Layla melirik ke arah Aldimas. Ia tahu, pria itu pasti sedang menahan tawanya. Aldimas berkali-kali berdeham sambil menghindari mata Layla. Begitu mereka saling bertatapan lagi, Layla bisa melihat sudut bibir pria itu berkedut.‘Menyebalkan!’“Saya pesan layanan kamar sebentar,” ucap Aldimas, dengan nada yang terdengar biasa—pura-pura.Sepertinya, Layla menyadari itu. Ia kembali berkata dengan ketus sambil menatap langit-langit kamar, “Gak perlu, aku gak laper banget.”“Saya sekalian mau turun.”Kali ini, ucapan Aldimas sukses membuatnya menoleh. Layla kira, ketika Aldimas bilang akan memesan layanan kamar, pria itu akan memanggilnya melalui telepon hotel.“Turun?” ulang Layla.Akhirnya, Layla paham kenapa Aldimas hanya berdiri di sana sedari tadi. Pria itu bahkan tidak melepaskan jam tangan mahalnya, atau paling tidak mengganti sepatu itu dengan sandal hotel.“Kamu bisa pakai kamar ini sendiri, biar saya cari kamar lain,” ucap Aldimas, sehingga membuat Layla duduk di tepi kasur.Untu
Begitu Layla terbangun, matahari sudah menyapa dari balik gorden.Wanita itu mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa lebih ringan—atau lebih tepatnya, kosong. Ia seperti melewatkan satu hal malam tadi, tapi tidak ingat apa itu.Kasur di sebelahnya kosong—tidak, bahkan kamar ini sangat sunyi. Ia sendirian di sini, tapi rasanya semalam tidak begitu. Layla merasa ada seseorang yang duduk di sebelahnya, di tepi kasur, duduk sambil membelai wajahnya beberapa kali. Lalu, orang itu mencium—“AHHH!!”Layla refleks duduk di kasur sambil memegangi bibirnya sendiri. Itu pasti hanya mimpi, kan?“Aldimas... gak datang malam tadi, kan?” Layla bergumam pelan sambil masih memegangi bibirnya.Matanya melirik sekeliling, telinganya pun ditajamkan. Kamar ini benar-benar sepi, tidak ada suara-suara kehidupan, selain suara napasnya sendiri. Perlahan, Layla menurunkan kakinya dan mencari sandal hotelnya. Ia terjinjit mengintip ke arah kamar mandi yang pintunya terbuka.Aman. Tidak ada seorang pun di sana
Tidak ada yang berubah setelah acara karya wisata itu, malah Layla merasakan jaraknya dengan Aldimas menjauh. Pria itu kembali bersikap dingin, bahkan beberapa hari terlihat seperti sengaja melewatkan sarapan.Mereka memang sempat bertengkar di pulau waktu itu, tapi sepertinya tidak sebesar itu. Aldimas tidak perlu sampai menjauhinya gara-gara kesal dengan Mike, kan? Semuanya itu masih bisa dibicarakan.Masalahnya, jangankan bicara, Aldimas bahkan tidak mengiriminya pesan sekali pun.“Hape kamu rusak?”Suara Poppy yang tiba-tiba terdengar membuat Layla mengalihkan tatapannya dari ponsel. Layarnya sudah sepenuhnya mati. Layla baru sadar kalau ia menatap benda itu dengan pandangan kosong sedari tadi.“Bukan hape aku, tapi hape dia kayaknya!” sahut Layla kesal.“Hah?”“Pop, aku mau tanya,” bukannya menjawab, Layla malah beralih ke topik lain. “Emangnya aku nyebelin, ya?”Poppy mengerjap. Ini pertama kalinya Layla bertanya seperti itu. Layla bukan orang menyebalkan, tapi terkadang wanita
Ternyata, wanita itu masih bersikeras. Untungnya, dia tidak seperti wanita agresif beberapa bulan lalu, yang tetap memaksa masuk ke dalam sana. Layla cukup sopan untuk bertanya.“Maaf, Ibu. Sepertinya Pak Aldimas sedang ada rapat penting, jadi tidak bisa diganggu untuk sekarang.” Janet tidak perlu mencoba untuk menelepon ruangan Aldimas. Satu-satunya cara untuk mengusir wanita seperti ini adalah menolaknya langsung.“Begitu, ya?” Layla menghela napas dan memandangi ponselnya lagi.Resepsionis itu mungkin benar, Aldimas pasti sedang sibuk sekarang. Bahkan pesannya sama sekali tidak dibalas.Namun di satu sisi, Layla merasa kesal sendiri karena usahanya tidak membuahkan hasil. Ia sudah berusaha membuatkan bekal, datang ke kantor ini, tapi sama sekali tidak bisa menemui Aldimas. Pria tidak tahu terima kasih!Layla pun berbalik badan sambil masih memegangi ponselnya. Sepertinya ia tahu satu orang yang bisa dihubungi pada saat seperti ini. Ia pun segera menelepon orang itu.“Halo?” sapa se
Seperti sudah ditakdirkan semesta—atau mungkin tidak ada yang berani satu lift dengan Aldimas—lift yang dinaiki mereka menuju lantai 45 sangat kosong. Hanya ada mereka berdua di sana, padahal ini masih jam makan siang.Suasana canggung menyelimuti mereka, walaupun tangan mereka masih bertautan di bawah sana. Layla hanya terus memandangi angka pada lift yang terus berganti. Sepuluh... lima belas... dua puluh satu... tiga puluh delapan... dan berhenti di lantai empat puluh lima.Layla melirik tangannya yang masih digandeng Aldimas, lalu menatap pria itu sendiri. Tidak ada yang diucapkannya. Apa ini artinya Layla sendiri yang harus bertanya soal tangan mereka ini?“Anu....” Namun, sebelum Layla menyelesaikan ucapannya, Aldimas sudah berhenti di depan sebuah ruangan. Dalam satu gerakan, pria itu membuka pintu tersebut.Ini bukan kali pertama Layla masuk ke ruangan seorang pimpina
Sepertinya, wacana untuk merahasiakan pernikahan itu sampai batas waktunya sudah tidak berlaku lagi. Pasalnya, setelah selesai makan siang, Aldimas malah berinisiatif mengantar Layla sampai lobi. Padahal wanita itu sudah bersikeras ingin pulang sendiri.Pasti sekarang, mereka sudah tahu kalau Layla bukan sekadar tamu VVIP wakil direktur MD Group, tetapi wanita yang memang memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Layla tidak bisa mengangkat kepalanya dengan benar. Apa gunanya mendapat predikat itu kalau ia malah merasa malu setengah mati sekarang?Aduh, cari topik, cari topik! Kaki Layla bergerak gelisah di dalam lift. Ia kembali berduaan saja dengan Aldimas di dalam lift.Karena kantor Aldimas berada di lantai paling atas, lift yang dinaiki mereka untuk turun sangat kosong. Namun, bukan itu yang membuat Layla canggung. Pasalnya, setiap kali pintu lfit terbuka di lantai-lantai tertentu, para karyawan tidak ada yang mau masuk begitu meliha
Aldimas belum pernah merasakan ketegangan seperti ini sebelumnya. Terakhir kali ia ketakutan menghadapi sebuah pintu adalah ketika dipanggil ke ruang BK saat SMP. Saat itu, ia baru saja memukul hidung temannya sampai mimisan karena menghina ibunya. Aldimas sebenarnya tidak masalah mendapatkan hukuman atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Namun, ia tidak mau membuat ibunya berlutut lagi seperti waktu itu, jadi dia pun tumbuh dengan memendam semua emosinya.Sekarang, adernalin itu kembali muncul. Di depannya adalah pintu kamar Layla yang tertutup rapat. Melihat mobil wanita itu sudah terparkir di halaman rumah, Aldimas yakin ia ada di dalam sana.Aldimas mengetuk pintu itu perlahan, bertaruh pada keberuntungannya apakah Layla sudah tidur atau belum.“Layla,” panggil Aldimas.Tidak ada jawaban. Pria itu pun kembali mengetuk.“Kamu udah tidur? Kita harus bicara soal... yang tadi.”Ceklek!Tep
“Saya adalah anak di luar nikah.”Layla mengerjap, tidak bersuara meskipun seluruh tubuhnya sudah kaku. “...Apa?” tanyanya pelan.“Saya adalah anak selingkuhan papa saya,” lanjut Aldimas datar, tapi entah kenapa tersimpan begitu banyak emosi di dalamnya—antara amarah, kesepian, dan bersalah.Layla masih diam. Bola matanya bergetar, menatap lurus ke arah Aldimas.“Papa dan mama tiri saya menikah karena perjodohan, dan sebelum itu... dia sudah menghamili ibu saya.”Tenggorokan Layla terasa kering hanya untuk bertanya. “T-terus... i-ibu kamu....”“Sudah meninggal 24 tahun lalu,” jawab Aldimas, lalu mengeluarkan sebuah senyum pahit. “Kamu udah lihat fotonya, kan?”Ah, Layla jadi teringat soal foto seorang wanita yang ia temukan ketika awal-awal tinggal bersama Aldimas. Wanita yang b