Aldimas belum pernah merasakan ketegangan seperti ini sebelumnya. Terakhir kali ia ketakutan menghadapi sebuah pintu adalah ketika dipanggil ke ruang BK saat SMP. Saat itu, ia baru saja memukul hidung temannya sampai mimisan karena menghina ibunya. Aldimas sebenarnya tidak masalah mendapatkan hukuman atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Namun, ia tidak mau membuat ibunya berlutut lagi seperti waktu itu, jadi dia pun tumbuh dengan memendam semua emosinya.
Sekarang, adernalin itu kembali muncul. Di depannya adalah pintu kamar Layla yang tertutup rapat. Melihat mobil wanita itu sudah terparkir di halaman rumah, Aldimas yakin ia ada di dalam sana.
Aldimas mengetuk pintu itu perlahan, bertaruh pada keberuntungannya apakah Layla sudah tidur atau belum.
“Layla,” panggil Aldimas.
Tidak ada jawaban. Pria itu pun kembali mengetuk.
“Kamu udah tidur? Kita harus bicara soal... yang tadi.”
Ceklek!
Tep
“Saya adalah anak di luar nikah.”Layla mengerjap, tidak bersuara meskipun seluruh tubuhnya sudah kaku. “...Apa?” tanyanya pelan.“Saya adalah anak selingkuhan papa saya,” lanjut Aldimas datar, tapi entah kenapa tersimpan begitu banyak emosi di dalamnya—antara amarah, kesepian, dan bersalah.Layla masih diam. Bola matanya bergetar, menatap lurus ke arah Aldimas.“Papa dan mama tiri saya menikah karena perjodohan, dan sebelum itu... dia sudah menghamili ibu saya.”Tenggorokan Layla terasa kering hanya untuk bertanya. “T-terus... i-ibu kamu....”“Sudah meninggal 24 tahun lalu,” jawab Aldimas, lalu mengeluarkan sebuah senyum pahit. “Kamu udah lihat fotonya, kan?”Ah, Layla jadi teringat soal foto seorang wanita yang ia temukan ketika awal-awal tinggal bersama Aldimas. Wanita yang b
Wanita itu memejamkan. Jantung Aldimas kembali terpacu melihat itu. Ia tidak akan menahannya....Grrrk~Baik Aldimas maupun Layla membuka matanya kembali. Aldimas mengerjap, bingung sendiri dengan suara apa yang baru terdengar begitu keras.Namun berbeda dengan Aldimas, Layla malah menundukkan kepala. Awalnya, Aldimas pikir kalau Layla marah kepadanya gara-gara tindakan barusan. Dia mulai dilanda kepanikan. Tangannya pun dijauhkan dari wajah Layla.“Maaf—“Grrrk~Bunyi itu kembali terdengar, bersamaan dengan kepala Layla yang menunduk semakin dalam. Tangan wanita itu pun memegani perutnya. Pada saat itulah, Aldimas menyadari dari mana suara itu berasal.Dia bohong bilang udah makan ternyata....Aldimas menundukkan kepalanya juga, berusaha melihat wajah Layla. “Kamu belum makan malam, kan?”Layla mengangguk pelan.Aldimas kembali mengusap pipi L
“Terima kasih sudah membuat perusahaan tetap berjalan stabil. Tanpa kamu, kami tidak akan pernah berdiri di sini,” lanjut sang opa.Layla bisa merasakan tangan Aldimas menggenggam tangannya semakin erat. Dari luar, orang-orang hanya bisa melihat wajahnya yang dingin di balik kacamata berbingkai hitam itu. Namun Layla yakin, ada banyak gejolak emosi yang dirasakan pria itu.Ibu jari Layla bergerak, mengusap lembut tangan Aldimas di bawah sana. Pada saat itulah tatapan pria itu mulai beralih padanya, menjadi lebih lembut. Ada satu helaan napas pelan ketika Layla mengangguk.Gak apa-apa, ada aku di sini, tatapan Layla berbicara.“Dan Layla,” tiba-tiba Opa memanggil namanya, membuat Layla terkesiap.“Y-ya?”“Terima kasih sudah menjaga Aldimas.”***“Nona Layla, Bapak Ketua panggil Nona ke ruanganny
“Mas.”Aldimas berbalik badan lagi dan menemukan Layla sudah berdiri di belakangnya. Wanita itu menarik sedikit kemeja Aldimas dengan kepala tertunduk. Wajahnya tampak lebih pucat dari yang terakhir Aldimas lihat.Aldimas menangkup kedua pipi Layla, membuat wanita itu menatapnya. “Kamu gak apa-apa?”Layla hanya menggeleng.“Mau pulang?”Kali ini, pertanyaan Aldimas berhasil membuat Layla mengangkat kepalanya. Bisa Aldimas lihat mata wanita itu agak sembab dan memerah. Ada sebuah remasan tak kasat mata di hati Aldimas. Kepalanya muncul berbagai pertanyaan, tapi mulutnya terlalu berat untuk berucap.Apa yang Opa katakan pada Layla? Apa dia menyakitinya juga? Kenapa Layla tampak habis menangis? “Apa boleh?” tanya Layla dengan suara lemah.Aldimas mengangguk tanpa berpikir panjang. Ia pun membawa tangan Layla dalam genggamannya, sebelum membawanya ke arah Opa yang baru saja kembali ke pesta.“Kami akan pulang duluan,” ucap Aldimas tanpa basa-basi begitu berdiri di samping Opa.Tidak hany
Layla mengalah, ucapan Aldimas itu sukses mempengaruhinya. Perlahan, ia menyibak selimut di sisi kasur yang lain dan merebahkan diri. Sebisa mungkin ia mengambil jarak terjauh dari Aldimas, Layla juga sengaja memunggungi pria itu.Terdengar suara helaan napas dari balik punggung Layla, sebelum lampu kamar menjadi temaram. Bunyi sayup-sayup pesta di bawah masih terdengar. Rupanya pesta masih berlangsung. Layla terlalu sibuk dengan detak jantungnya sedari tadi sampai lupa kalau di bawah sana masih diselenggarakan pesta.Sangat kontras suasananya dengan kamar ini. Kamar yang gelap dan terasa dingin. Interiornya tidak macam-macam, tergolong kaku dan polos. Hanya ada rak buku, lemari pakaian, dan lukisan abstrak—tanpa ada foto keluarga satu pun.Layla jadi teringat bagaimana suasana pesta tadi ketika dirinya dan Aldimas datang. Apakah pria itu selalu diperlakukan seperti itu? Apa itu yang membuatnya juga memilih tinggal di kamar sunyi ini daripada bergabung dengan keluarganya?“Kamu gak ap
Aldimas pun menghela napas. Pria itu memang besar mulut. “Kita pernah satu organisasi waktu kuliah. Dulunya kita sering adu argumen, gak tau kenapa malah jadi gini.”Bisa dibilang Deigo adalah satu-satunya orang yang bisa menangani si dingin Aldimas. Bukan karena mereka sama-sama orang Indonesia, tapi pria itu pandai membalikkan kata-kata ketus Aldimas.Walaupun keduanya berbeda fakultas, akhirnya adu mulut itu malah membuat keduanya semakin dekat. Aldimas masih dingin dan ketus, Diego masih sarkas dan tegas. Begitu mereka kembali ke Indonesia, Aldimas langsung saja mengajak Diego untuk menjadi konsultan hukum selama dirinya menggantikan Opa.Aldimas mengeluarkan sebuah senyum pahit. “Yah... mungkin cuma dia yang bisa disebut teman.”Jawaban Aldimas masih tidak begitu yakin, tapi dia berharap itu bisa sedikit menjawab rasa penasaran Layla. Aldimas tidak mau terlihat begitu menyedihkan di mata wanita itu.&ldquo
Kali ini, lidah Aldimas sudah menyusup di celah bibir Layla yang terbuka. Tangan Aldimas turun menyusuri garis leher Layla, seraya dengan bibirnya yang sekarang mengecupi rahang wanita itu. Layla menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan hasrat yang besar itu.Embusan napas Aldimas sangat panas di leher Layla. Ketika bibir basah itu mengecup salah satu titik sensitifnya di sana, Layla menegang. Satu lenguhan itu terbebas begitu saja, tapi dengan cepat-cepat Layla menutup mulutnya dengan punggung tangan.“Jangan ditahan....”Layla bisa merakan Aldimas tersenyum sambil terus menciumi lehernya. Wanita itu merasa jengkel, tapi tidak bisa protes. Sentuhan tangan dan bibir Aldimas membuatnya bertekuk lutut. Seluruh tubuh Layla sudah meleleh di atas kasur itu.Ciuman Aldimas merambat naik lagi, dan kembali menemukan bibir Aldimas. Lebih dalam, lebih intens, lebih
Hal pertama yang Layla rasakan begitu membuka mata adalah... tidak ada.Ia tidak bisa merasakan apa pun.Seluruh tulangnya seakan sudah meleleh, bahkan untuk mengangkat kepala saja tidak ada tenaga. Nyatanya, walaupun ini pertama kalinya untuk mereka, tapi Aldimas tidak menahan diri sedikit pun.“Sekali lagi, ya... Mas janji.”T*i kucing! Bilangnya sekali lagi, sekali lagi, tapi sampai buat aku gak bisa bangun gini! Layla menggerutu dalam hati sambil memutar kepalanya ke sisi kasur lainnya. Saking remuk seluruh tubuhnya, Layla sampai tidur sambil terkelungkup. Ia sudah memakai kembali kausnya dan celana dalamnya—sepertinya Aldimas yang memakainkannya, dan setengah badannya tertutup selimut tebal.Terdengar suara percikan air dari kamar mandi. Aldimas bangun lebih dulu dan sepertinya sedang mandi sekarang. Keadaan di luar sudah lebih sunyi dari yang terakhir L