Efek alkohol memang luar biasa. Belum ada 12 jam Layla meneguk minuman itu, ia sudah benar-benar melupakan masalahnya semalam.
Atau... tidak juga.
Karena faktanya, ia malah membuat masalah baru. Begitu membuka mata, Layla melihat langit-langit yang asing di depannya. Semua terasa sangat mewah, bahkan kasur yang ditempatinya terasa seperti tumpukan bulu.
Mata Layla terbelalak. “AKU DI MANA?!”
Ini bukan kamar kosnya, melainkan di sebuah kamar hotel mewah.
Ia berusaha untuk duduk dengan cepat, tapi rasa pening langsung menyerangnya. Ia menggeram, dan terpaksa merebahkan diri lagi. Di tengah kepanikan, Layla menengok ke arah tubuhnya yang terbalut selimut.
‘Oh... untung aja!’ pakaiannya masih utuh, bahkan blazernya masih dipakai.
Layla kembali mencoba bangun dari kasur, kali ini perlahan. Tepat saat itu, rasa mual yang luar biasa terasa mengaduk perutnya.
“HUWEKKK!”
Layla langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya di kloset. Ini adalah hangover terparah yang pernah ia rasakan. Layla tidak pernah minum sampai mabuk seperti itu sebelumnya.
Setelah menguras hampir seluruh isi perutnya, dan mencuci mulut, Layla pun keluar dari kamar mandi. Ia terduduk di pinggir kasur, sampai akhirnya teringat sesuatu....
‘Orang gila mana yang mengantarku ke kamar hotel mewah ini?!’
Layla pun celingukan, mencari tanda-tanda orang yang membawanya ke sini. Tidak seperti di novel, Layla tidak menemukan siapa pun di kamar mandi tadi. Tidak juga ada sarapan yang tersaji di meja, atau tiba-tiba seorang pria muncul dengan handuk saja. Kamar ini kosong.
Pada saat itulah matanya menangkap sebuah memo berlogo hotel itu di atas nakas sebelah kasur. Ada tulisan di atas memo itu.
-Jika sudah bangun, hubungi saya.-
Ps.
-Jangan memikirkan hal aneh! Saya tidak punya hobi menganggu wanita mabuk.-
Sebuah kartu nama juga tergeletak di sana.
“Aldimas Noah Mandrawoto, Wakil Direktur MD Group,” Layla mengeja, dan sedetik kemudian matanya membulat.
“Ini kan si direktur sombong itu!” pekik Layla kemudian.
Tepat saat itu, kilasan memorinya tentang tadi malam melintas di kepalanya. Ketika dia dalam keadaan mabuk berat, Layla merasa ada seorang pria berkacamata dan memakai jas hitam berada di dekatnya. Suaranya terdengar ketus dan dingin di tengah hiruk-pikuk bar.
Layla terlalu pusing sampai akhirnya menjatuhkan diri ke dada bidang pria itu. Dan, ya... pria itu memang Aldimas.
“Sialan!” Layla mengumpat sambil memukuli kepalanya sendiri. “Kenapa aku mau dibawa ke hotel sama pria aneh itu! Dan—“
Layla kembali melihat catatan yang ditinggalkan Aldimas. “Jangan memikirkan hal aneh katanya?! Gimana aku gak berpikir aneh, dia sendiri aja udah aneh!”
Sepertinya, walaupun Layla sudah memuntahkan hampir seluruh isi perutnya, efek alkohol itu masih tersisa. Ia mengoceh sendiri, mengomel, sampai akhirnya kembali merebahkan tubuhnya di kasur.
“Untung aja ini hari Sabtu...,” gumamnya sambil melihat ke langit-langit.
Layla tidak bisa membayangkan jika ini masih hari kerja. Ia harus berjuang dengan hangover ini di sekolah, menghadapi para bocah yang selalu ingin tahu, belum lagi para orang tua yang repot.
Layla baru saja ingin merasakan kemewahan kamar ini sedikit lagi ketika mendengar dering familiar dari ponselnya. Ia setengah bangun, mencari ponsel itu di kasur, tapi tidak ada. Ternyata ponsel itu ada di sofa, bersamaan dengan tas kerjanya
Nenek is calling...
Layla menegang beberapa saat, lalu berdeham. Ia tidak boleh terdengar hangover sekarang.
“Kamu lupa jalan pulang, ya?” sang Nenek langsung menyemburnya sebelum Layla mengucapkan apa pun.
“Nek—“
Nenek Salma kembali memotongnya. “Rumah keluargamu itu cuma berjarak 3 jam dari kosan kamu!”
Layla menghela napas. Nenek Salma adalah yang paling menentang ketika Layla bilang ingin pindah ke kost. Setiap menelepon, dia pasti menyuruh Layla pulang.
Layla memang cucu perempuan pertama, tapi bukan berarti dirinya yang paling perhatian kepada Nenek Salma. Ada sepupu-sepupunya yang lain, yang jauh lebih memanjakan neneknya. Namun entah kenapa, Nenek Salma paling hobi mengganggu hidupnya.
“Aku sibuk, Nek,” jawab Layla akhirnya.
“Sibuk, sibuk... sesibuk apa sih guru pre-school sampai gak sempat hubungi keluarga?” Neneknya kembali menyerocos. “Udah! Kalau sibuk terus, kamu resign aja dan bantu Nenek di—“
“Nek, Nenek tau kan kalau Layla gak suka digituin.” Kali ini, Layla yang memotong. Kalau neneknya sudah membahas itu, pasti tidak akan berhenti.
Terdengar helaan napas kasar dari seberang sana. “Ya udah, ya udah. Terus, kapan kamu mau kenalin pacar kamu itu ke keluarga?”
Neneknya ini memang hobi sekali membuat jantungnya terkena shock terapy. Setelah membuka percakapan dengan kalimat marah-marah, sekarang malah membahas pacar—maksudnya, mantan pacar.
Ugh! Mengingat Raikhal dan selingkuhannya itu, emosi Layla kembali bergejolak.
“Kita baru aja putus,” jawab Layla ketus.
“APA?!”
“APA?! KENAPA?!”Layla menjauhkan ponselnya saat neneknya berteriak.“Udah Nenek duga, dia itu emang gak baik buat kamu!” lanjut neneknya, suaranya lebih menggebu-gebu daripada saat menyuruh Layla pulang tadi.Layla mengerutkan dahinya. “Dari mana Nenek tau?”“Memangnya kamu pikir Nenek gak cari tau?” Ah... benar juga, Layla berdecak. Hal apa yang tidak diketahui nenek bawel ini.“Udah! Kamu cepat pulang. Nenek akan jodohin kamu sama cucu Wandara saja!”“Hah?!”Layla tanpa sadar berteriak ketika mendengar ocehan neneknya lagi. Tiba-tiba menyuruhnya pulang, tiba-tiba ingin menjodohkannya. Apalagi dengan keluarga Wandara yang terkenal banyak skandalnya itu.Bahkan belum lama ini kabarnya salah satu cucunya terkena skandal narkoba.Layla merinding kalau benar neneknya mau menjodohkannya dengan pria itu.“Kamu dengar gak, Layla?” ulang neneknya.Layla tidak mau mendengarnya lagi. Ia pun mengambil tisu di meja dan membuatnya jadi bola. Setelah itu, menggesekkannya ke speaker ponselnya.“A
“Bu!” Layla memekik. Bukan karena dirinya dihina, tetapi karena ibu itu mengucapkan kata tidak baik di depan anaknya sendiri.Layla melirik khawatir ke anak ibu itu. Bocah laki-laki itu tampak tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.Layla menghela napas, lalu menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan bocah itu. Ia pun melirik name tag yang berisi informasi nama dan kelas itu.“Vano bisa masuk dulu, ya, Nak. Gabung sama teman-teman yang lain,” ujar Layla dengan senyuman manis.“HALAH! Gak usah ya sok-sokan nasehatin anak saya!” sang ibu malah marah dan menarik si anak ke belakang tubuhnya. “Kamu aja gak benar kelakukannya!”Layla kehabisan kesabaran. Dia memang seorang guru pre-school yang dituntut selalu sabar. Namun, jika menghadapi orang dewasa yang seperti ini, kesabarannya bisa setara dengan tisu dibagi 3, lalu dicelupkan ke air.“Bu—““Lay, Lay, Lay!” suara Poppy bersamaan dengan langkah kaki terburu-buru pun terdengar, memaksa Layla menelan amarahnya.Poppy tiba di sebelah
Jantung Layla seolah sudah jatuh sampai ke kakinya. Mulutnya ternganga, melihat pria yang sama sekali tak diharapkan kehadirannya justru hadir di ruangan itu.Dia adalah Aldimas Mandrawoto, si pria sombong yang sudah mengalihkan tatapan kepadanya.Tanpa sadar, Layla menelan air liurnya.“P-Pak Aldimas, silakan masuk,” Bu Retno berdiri dari kursinya dan menghampiri Aldimas.Layla semakin melongo. Siapa sebenarnya pria ini, sampai membuat Bu Retno yang tegas itu menjadi tunduk?!Namun, alih-alih duduk di sofa yang ditunjukkan Bu Retno, Aldimas malah menghampiri Layla yang masih membulatkan mata. Wanita itu refleks mundur satu langkah saat langkah Aldimas semakin dekat.Pria itu berhenti tepat di depan Layla, lalu mengulaskan senyum tipis yang terlihat misterius dan... mencurigakan.“Saya tanya sekali lagi.” Aldimas pun memutar tubuhnya kembali, tapi tidak beranjak dari sisi Layla. “Atas tuduhan apa, Anda melaporkan tunangan saya.”“APA?!”Pekikkan itu tidak hanya berasal dari mulut Layl
Setelah selesai perbincangan di ruangan Bu Retno, Layla segera menarik Aldimas ke salah satu ruang konsultasi. Hanya berdua. Ia ingin mendapatkan penjelasan soal semua ucapannya tadi.Sekarang, mereka sudah duduk saling berhadapan, terhalang sebuah meja berukuran sedang. Aldimas duduk dengan santainya, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Layla duduk sambil melipat tangan di dada. Matanya menatap lurus ke arah wajah datar Aldimas.‘Pria ini sikapnya udah berubah lagi. Tadi aja selalu pasang senyum bisnis, sekarang mukanya datar kayak tembok!’ batin Layla jengkel.“Jadi, Tuan Aldimas—““Panggil Aldimas saja,” potong Aldimas datar.Layla menghela napas dan memutar bola mata. “Oke, Aldimas. Bisakah Anda menjelaskan semuanya yang terjadi tadi?”Aldimas mengangkat bahunya. “Singkatnya, saya sudah menyelamatkan kamu.”“Dengan menyebut saya sebagai tunangan Anda?”“Itu satu-satunya cara.”“Apa gak ada cara yang lebih masuk akal?!” Layla sadar, kalau ia hampir saja lepas kendali. Jad
“Tunggu, tunggu, tunggu.” Layla mengangkat tangannya. “Siapa yang bilang saya mau melakukan pernikahan kontrak dengan Anda?”“Jadi, kamu tidak mau berterima kasih?” Aldimas memiringkan kepala dan melipat tangannya di dada. “Saya tidak percaya, seorang guru berintegritas tinggi, ternyata suka mengingkari janji.”“Hei! Saya akan berterima kasih, tapi gak kayak gini....” Layla menunjuk surat-surat di depannya. “Mungkin dengan traktir makan? Atau kopi? Atau barang?”“Reputasimu hanya seharga secangkir kopi?”Layla menggeram. Tangannya sudah terkepal di atas meja, siap membalik meja itu dan melemparnya ke wajah datar Aldimas. Kenapa pria ini sangat mahir membalikkan kata-katanya?Namun, sebelum Layla melancarkan semua niatannya, pria itu sudah berdiri dan mengancingkan jasnya kembali. Mata Layla pun mengikuti sosoknya.“Kamu bisa pikirkan dengan baik-baik,” ucap Aldimas sebelum berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Saya bukan orang yang sabaran. Tapi, kamu pengecualian, Layla.”Blam!Pin
Alis Layla menukik tajam melihat siapa orang yang ada di dalam mobil itu, terlebih pria itu menggunakan kalimat perintah.‘Kenapa pria ini kembali lagi?!’ pekik Layla dalam hati.“Kamu ngapain ke sini lagi?!” tanya Layla ketus, matanya menatap tajam ke arah Aldimas yang masih anteng duduk di dalam mobil.Aldimas tampak meliriknya, lalu beberapa detik kemudian, sopirnya sudah berdiri di depan Layla dan membukakan pintu mobil itu. Sopir itu jauh lebih sopan daripada majikannya, membuat Layla tidak tega sendiri kalau bersikap sinis kepadanya juga.“Masuklah,” ulang Aldimas lagi.Sopir itu masih setia tersenyum ramah dan memegangi pintu mobil. Dia menjadi titik kelemahan Layla kali ini. Akhirnya, wanita itu menghela napas panjang, dan masuk ke mobil.“Sudah saya bilang, saya sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Anda!” Layla langsung menyerocos begitu duduk manis di sebelah Aldimas.Bukannya menanggapi, Aldimas malah memberikan map lagi kepada Layla. Kali ini berwarna biru. “Saya bisa
Mana yang lebih mengejutkan? Mendapat lamaran pernikahan tiba-tiba atau kedatangan orang tua yang paling kamu hindari?Layla tidak bisa memilih, karena keduanya sama-sama membuat kepalanya pening sekarang.Ia belum selesai berurusan dengan urusan Aldimas tadi, tapi sudah dibuat pusing dengan kehadiran nenek dan mamanya. Layla sudah bisa menduga, kalau ini bukan hanya sekadar kunjungan biasa.“Kamu ini ditelepon berkali-kali kenapa tidak diangkat?” Neneknya langsung menodongnya dengan pertanyaan.Layla ingat kalau ia memasang ponselnya dalam mode hening gara-gara gosip tadi pagi. Ia juga tidak memeriksanya sedari tadi karena sibuk bertengkar dengan Aldimas.Karena tidak mau memberi alasan, Layla malah langsung mengalihkan topik. “Nenek dan Mama mau apa ke sini?”“Kamu masih tanya untuk apa?” neneknya menjawab dengan nada terdengar marah.Layla menelan air liurnya.“Kamu pikir, Nenek gak dengar gosip kamu di sekolah—““Oh, hahaha, ya ampun... apa Nenek lelah? Bagaimana kalau kita masuk
Layla merasakan alarm tanda bahaya segera muncul di atas kepalanya. Ia sudah tahu arti senyuman neneknya itu, yang sama artinya dengan melihat sebuah kesempatan. Makanya, sebelum itu semakin gawat, Layla buru-buru mendorong Aldimas.“Nenek, sepertinya Aldimas sangat sibuk. Iya, kan?” Layla menggerakkan bola matanya, memberi isyarat agar Aldimas segera pergi.“Pulanglah! Tidak perlu berkenalan lebih jauh,” mulutnya pun bergerak mengucapkan kata itu tanpa suara.Perlu usaha hebat untuk bisa mengusir Aldimas dari sana. Neneknya masih ingin mengobrol, dan Layla tahu kalau Aldimas punya maksud tersembunyi. Namun pada akhirnya, pria itu bisa juga angkat kaki dari kosannya itu.‘Oke, sekarang tinggal hadapi Nenek dan Mama.’ Layla menarik napas panjang, sebelum berbalik menghadap wajah neneknya yang sudah kembali suram.“Kita bicara di kamar aja, gimana?”***Layla tahu, semua tidak akan berjalan dengan baik jika itu berurusan dengan Nenek. Semuanya berbuntut panjang. Dimulai dari putusnya La