“Empat kali.”“Dua kali.”“Di bar, di sekolah, soal nenekmu, dan pria tadi.”Layla menghela napas. “Yang Nenek tidak dihitung. Jadi, tiga kali.”“Baiklah, tiga kali,” ucap Aldimas, terdengar mengalah.Setelah kejadian di restoran itu, Aldimas menawarkan Layla untuk mengantarkannya pulang. Tentunya bukan karena khawatir, tapi justru ingin membahas hal yang belum selesai kemarin. Dimulai dari perdebatan tentang berapa banyak pria itu sudah menolong Layla. Wanita itu kagum sendiri dengan kemampuan mengingat Aldimas.Aldimas begitu perhitungan. Layla bahkan sempat curiga kalau Aldimas ternyata mengikutinya ke restoran tersebut. Sayangnya, pria itu menjelaskan dengan logis kenapa dia ada di sana—yaitu makan siang bersama klien.“Dan bayaranmu?” tanya Aldimas kemudian, seperti dugaan Layla—pria yang perhitungan.“Perhitungan sekali,” komentar Layla.“Saya ini bussines man.”Layla berdecak. Daripada bussines man, Aldimas mungkin lebih pas disebut sebagai debt-collector. Padahal pada pertemua
Pada saat itulah Layla sadar. Ia langsung berdiri lagi dan mengulurkan tangannya kepada wanita itu sambil sedikit membungkuk. “O-oh. Halo, Nyonya. Nama saya Layla.”Farah, ibu tiri Aldimas, hanya menatap tangan Layla sekilas, sebelum mengalihkan tatapannya ke Aldimas lagi. “Awalnya aku khawatir ketika tahu Ayah sudah menjodohkanmu, tapi....” barulah ia menatap Layla. “Sepertinya itu tidak perlu.”Layla mengerjap, tidak terlalu paham maksud wanita itu.“Kamu hanya bekerja sebagai guru TK, kan?” tanya Farah kemudian.Layla kembali duduk setelah Aldimas menarik pelan tangannya. Ia pun menjawab, “Ya.”“Apa pekerjaan orang tuamu?”“Mereka... berdagang.”Ada keraguan sedikit saat Layla menjawab itu. ‘Tapi, ya... secara teknis mereka emang berdagang, sih...’“Oh, lucu sekali!” Tiba-tiba saja Farah tertawa hambar. “Opamu benar-benar tahu caranya menghibur orang.”Farah memang bersikap elegan, tapi entah kenapa Layla merasa terhina dengan tawanya itu. Wajahnya memanas, entah karena marah atau
Kata orang, menikah bukanlah hal yang mudah, tapi entah kenapa tidak dengan Layla. Hanya dalam sekejap mata, ia sudah menjadi istri orang. Pernikahan Layla terjadi dalam sekejap mata.Sepertinya baru kemarin mereka melakukan pertemuan keluarga, tahu-tahu sekarang ia sudah berdiri di aula resepsi pernikahan. Tidak banyak undangan yang hadir, kebanyakan adalah anggota direksi MD Group yang akan terlibat langsung suksesi Aldimas. Dari pihak Layla juga sengaja tidak mengundang banyak, hanya keluarga terdekat dan Poppy—teman Layla.Layla tidak akan kaget kalau setelah ini ada gosip dirinya hamil duluan.Bukan kemauannya juga menikah secepat kilat begini. Aldimas yang memburunya terus, bahkan sampai menghasut Nenek dan Mama. Omongan Nenek adalah mutlak, apa yang bisa Layla katakan kalau wanita itu saja sudah klop dengan Aldimas.Jadi, satu-satunya cara untuk Layla melindungi diri adalah dengan...“Surat perjanjian!”Aldimas, yang duduk di sofa seberang Layla pun mengangkat sebelah alisnya.
Hari kelima sebagai istri Aldimas Mandrawoto, tapi Layla sudah ingin mati kebosanan.Harusnya, ia tidak menyetujui neneknya untuk mengambil cuti di sekolah. Mereka memang pergi berbulan madu di hari kedua, tapi itu tidak lebih dari sekadar menumpang tidur di hotel. Aldimas malah sibuk bekerja dari hotel, sementara Layla memanfaatkannya untuk tidur seharian.Baru kemarin mereka kembali ke rumah, dan Aldimas sudah kembali bekerja ke kantor. Layla yang masih memiliki sisa dua hari lagi, sudah mati kutu di rumah ini.Rekan-rekan gurunya sudah bertanya segala macam. Bagi orang yang jarang mengambil cuti, Danilla terus dihujani pertanyaan untuk apa mengambil cuti seminggu penuh. Tentunya selain Poppy, tidak ada yang tahu ia sudah menikah dengan Aldimas.Layla bangkit dari posisinya di sofa dan berputar-putar sejenak. Mau ngapain, ya? Apa aku pergi jalan-jalan aja keluar?Pada saat itulah matanya mengarah pada ruangan khusus milik Aldimas. Pria itu bilang, ruangan itu adalah tempatnya bekerj
Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Aldimas katakan kepada Layla, tetapi sayangnya ucapannya itu begitu menyakitkan. Apa salah Layla? Dia hanya bertanya karena tidak tahu. Kenapa Aldimas sampai menuduhnya begitu?“Kamu itu hobi banget ya nuduh aku?!” Layla tidak bisa menahan emosinya. Itulah kebiasaan buruknya, selalu mudah terpancing jika ada seseorang yang membentaknya duluan.“Aku, kan, cuma bertanya karena aku gak sengaja menemukan itu!” lanjut Layla. “Ngomong biasa saja apa tidak bisa?!”“Bagaimana saya bisa percaya sama kamu kalau kamu sendiri saja melanggar perjanjian!”Layla mengepalkan tangannya. Ia tahu kalau Aldimas memang memiliki mulut yang ketus, tapi baru kali ini ia benar-benar sakit hati. Layla meluapkan kekesalannya itu dengan menendang tulang kering Aldimas, sebelum pergi dari ruangan itu.“Aldimas jelek!” pekiknya sebelum menutup pintu itu keras-keras.***Setelah menghabiskan seminggu penuh seperti pengangguran, Layla akhirnya bisa kembali ke sekolah hari in
Walaupun rasanya Layla ingin membakar kertas-kertas ini, nyatanya ia tidak boleh. Bisa hancur dunia dan seisinya jika Layla melakukan itu. Jadi, ia hanya meletakkannya di meja makan sebelum makan salad buah yang tadi sempat dibuatnya.“Aldimas udah makan belum, ya?”“Ah, masa bodoh!”“Emangnya dia pernah peduli juga sama aku?”“Tapi... dia, kan, lagi sakit.”Layla terus berdebat dengan dirinya sendiri sambil memakan sarapannya. Matanya terus melirik ke arah pintu kamar Aldimas. Pria itu memang menyebalkan, tapi bagaimanapun mereka tetap tinggal dalam satu rumah.Perdebatan batin itu terus berlanjut sampai sebuah dering ponsel mengejutkannya. Layla melirik ponselnya di atas meja. Nama Diego Januerja muncul di sana.‘Buat apa pengacara Aldimas telepon aku pagi-pagi? Apa... Aldimas ngajuin cerai gara-gara kejadian itu?’Tiba-tiba Layla merasa bersemangat. Kalau benar Aldimas ingin mengajukan cerai di hari ketujuh ini, sejahteralah hidupnya.“Halo, Mas Diego?” sapa Layla di telepon.Tidak
Layla menghela napas panjang begitu membuka pintu depan. Hari pertama mengajar kembali, ia dihadapkan dengan setumpuk pekerjaan. Belum lagi anak-anak didiknya kenapa banyak berulah hari ini.Layla juga harus bertemu dengan Diego untuk membahas tuntutannya. Alhasil, Layla baru bisa kembali ke rumah pukul 6 sore.“Kok, gelap—ASTAGA!”Layla menjatuhkan semua map dan bahan mengajar di tangannya saat melihat sesosok bayangan hitam duduk di sofa. Kacamata yang dipakainya berkilat terkena seberkas cahaya dari jendela, membuatnya seperti mata dedemit yang menyeramkan.Apalagi sosok itu hanya diam saja, tidak menyapanya ketika masuk ke rumah. Rambutnya yang diturunkan itu hampir menutupi sebagian wajahnya, sangat berbeda dari tampilannya yang biasa.“NGAPAIN SIH GELAP-GELAP BEGINI?!” Layla tidak tahan untuk mengomel kepada Aldimas yang duduk di sana.Layla mengambil kembali barang-barangnya yang berserakan, lalu menyalakan lampu utama. “Kamu sebegitu sakitnya sampai gak bisa nyalain lampu?”“A
Aldimas menggelengkan kepalanya dan berdeham. Ia mengatur wajahnya agar datar kembali. Ia membiarkan Layla memasak di sana, tanpa mau bertanya lagi.Sebuah getaran di meja makan membuat Aldimas menoleh. Ternyata itu adalah ponsel Layla, yang menyala karena ada satu pesan masuk. Mata Aldimas seolah bergerak otomatis. Ia melirik layar ponsel itu.‘Foto pria?’ Alis Aldimas berkerut ketika melihat sekilas lock-screen ponsel Layla. Ia belum melihatnya dengan jelas karena layarnya sudah mati duluan. Namun, bisa dipastikan kalau pria itu bukan dirinya.Aldimas melirik Layla sekali lagi. ‘Apa yang wanita itu sembunyikan dariku?’“Nah, makanlah,” kata Layla sambil meletakkan nasi hangat dan sayur sop di depan Aldimas.Pria itu mengerjap. Sepertinya, ia terlalu dalam memikirkan siapa pria di ponsel Layla sampai tidak menyadari kalau wanita itu sudah selesai memasak.“Hm,” Aldimas hanya berdeham, matanya masih melirik ponsel Layla yang mati.“Itu—“Drrt!Ucapan Aldimas terpotong ketika ponsel La