“APA?! KENAPA?!”
Layla menjauhkan ponselnya saat neneknya berteriak.
“Udah Nenek duga, dia itu emang gak baik buat kamu!” lanjut neneknya, suaranya lebih menggebu-gebu daripada saat menyuruh Layla pulang tadi.
Layla mengerutkan dahinya. “Dari mana Nenek tau?”
“Memangnya kamu pikir Nenek gak cari tau?”
Ah... benar juga, Layla berdecak. Hal apa yang tidak diketahui nenek bawel ini.
“Udah! Kamu cepat pulang. Nenek akan jodohin kamu sama cucu Wandara saja!”
“Hah?!”
Layla tanpa sadar berteriak ketika mendengar ocehan neneknya lagi. Tiba-tiba menyuruhnya pulang, tiba-tiba ingin menjodohkannya. Apalagi dengan keluarga Wandara yang terkenal banyak skandalnya itu.
Bahkan belum lama ini kabarnya salah satu cucunya terkena skandal narkoba.
Layla merinding kalau benar neneknya mau menjodohkannya dengan pria itu.
“Kamu dengar gak, Layla?” ulang neneknya.
Layla tidak mau mendengarnya lagi. Ia pun mengambil tisu di meja dan membuatnya jadi bola. Setelah itu, menggesekkannya ke speaker ponselnya.
“A-apa... N-nenek b-bilang a-ap... s-sinyal... a-aduh....”
Tut!
Layla langsung memutuskan panggilan itu secara sepihak.
***
Akhir pekan Layla habiskan dengan berleha-leha di kamar kostnya. Ia bahkan enggan keluar kamar, dan hanya memesan layanan pesan-antar untuk makan siang dan malam.
Raikhal sama sekali tidak menghubunginya, bahkan untuk meminta maaf. Layla memang sedih, tapi rasa bencinya jauh lebih besar. Sepanjang akhir pekan itu ia habiskan untuk mengumpat Raikhal, dan “membereskan” semuanya.
Soal wakil direktur sombong itu, Layla juga tidak mau ambil pusing. Ia tidak menghubunginya sama sekali. Kartu nama yang waktu itu ditinggalkannya, sudah berakhir di tong sampah hotel.
‘Apa di dunia ini tidak ada pria yang benar?’ itulah yang Layla pikirkan selama 2 hari terakhir.
Sampai akhirnya, hari Senin kembali datang.
Sedari tadi, ponselnya tidak berhenti berdering. Kebanyakan dari grup guru sekolahnya, dan sisanya dari nenek dan mamanya. Layla mengabaikan semua itu karena dia bangun kesiangan, dan harus buru-buru berangkat bekerja.
“Ah! Berisik banget!” gerutu Layla saat turun dari ojek online di depan gerbang sekolah.
Ponselnya tidak berhenti berdering sedari tadi. Bahkan Poppy, rekan guru dari kelas Bunga Matahari, terus meneleponnya.
Akhirnya, Layla pun mengangkat panggilan Poppy tersebut.
“Ada apa, sih? Aku baru sampai gerbang—“
“Kamu gak baca grup dari tadi?” Poppy langsung memotong dengan suara yang terdengar panik.
Alis Layla berkerut, dan refleks menghentikan langkahnya. ‘Emangnya ada apa?’
“Aku buru-buru jadi gak sempat,” jawab Layla. “Emangnya ada apa? Ada pengumuman penting dari kepala sekolah?”
Poppy terdengar berdecak di seberang sana. “Kamu baca dulu! Dan nanti langsung ke ruang Bu Retno aja.”
Bu Retno adalah kepala sekolah pre-school ini. Bisa dibilang, ruangan Bu Retno sama saja dengan ruang pengadilan. Tidak ada yang berakhir baik jika sudah masuk ruangan itu.
Poppy memutuskan panggilannya, sehingga Layla pun memeriksa grup chat-nya. Sudah ada lebih dari lima ratus pesan di sana, bahkan beberapa menyebutkan namanya.
‘Ada apa, sih....’ mata Layla pun langsung membulat begitu mengetahui akar keributan pagi ini.
[Ya Tuhan!! Kelakuwan gru preschool si kk trnyt bgini,, bnr2 tdk menyangka,,, pecat sja!]
Itu adalah tangkapan layar status W******p Bu Sandra, salah seorang wali murid pre-school. Ibu itu memang terkenal suka nyinyir dan melapor ke kepala sekolah. Mungkin karena status suaminya yang juga donatur besar di sini, ia jadi lebih berani.
Namun, lebih dari siapa pemilik status W******p itu, Layla lebih berfokus pada foto yang terlampir di sana. Foto itu memperlihatkan sepasang pria dan wanita yang berpelukan di koridor hotel. Si wanita terlihat mencondongkan tubuhnya ke pria itu, hampir menempelkan bibirnya ke leher pria itu.
Walaupun gambar itu buram, tapi Layla tentu mengenal blazer cokelat dan tatanan rambut itu.
Itu adalah fotonya dan Aldimas di koridor hotel kemarin!
“Oooh... ini ya, yang katanya guru, tapi suka mabuk-mabukan! Gila!”
Layla hampir menjatuhkan ponselnya ketika mendengar suara ketus dari samping. Ia pun menoleh cepat, dan mendapati seorang ibu bertubuh gempal yang sedang menggandeng anak laki-laki tembam.
Layla mengenalnya. Ibu ini ada di satu circle dengan Bu Sandra. Mulut nyinyirnya juga tak kalah pedas.
“Gak usah kerja jadi guru kalau kelakuannya masih gak benar!” tambah ibu itu lagi.
Karena masih melihat anak muridnya di sana, Layla pun mengulaskan senyum sopan. “Maaf, Bu, sepertinya ada salah paham di sini.”
“Halah! Salah paham, salah paham! Orang Bu Sandra yang lihat sendiri kok! Edan! Jadi guru kelakuannya kayak pelacur!”
“Bu!” Layla memekik. Bukan karena dirinya dihina, tetapi karena ibu itu mengucapkan kata tidak baik di depan anaknya sendiri.Layla melirik khawatir ke anak ibu itu. Bocah laki-laki itu tampak tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.Layla menghela napas, lalu menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan bocah itu. Ia pun melirik name tag yang berisi informasi nama dan kelas itu.“Vano bisa masuk dulu, ya, Nak. Gabung sama teman-teman yang lain,” ujar Layla dengan senyuman manis.“HALAH! Gak usah ya sok-sokan nasehatin anak saya!” sang ibu malah marah dan menarik si anak ke belakang tubuhnya. “Kamu aja gak benar kelakukannya!”Layla kehabisan kesabaran. Dia memang seorang guru pre-school yang dituntut selalu sabar. Namun, jika menghadapi orang dewasa yang seperti ini, kesabarannya bisa setara dengan tisu dibagi 3, lalu dicelupkan ke air.“Bu—““Lay, Lay, Lay!” suara Poppy bersamaan dengan langkah kaki terburu-buru pun terdengar, memaksa Layla menelan amarahnya.Poppy tiba di sebelah
Jantung Layla seolah sudah jatuh sampai ke kakinya. Mulutnya ternganga, melihat pria yang sama sekali tak diharapkan kehadirannya justru hadir di ruangan itu.Dia adalah Aldimas Mandrawoto, si pria sombong yang sudah mengalihkan tatapan kepadanya.Tanpa sadar, Layla menelan air liurnya.“P-Pak Aldimas, silakan masuk,” Bu Retno berdiri dari kursinya dan menghampiri Aldimas.Layla semakin melongo. Siapa sebenarnya pria ini, sampai membuat Bu Retno yang tegas itu menjadi tunduk?!Namun, alih-alih duduk di sofa yang ditunjukkan Bu Retno, Aldimas malah menghampiri Layla yang masih membulatkan mata. Wanita itu refleks mundur satu langkah saat langkah Aldimas semakin dekat.Pria itu berhenti tepat di depan Layla, lalu mengulaskan senyum tipis yang terlihat misterius dan... mencurigakan.“Saya tanya sekali lagi.” Aldimas pun memutar tubuhnya kembali, tapi tidak beranjak dari sisi Layla. “Atas tuduhan apa, Anda melaporkan tunangan saya.”“APA?!”Pekikkan itu tidak hanya berasal dari mulut Layl
Setelah selesai perbincangan di ruangan Bu Retno, Layla segera menarik Aldimas ke salah satu ruang konsultasi. Hanya berdua. Ia ingin mendapatkan penjelasan soal semua ucapannya tadi.Sekarang, mereka sudah duduk saling berhadapan, terhalang sebuah meja berukuran sedang. Aldimas duduk dengan santainya, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Layla duduk sambil melipat tangan di dada. Matanya menatap lurus ke arah wajah datar Aldimas.‘Pria ini sikapnya udah berubah lagi. Tadi aja selalu pasang senyum bisnis, sekarang mukanya datar kayak tembok!’ batin Layla jengkel.“Jadi, Tuan Aldimas—““Panggil Aldimas saja,” potong Aldimas datar.Layla menghela napas dan memutar bola mata. “Oke, Aldimas. Bisakah Anda menjelaskan semuanya yang terjadi tadi?”Aldimas mengangkat bahunya. “Singkatnya, saya sudah menyelamatkan kamu.”“Dengan menyebut saya sebagai tunangan Anda?”“Itu satu-satunya cara.”“Apa gak ada cara yang lebih masuk akal?!” Layla sadar, kalau ia hampir saja lepas kendali. Jad
“Tunggu, tunggu, tunggu.” Layla mengangkat tangannya. “Siapa yang bilang saya mau melakukan pernikahan kontrak dengan Anda?”“Jadi, kamu tidak mau berterima kasih?” Aldimas memiringkan kepala dan melipat tangannya di dada. “Saya tidak percaya, seorang guru berintegritas tinggi, ternyata suka mengingkari janji.”“Hei! Saya akan berterima kasih, tapi gak kayak gini....” Layla menunjuk surat-surat di depannya. “Mungkin dengan traktir makan? Atau kopi? Atau barang?”“Reputasimu hanya seharga secangkir kopi?”Layla menggeram. Tangannya sudah terkepal di atas meja, siap membalik meja itu dan melemparnya ke wajah datar Aldimas. Kenapa pria ini sangat mahir membalikkan kata-katanya?Namun, sebelum Layla melancarkan semua niatannya, pria itu sudah berdiri dan mengancingkan jasnya kembali. Mata Layla pun mengikuti sosoknya.“Kamu bisa pikirkan dengan baik-baik,” ucap Aldimas sebelum berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Saya bukan orang yang sabaran. Tapi, kamu pengecualian, Layla.”Blam!Pin
Alis Layla menukik tajam melihat siapa orang yang ada di dalam mobil itu, terlebih pria itu menggunakan kalimat perintah.‘Kenapa pria ini kembali lagi?!’ pekik Layla dalam hati.“Kamu ngapain ke sini lagi?!” tanya Layla ketus, matanya menatap tajam ke arah Aldimas yang masih anteng duduk di dalam mobil.Aldimas tampak meliriknya, lalu beberapa detik kemudian, sopirnya sudah berdiri di depan Layla dan membukakan pintu mobil itu. Sopir itu jauh lebih sopan daripada majikannya, membuat Layla tidak tega sendiri kalau bersikap sinis kepadanya juga.“Masuklah,” ulang Aldimas lagi.Sopir itu masih setia tersenyum ramah dan memegangi pintu mobil. Dia menjadi titik kelemahan Layla kali ini. Akhirnya, wanita itu menghela napas panjang, dan masuk ke mobil.“Sudah saya bilang, saya sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Anda!” Layla langsung menyerocos begitu duduk manis di sebelah Aldimas.Bukannya menanggapi, Aldimas malah memberikan map lagi kepada Layla. Kali ini berwarna biru. “Saya bisa
Mana yang lebih mengejutkan? Mendapat lamaran pernikahan tiba-tiba atau kedatangan orang tua yang paling kamu hindari?Layla tidak bisa memilih, karena keduanya sama-sama membuat kepalanya pening sekarang.Ia belum selesai berurusan dengan urusan Aldimas tadi, tapi sudah dibuat pusing dengan kehadiran nenek dan mamanya. Layla sudah bisa menduga, kalau ini bukan hanya sekadar kunjungan biasa.“Kamu ini ditelepon berkali-kali kenapa tidak diangkat?” Neneknya langsung menodongnya dengan pertanyaan.Layla ingat kalau ia memasang ponselnya dalam mode hening gara-gara gosip tadi pagi. Ia juga tidak memeriksanya sedari tadi karena sibuk bertengkar dengan Aldimas.Karena tidak mau memberi alasan, Layla malah langsung mengalihkan topik. “Nenek dan Mama mau apa ke sini?”“Kamu masih tanya untuk apa?” neneknya menjawab dengan nada terdengar marah.Layla menelan air liurnya.“Kamu pikir, Nenek gak dengar gosip kamu di sekolah—““Oh, hahaha, ya ampun... apa Nenek lelah? Bagaimana kalau kita masuk
Layla merasakan alarm tanda bahaya segera muncul di atas kepalanya. Ia sudah tahu arti senyuman neneknya itu, yang sama artinya dengan melihat sebuah kesempatan. Makanya, sebelum itu semakin gawat, Layla buru-buru mendorong Aldimas.“Nenek, sepertinya Aldimas sangat sibuk. Iya, kan?” Layla menggerakkan bola matanya, memberi isyarat agar Aldimas segera pergi.“Pulanglah! Tidak perlu berkenalan lebih jauh,” mulutnya pun bergerak mengucapkan kata itu tanpa suara.Perlu usaha hebat untuk bisa mengusir Aldimas dari sana. Neneknya masih ingin mengobrol, dan Layla tahu kalau Aldimas punya maksud tersembunyi. Namun pada akhirnya, pria itu bisa juga angkat kaki dari kosannya itu.‘Oke, sekarang tinggal hadapi Nenek dan Mama.’ Layla menarik napas panjang, sebelum berbalik menghadap wajah neneknya yang sudah kembali suram.“Kita bicara di kamar aja, gimana?”***Layla tahu, semua tidak akan berjalan dengan baik jika itu berurusan dengan Nenek. Semuanya berbuntut panjang. Dimulai dari putusnya La
Layla tertawa canggung. “Ha-ha-ha, tapi aku sangat sibuk, maaf sekali. Aku harus menyiapkan materi mengajar untuk hari Senin.”Di balik tawanya itu, Layla ingin sekali menendang kepala Ryan. Atau minimal, melempar piring kotor itu ke wajahnya.Namun bukannya mengerti, Ryan malah tertawa keras. “Oh, ayolah... kenapa kamu jual mahal sekali.”Tangan Layla terkepal mendengar jawaban itu.“Bukankah ini akan lebih mudah? Keluarga kita sudah sepakat menjodohkan kita, apa salahnya jika bersenang-senang duluan? Toh, kita akan menikah pada akhirnya,” lanjut Ryan.‘Siapa yang ingin menikah denganmu?! Lebih baik aku dikutuk menjadi ikan pari daripada menikahimu!’ Layla bereriak dalam hati. Sepertinya ia harus mulai merekam ucapan Ryan untuk bukti kepada neneknya.Pria yang kurang ajar! Tidak menghormati wanita!Layla menarik napas cukup panjang. “Kurasa, nenekku belum mengatakan apa pun soal pernikahan,” jawab Layla sambil menahan emosi. “Beliau hanya menyuruhku datang dan makan siang denganmu.”