Share

BAB 4

Efek alkohol memang luar biasa. Belum ada 12 jam Layla meneguk minuman itu, ia sudah benar-benar melupakan masalahnya semalam.

Atau... tidak juga.

Karena faktanya, ia malah membuat masalah baru. Begitu membuka mata, Layla melihat langit-langit yang asing di depannya. Semua terasa sangat mewah, bahkan kasur yang ditempatinya terasa seperti tumpukan bulu.

Mata Layla terbelalak. “AKU DI MANA?!”

Ini bukan kamar kosnya, melainkan di sebuah kamar hotel mewah.

Ia berusaha untuk duduk dengan cepat, tapi rasa pening langsung menyerangnya. Ia menggeram, dan terpaksa merebahkan diri lagi. Di tengah kepanikan, Layla menengok ke arah tubuhnya yang terbalut selimut.

‘Oh... untung aja!’ pakaiannya masih utuh, bahkan blazernya masih dipakai.

Layla kembali mencoba bangun dari kasur, kali ini perlahan. Tepat saat itu, rasa mual yang luar biasa terasa mengaduk perutnya.

“HUWEKKK!”

Layla langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya di kloset. Ini adalah hangover terparah yang pernah ia rasakan. Layla tidak pernah minum sampai mabuk seperti itu sebelumnya.

Setelah menguras hampir seluruh isi perutnya, dan mencuci mulut, Layla pun keluar dari kamar mandi. Ia terduduk di pinggir kasur, sampai akhirnya teringat sesuatu....

‘Orang gila mana yang mengantarku ke kamar hotel mewah ini?!’

Layla pun celingukan, mencari tanda-tanda orang yang membawanya ke sini. Tidak seperti di novel, Layla tidak menemukan siapa pun di kamar mandi tadi. Tidak juga ada sarapan yang tersaji di meja, atau tiba-tiba seorang pria muncul dengan handuk saja. Kamar ini kosong.

Pada saat itulah matanya menangkap sebuah memo berlogo hotel itu di atas nakas sebelah kasur. Ada tulisan di atas memo itu.

-Jika sudah bangun, hubungi saya.-

Ps.

-Jangan memikirkan hal aneh! Saya tidak punya hobi menganggu wanita mabuk.-

Sebuah kartu nama juga tergeletak di sana.

“Aldimas Noah Mandrawoto, Wakil Direktur MD Group,” Layla mengeja, dan sedetik kemudian matanya membulat.

“Ini kan si direktur sombong itu!” pekik Layla kemudian.

Tepat saat itu, kilasan memorinya tentang tadi malam melintas di kepalanya. Ketika dia dalam keadaan mabuk berat, Layla merasa ada seorang pria berkacamata dan memakai jas hitam berada di dekatnya. Suaranya terdengar ketus dan dingin di tengah hiruk-pikuk bar.

Layla terlalu pusing sampai akhirnya menjatuhkan diri ke dada bidang pria itu. Dan, ya... pria itu memang Aldimas.

“Sialan!” Layla mengumpat sambil memukuli kepalanya sendiri. “Kenapa aku mau dibawa ke hotel sama pria aneh itu! Dan—“

Layla kembali melihat catatan yang ditinggalkan Aldimas. “Jangan memikirkan hal aneh katanya?! Gimana aku gak berpikir aneh, dia sendiri aja udah aneh!”

Sepertinya, walaupun Layla sudah memuntahkan hampir seluruh isi perutnya, efek alkohol itu masih tersisa. Ia mengoceh sendiri, mengomel, sampai akhirnya kembali merebahkan tubuhnya di kasur.

“Untung aja ini hari Sabtu...,” gumamnya sambil melihat ke langit-langit.

Layla tidak bisa membayangkan jika ini masih hari kerja. Ia harus berjuang dengan hangover ini di sekolah, menghadapi para bocah yang selalu ingin tahu, belum lagi para orang tua yang repot.

Layla baru saja ingin merasakan kemewahan kamar ini sedikit lagi ketika mendengar dering familiar dari ponselnya. Ia setengah bangun, mencari ponsel itu di kasur, tapi tidak ada. Ternyata ponsel itu ada di sofa, bersamaan dengan tas kerjanya

Nenek is calling...

Layla menegang beberapa saat, lalu berdeham. Ia tidak boleh terdengar hangover sekarang.

“Kamu lupa jalan pulang, ya?” sang Nenek langsung menyemburnya sebelum Layla mengucapkan apa pun.

“Nek—“

Nenek Salma kembali memotongnya. “Rumah keluargamu itu cuma berjarak 3 jam dari kosan kamu!”

Layla menghela napas. Nenek Salma adalah yang paling menentang ketika Layla bilang ingin pindah ke kost. Setiap menelepon, dia pasti menyuruh Layla pulang.

Layla memang cucu perempuan pertama, tapi bukan berarti dirinya yang paling perhatian kepada Nenek Salma. Ada sepupu-sepupunya yang lain, yang jauh lebih memanjakan neneknya. Namun entah kenapa, Nenek Salma paling hobi mengganggu hidupnya.

“Aku sibuk, Nek,” jawab Layla akhirnya.

“Sibuk, sibuk... sesibuk apa sih guru pre-school sampai gak sempat hubungi keluarga?” Neneknya kembali menyerocos. “Udah! Kalau sibuk terus, kamu resign aja dan bantu Nenek di—“

“Nek, Nenek tau kan kalau Layla gak suka digituin.” Kali ini, Layla yang memotong. Kalau neneknya sudah membahas itu, pasti tidak akan berhenti.

Terdengar helaan napas kasar dari seberang sana. “Ya udah, ya udah. Terus, kapan kamu mau kenalin pacar kamu itu ke keluarga?”

Neneknya ini memang hobi sekali membuat jantungnya terkena shock terapy. Setelah membuka percakapan dengan kalimat marah-marah, sekarang malah membahas pacar—maksudnya, mantan pacar.

Ugh! Mengingat Raikhal dan selingkuhannya itu, emosi Layla kembali bergejolak.

“Kita baru aja putus,” jawab Layla ketus.

“APA?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status