Layla mengalah, ucapan Aldimas itu sukses mempengaruhinya. Perlahan, ia menyibak selimut di sisi kasur yang lain dan merebahkan diri. Sebisa mungkin ia mengambil jarak terjauh dari Aldimas, Layla juga sengaja memunggungi pria itu.Terdengar suara helaan napas dari balik punggung Layla, sebelum lampu kamar menjadi temaram. Bunyi sayup-sayup pesta di bawah masih terdengar. Rupanya pesta masih berlangsung. Layla terlalu sibuk dengan detak jantungnya sedari tadi sampai lupa kalau di bawah sana masih diselenggarakan pesta.Sangat kontras suasananya dengan kamar ini. Kamar yang gelap dan terasa dingin. Interiornya tidak macam-macam, tergolong kaku dan polos. Hanya ada rak buku, lemari pakaian, dan lukisan abstrak—tanpa ada foto keluarga satu pun.Layla jadi teringat bagaimana suasana pesta tadi ketika dirinya dan Aldimas datang. Apakah pria itu selalu diperlakukan seperti itu? Apa itu yang membuatnya juga memilih tinggal di kamar sunyi ini daripada bergabung dengan keluarganya?“Kamu gak ap
Aldimas pun menghela napas. Pria itu memang besar mulut. “Kita pernah satu organisasi waktu kuliah. Dulunya kita sering adu argumen, gak tau kenapa malah jadi gini.”Bisa dibilang Deigo adalah satu-satunya orang yang bisa menangani si dingin Aldimas. Bukan karena mereka sama-sama orang Indonesia, tapi pria itu pandai membalikkan kata-kata ketus Aldimas.Walaupun keduanya berbeda fakultas, akhirnya adu mulut itu malah membuat keduanya semakin dekat. Aldimas masih dingin dan ketus, Diego masih sarkas dan tegas. Begitu mereka kembali ke Indonesia, Aldimas langsung saja mengajak Diego untuk menjadi konsultan hukum selama dirinya menggantikan Opa.Aldimas mengeluarkan sebuah senyum pahit. “Yah... mungkin cuma dia yang bisa disebut teman.”Jawaban Aldimas masih tidak begitu yakin, tapi dia berharap itu bisa sedikit menjawab rasa penasaran Layla. Aldimas tidak mau terlihat begitu menyedihkan di mata wanita itu.&ldquo
Kali ini, lidah Aldimas sudah menyusup di celah bibir Layla yang terbuka. Tangan Aldimas turun menyusuri garis leher Layla, seraya dengan bibirnya yang sekarang mengecupi rahang wanita itu. Layla menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan hasrat yang besar itu.Embusan napas Aldimas sangat panas di leher Layla. Ketika bibir basah itu mengecup salah satu titik sensitifnya di sana, Layla menegang. Satu lenguhan itu terbebas begitu saja, tapi dengan cepat-cepat Layla menutup mulutnya dengan punggung tangan.“Jangan ditahan....”Layla bisa merakan Aldimas tersenyum sambil terus menciumi lehernya. Wanita itu merasa jengkel, tapi tidak bisa protes. Sentuhan tangan dan bibir Aldimas membuatnya bertekuk lutut. Seluruh tubuh Layla sudah meleleh di atas kasur itu.Ciuman Aldimas merambat naik lagi, dan kembali menemukan bibir Aldimas. Lebih dalam, lebih intens, lebih
Hal pertama yang Layla rasakan begitu membuka mata adalah... tidak ada.Ia tidak bisa merasakan apa pun.Seluruh tulangnya seakan sudah meleleh, bahkan untuk mengangkat kepala saja tidak ada tenaga. Nyatanya, walaupun ini pertama kalinya untuk mereka, tapi Aldimas tidak menahan diri sedikit pun.“Sekali lagi, ya... Mas janji.”T*i kucing! Bilangnya sekali lagi, sekali lagi, tapi sampai buat aku gak bisa bangun gini! Layla menggerutu dalam hati sambil memutar kepalanya ke sisi kasur lainnya. Saking remuk seluruh tubuhnya, Layla sampai tidur sambil terkelungkup. Ia sudah memakai kembali kausnya dan celana dalamnya—sepertinya Aldimas yang memakainkannya, dan setengah badannya tertutup selimut tebal.Terdengar suara percikan air dari kamar mandi. Aldimas bangun lebih dulu dan sepertinya sedang mandi sekarang. Keadaan di luar sudah lebih sunyi dari yang terakhir L
“Haah....”Layla menghela napas panjang sambil menjelajahi e-commerce dari ponselnya. Ulang tahun Aldimas tinggal besok, tapi ia sama sekali belum menyediakan kado atau apa pun. Ternyata, wacananya untuk menangani itu sendiri tidak berjalan bagus.Pekerjaan Layla menumpuk akhir-akhir ini. Mungkin karena sudah mau memasuki tahun ajaran baru, jadi banyak laporan dan penilaian yang harus Layla lakukan. Begitu pulang dari sekolah, Layla pasti akan langsung masuk kamar dan tidur. Ia baru mandi dan berganti pakaian hampir menjelang tengah malam, ketika Aldimas sudah tertidur di sebelahnya.Sebagai tambahan, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk menggunakan kamar yang sama sekarang.“Pop,” Layla memanggil Poppy yang duduk di sebelahnya.Wanita itu terlihat fokus pada laptopnya. Kacamata yang bertengger di hidungnya itu menandakan kalau Poppy sedang berada di da
“Layla?” Aldimas juga tampak sama bingungnya. “Kenapa di si... ni?” suaranya melemah ketika melihat sosok Mike yang berdiri di belakang Layla.Layla menyadari itu, tapi fokusnya masih terpecah kepada wanita yang berdiri di samping Aldimas. Dia bukanlah sekretaris Aldimas yang kelewat polos itu, bukan juga salah satu anggota keluarga Mandrawoto. Tubuhnya tinggi langsing, rok span selutut dan kemeja biru laut itu membentuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang ikal kecokelatan tampak seperti dirawat salon jutaan rupiah. Mungkin kalau dia memperkenalkan diri sebagai model Victoria Secret, Layla tidak akan kaget.“Mas juga.” Layla melirik ke arah wanita itu.Seolah paham arti lirikan Layla, Aldimas langsung memperkenalkan wanita itu, “Layla, kenalkan ini Yunita, kami sedang ada proyek bareng. Dan Yunita, ini Layla, istriku.”“Ah, jadi ini istri kamu?” sahut wanita bernama Yunita itu.
Layla kembali mendengus. Apa hebatnya cuma bayar makan malam ini? Apa itu artinya dia bebas pamer kedekatan dengan wanita lain, sementara dirinya tidak boleh memberikan makanannya kepada Mike? Layla akhirnya hanya bersedekap dada dan mengalihkan pandangan. Menengok ke arah kiri, di mana Aldimas dan Yunita duduk berseberangan, membuat kepalanya berdenyut panas.“So, Layla, right?” Pada saat Layla ingin menghindar, Yunita malah mengajaknya bicara lagi. “Gimana Aldimas?”“Hah?” Pertanyaan itu sukses membuat Layla memutar kepalanya dengan cepat.Yunita terkekeh, menyibakkan rambutnya ke belakang punggung, lalu bertopang dagu di meja. “Dia dingin banget, kan? Aku ingat dulu, pas acara prom kampus dia itu cukup populer, tapi malah nempelnya cuma sama aku dan Diego. Semua cewek ditolak sama dia.“Oh, iya, kamu juga inget gak, Al, waktu Diego
“Apa gak ada yang kamu mau jelasin sama aku?”“Gak ada.”“Kenapa bisa sama Michael Hartono?”“Dia teman aku, suka-suka aku, dong.”“Layla, kamu itu udah menikah.”“Siapa bilang aku janda?”Aldimas mendesah panjang dan berusaha tidak membanting setirnya ke tepi jalan. Dia kira, setelah berhasil memisahkan Layla dengan Mike, wanita itu akan memberikan perhatian penuh kepadanya. Nyatanya, begitu masuk ke mobil, Layla terus mengabaikannya. Wanita itu hanya melempar pandangan ke luar jendela dan menjawab semua pertanyaannya dengan ketus.Setelah kejadian di pulau itu, sebenarnya Aldimas sudah berjanji untuk tidak cemburu dengan hubungan Layla dan Mike. Toh, mereka juga sudah tidur bersama. Namun nyatanya, melihat keduanya masih sangat akrab, tangan Aldimas sudah gatal ingin mencengkeram kerah baju Mike.“Kalau kamu mau belanja, kenapa gak tel
Kaki Aldimas terus bergerak gelisah, sementara tangannya saling bertaut. Rumah keluarga Darmawan yang memang berada di luar kota, terasa lebih sejuk daripada rumah Aldimas. Namun tetap saja, itu tidak bisa menghentikan laju keringat dingin yang mulai membasahi punggungnya.Aldimas tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Ia gugup, tapi juga kesal. Bukan karena apa-apa, tapi karena pria yang duduk menyilangkan kaki di depannya, dan memandangnya dengan senyum menyebalkan.“Sayang,” Aldimas berbisik kepada Layla yang baru kembali setelah memanggil Nenek dari kamar. “Kok, Mike bisa ada di sini.”Layla meringis dengan wajah bersalah. “Mama yang nyuruh, kebetulan juga dia lagi balik ke Indo.”Aldimas pun hanya menghela napas. Awalnya, ia kira akan jauh lebih sulit menakhlukan sang nenek dibanding mamanya Layla. Namun, yang terjadi malah kebalikannya. Mama Layla jauh lebih protektif dan seolah tidak ingin Layla k
Layla awalnya cukup terkejut sampai tidak bisa berbuat apa pun ketika Aldimas mendorongnya masuk. Namun, bibir Aldimas terasa begitu nyata di atas bibirnya. Layla terbuai dan mulai memejamkan mata, beriringan dengan air mata yang meleleh di pipinya.Rindu yang mereka tahan berbulan-bulan akhirnya meluap tak terbendung. Mereka hanya takut saling dibenci, takut saling menyakiti, hingga saling menahan diri. Ketika salah satunya berani mendobrak, maka tidak ada lagi yang bisa melarang mereka.Aldimas melepaskan ciumannya, lalu menyatukan dahi mereka. Napas keduanya memburu, tapi dada mereka terasa penuh. Ibu jari Aldimas mengusap pipi Layla yang basah. Melihat bibir wanita itu bergetar, Aldimas merasa kembali sesak.“Maaf...,” bisik Aldimas.Layla menggeleng. Lalu, tanpa diduga Aldimas, wanita itu langsung memeluknya. Ia melingkarkan kedua lengannya di leher Aldimas, dan menenggelamkan isak tangisnya di dada
“Kamu bisa lepas sepatunya sekarang, udah gak ada orang.”Wanita itu menoleh setelah Aldimas mengucapkan itu, membuat dia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Namun sayangnya, lift hotel ini semua berupa kaca, membuat Aldimas tetap bisa melihat sosok itu walaupun sudah mengalihkan pandangan.Aldimas memang bukan pria yang baik. Ketika Layla meminta untuk diberikan waktu, ia tidak sesabar itu. Aldimas diam-diam selalu mengawasi wanitanya, menyewa beberapa orang, bahkan sampai membayar mahal Mike hanya untuk sebuah foto. Namun, Aldimas tetap tidak ingin mendekat sebelum Layla yang memutuskan. Ia hanya menunggu dengan cara pengecut seperti itu.Jadi, bukanlah kebetulan sepenuhnya. Aldimas sudah tahu kalau Layla akan kembali ke ibu kota untuk menghadiri pernikahan temannya. Aldimas sendiri juga tamu undangan dari pihak pria. Hanya saja, ucapan Layla tadi benar-benar di luar kendalinya.Anehnya lagi, Layla menjadi sangat penurut sekarang. Padahal Aldimas sudah membayangkan geru
Resepsi pernikahan Poppy diadakan di sebuah ballroom utama hotel mewah. Layla tidak sempat mengikuti upacara pemberkatannya, jadi sebisa mungkin menghadiri resepsi dari awal. Poppy tampak cantik dengan wedding dress berwarna biru langit, dengan efek bunga sakura tiga dimensi.Wanita itu melambai kepada Layla ketika melewati karpet merah yang disediakan. Ia tampak terharu karena Layla bisa datang ke acara pernikahannya. Jujur saja, sampai kemarin pun Layla masih ragu haruskah ia kembali ke kota ini atau tidak. Poppy pun sempat mewanti-wantinya, dan tidak memaksa jika Layla memang tidak bisa. Namun pada akhirnya, Layla bisa memantapkan hati.Ia tidak menyesal datang ke sini. Melihat Poppy tersenyum bahagia, dan digandeng oleh seorang pria gagah terasa sangat mengharukan. Layla memang pernah menikah, tapi pasti rasanya berbeda dengan Poppy. Saat itu, acara pernikahan mereka hanya sebatas formalitas, dan senyum yang Layla tunjukkan hanyalah topeng.Setelah menyapa Poppy, Layla bergabung d
Tujuh bulan kemudian.Breaking news! Farah Yulia ditetapkan sebagai tersangka!...setelah dua kali persidangan, Farah Yulia ditetapkan sebagai salah satu tersangka penggelapan dana MD Group dan penculikan cucu menantu Almarhum Hardian Mandrawoto. Dia ditetapkan bersama sekreatris Hardian Mandrawoto, Norman Gumelar....Layla menghela napas panjang begitu membaca sederet kalimat pada berita itu. Ia tidak menyangka kalau waktunya cukup singkat untuk bisa membongkar semuanya. Bagaimanapun, Layla tahu kalau Farah bukan orang sembarangan. Ia pasti akan melakukan apa saja agar lolos dari tuduhan itu.Namun ternyata, Aldimas sangat bekerja keras sampai bisa menyelesaikan semuanya kurang dari setahun. Kasus penggelapan dana di MD Group yang menjadi ‘kanker’ di perusahaan itu pun terselesaikan dengan baik. Baik
Pesan Layla tidak Aldimas balas sampai pagi hari, tapi pria itu tetap datang ke rumah sakit sambil membawa barang-barang Layla. Aldimas sadar, ia tidak bisa terus menghindari Layla. Terakhir kali ia terus menghindar, semua berakhir buruk. Makanya, Aldimas tidak mau mengulangnya.Satu tangan Aldimas membawa tas besar berisi baju dan beberapa hal yang mungkin dibutuhkan Layla, sedangkan satunya lagi membawa kantung berisi bubur ayam depan kompleks. Setidaknya ia ingin menunjukkan sedikit perhatiannya kepada Layla dan mertuanya.Dari luar kamar ini, terdengar suara orang mengobrol di dalam kamar Layla. Aldimas juga samar-samar mendengar suara pria—mungkin Mike. Ia pun menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu ruang rawat itu.“Masuk,” suara mama Layla terdengar dari dalam.Mereka sama-sama menoleh ke arah Aldimas yang baru masuk. Seperti dugaannya, ada Mike juga di sana. Hanya pria
Tidak!Bukan seperti itu!Aldimas sudah siap dengan segala makian, tapi tidak siap dengan kalimat dingin yang menyebut nama Layla seperti itu.Tidak ada yang boleh membawa Layla peri darinya.“Tapi, Nek—““Saya kecewa sama kamu, Aldimas,” potong nenek Layla sebelum Aldimas membuat pembelaan. “Saya percayakan cucu kesayangan saya sama kamu, tapi... kamu malah membuat dia dalam bahaya. Kurang ajar!”Aldimas terdiam. Neneknya benar, Aldimas yang menghancurkan Layla. Aldimas yang membawa Layla dalam kekacauan ini.“Mike, cepat bawa kami masuk.” Seolah tidak mau berbicara lebih panjang dengan Aldimas, nenek Layla segera menyuruh Mike mendorong kursi rodanya kembali.“Aldimas.”Kepala Aldimas pun beralih kepada mamanya Layla yang memanggil. Namun, begitu bersitatap dengan pandangannya y
Aldimas mencoba untuk tersenyum, tapi air matanya tidak bisa berbohong. Sentuhan Layla membuatnya semakin merasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena melukai wanita selembut ini.Tangan Aldimas menggenggam tangan Layla yang masih berada di pipinya. Kepalanya kembali tertunduk, tak berani menatap wanita itu. “Maaf... Maafkan Mas, Layla....”“Sst.. gak apa-apa, Mas. Aku udah gak apa-apa kok.” Ibu jari Layla mengusap pipi Aldimas dengan lembut.“Maaf Mas gak bisa jagain kalian....”“Mas.”“Maaf, gara-gara Mas, kita harus kehilangan dia.”Untuk kali ini, ucapan Aldimas berhasil membuat Layla terdiam. Alis wanita itu berkerut. Apa ada yang mati gara-gara penyelamatan itu? Apa yang Aldimas maksud adalah Norman? Namun... kenapa pria itu terlihat sangat terpuruk, bila yang mati benar musuhnya?“Dia?” Layla tidak tahan untuk bertanya.
Roda brankar rumah sakit yang berderak di lantai seperti mars kematian untuk Aldimas. Setelah melihat Layla ambruk tadi, ia buru-buru menghampirinya. Ia sudah tidak peduli apa yang terjadi dengan Norman di sana—mau dia mati, berguling di lantai, atau ditembak memababi buta sekalipun. Prioritasnya hanya Layla.Wanita itu terlihat sangat kepayahan. Seluruh tubuhnya gemetaran dan matanya terpejam. Sesaat, Aldimas menduga kalau dirinya terlambat. Sampai akhirnya Layla membuka mata dan menangis ke arahnya.Aldimas pun segera memeluk tubuh mungil wanita itu, menggumamkan beribu maaf kepadanya. Napas Layla yang lemah terdengar mulai tenang. Ya, Aldimas kira dirinya dan Layla akan segera pulang dengan selamat ke rumah dan berpelukan sampai esok hari di kasur yang empuk. Namun, rintihan Layla menghentikannya.“Sakit....”Pada saat itulah Aldimas menyadari ada yang salah. Bukan di k