,” suara mama Layla terdengar dari dalam.Mereka sama-sama menoleh ke arah Aldimas yang baru masuk. Seperti dugaannya, ada Mike juga di sana. Hanya pria
Tidak!Bukan seperti itu!Aldimas sudah siap dengan segala makian, tapi tidak siap dengan kalimat dingin yang menyebut nama Layla seperti itu.Tidak ada yang boleh membawa Layla peri darinya.“Tapi, Nek—““Saya kecewa sama kamu, Aldimas,” potong nenek Layla sebelum Aldimas membuat pembelaan. “Saya percayakan cucu kesayangan saya sama kamu, tapi... kamu malah membuat dia dalam bahaya. Kurang ajar!”Aldimas terdiam. Neneknya benar, Aldimas yang menghancurkan Layla. Aldimas yang membawa Layla dalam kekacauan ini.“Mike, cepat bawa kami masuk.” Seolah tidak mau berbicara lebih panjang dengan Aldimas, nenek Layla segera menyuruh Mike mendorong kursi rodanya kembali.“Aldimas.”Kepala Aldimas pun beralih kepada mamanya Layla yang memanggil. Namun, begitu bersitatap dengan pandangannya y
Aldimas mencoba untuk tersenyum, tapi air matanya tidak bisa berbohong. Sentuhan Layla membuatnya semakin merasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena melukai wanita selembut ini.Tangan Aldimas menggenggam tangan Layla yang masih berada di pipinya. Kepalanya kembali tertunduk, tak berani menatap wanita itu. “Maaf... Maafkan Mas, Layla....”“Sst.. gak apa-apa, Mas. Aku udah gak apa-apa kok.” Ibu jari Layla mengusap pipi Aldimas dengan lembut.“Maaf Mas gak bisa jagain kalian....”“Mas.”“Maaf, gara-gara Mas, kita harus kehilangan dia.”Untuk kali ini, ucapan Aldimas berhasil membuat Layla terdiam. Alis wanita itu berkerut. Apa ada yang mati gara-gara penyelamatan itu? Apa yang Aldimas maksud adalah Norman? Namun... kenapa pria itu terlihat sangat terpuruk, bila yang mati benar musuhnya?“Dia?” Layla tidak tahan untuk bertanya.
Roda brankar rumah sakit yang berderak di lantai seperti mars kematian untuk Aldimas. Setelah melihat Layla ambruk tadi, ia buru-buru menghampirinya. Ia sudah tidak peduli apa yang terjadi dengan Norman di sana—mau dia mati, berguling di lantai, atau ditembak memababi buta sekalipun. Prioritasnya hanya Layla.Wanita itu terlihat sangat kepayahan. Seluruh tubuhnya gemetaran dan matanya terpejam. Sesaat, Aldimas menduga kalau dirinya terlambat. Sampai akhirnya Layla membuka mata dan menangis ke arahnya.Aldimas pun segera memeluk tubuh mungil wanita itu, menggumamkan beribu maaf kepadanya. Napas Layla yang lemah terdengar mulai tenang. Ya, Aldimas kira dirinya dan Layla akan segera pulang dengan selamat ke rumah dan berpelukan sampai esok hari di kasur yang empuk. Namun, rintihan Layla menghentikannya.“Sakit....”Pada saat itulah Aldimas menyadari ada yang salah. Bukan di k