Share

BAB 3

“Aku kasih kamu kesempatan satu minggu buat balikin semua uang yang kamu pakai buat isi apartemen, beli kamera, dan sewa studio kamu.”

Wajah Raikhal langsung memucat begitu mendengar permintaan Layla.

Hampir semua barang yang ada di apartemen ini adalah hasil tabungan Layla. Jangan lupakan deretan kamera antik dan terbaru yang berjejer di lemari sana. Layla bahkan rela mendatangi rumah lelang untuk mendapatkan kamera keluaran tahun 1980-an sebagai hadiah ulang tahun Raikhal tahun lalu.

Studio yang sedang dirintis Raikhal pun adalah campur tangan Layla juga. Kalau saja ia tidak bilang akan memberikannya modal untuk studio itu, Raikhal akan selamanya menjadi fotografer freelance saja.

Pengkianatan ini akan menjadi tamparan untuk Raikhal. Layla harus menunjukkan pra itu bukan apa-apa tanpa dirinya.

Layla menarik napas ketika setetes air mata hampir keluar. “Kalau gak, kamu akan berhadapan sama pengacara aku.”

“Pengacara?” Raikhal mendengus kala Layla ingin berbalik badan. “Guru pre-school kayak mau mana sanggup sewa pengacara?”

Selain Raikhal, Layla juga mendengar tawa mengejek samar dari wanita di kasur itu. Matanya memicing, menatap dua makhluk laknat itu bergantian.

Raikhal melipat tangannya di depan dada. “Yang ada, kamu yang malu karena reputasi dan kenalan aku lebih unggul.”

‘Oh... dia gak tau aja kalau aku punya kartu As,’ Layla bergumam dalam hati. Namun, ia terlalu malas untuk menjelaskan kepada pria bodoh itu.

“Kita lihat aja.” Akhirnya, ia hanya bisa menjawabnya begitu sambil berbalik badan.

Layla hanya mendengar suara geraman dari arah belakang, disusul dengan suara pukulan ke tembok. Pada saat itulah ia ingat telah melupakan sesuatu.

“Oh iya, dan....” Layla berbalik lagi menghadap Raikhal.

Bugh!

“AW!”

Layla menendang selangkangan pria itu dengan lututnya sangat keras. Ia pun mengacungkan jari tengah kepada wanita yang masih ada di kasur itu.

“Ini buat balasan karena kamu hancurin hari Jumat aku!”

Layla pun segera keluar dari apartemen laknat itu.

***

Seperti kata Raikhal, Layla ini memang memiliki pemikiran kolot. Hidupnya hampir 100% lurus. Namun kali ini, entah kenapa ia ingin sesekali menyimpang.

Jadi, alih-alih kembali ke kosannya, Layla malah masuk ke sebuah bar besar di pusat kota. Duduk di meja bar masih dengan pakaian kerjanya, Layla meneguk minuman alkohol itu seperti air putih. Entah apa namanya, berapa kadar alkoholnya, Layla hanya ingin mabuk dan melupakan semua ini.

Niatnya begitu, tapi air matanya tidak berhenti mengalir sedari tadi. Ia sudah seperti orang gila. Tidak ada yang berani mendekatinya, bahkan para pria hidung belang tampak jengkel duluan sebelum mendekati kursinya.

Bagaimana tidak, karena efek alkohol, Layla menangis sesenggukan dengan ingus mengalir dari hidungnya. Sesekali ingus itu membuat gelembung kecil, kalau saja bartender di depan tidak menyodorkan tisu kepada Layla.

“Manusia berengsek! Bodoh sekali aku bisa kemakan rayuannya selama tiga tahun!” Layla mengoceh jengkel sambil meneguh alkoholnya kembali.

Dulu, Raikhal tidak seperti ini. Ia adalah pria pekerja keras yang selalu berusaha memanjakannya. Itulah yang membuat Layla rela memberikan materi apa pun untuknya.

Namun begitu sukses, Raikhal membuangnya seperti sampah. Ia melupakan semua pengorbanan Layla, dan memilih jalan kesenangannya sendiri. Layla terlalu marah sampai tidak bisa berteriak di depan Raikhal. Kekecewaannya tidak bisa terucap oleh kata-kata.

“Bahkan aku habisin tabunganku buat ke Eropa!” Layla menangis lagi, lalu menelungkupkan kepalanya ke atas meja bar.

“Hei, kamu gak apa-apa?”

Baru sekitar lima detik Layla merebahkan kepalanya, ia mendengar seorang suara pria sayup-sayup di antara suara musik bising di sini. Layla menoleh, tapi tidak mengangkat kepalanya.

Ia melihat dada bidang seorang pria yang memakai setelan jas warna hitam. Layla mendengus. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun ada saja pria hidung belang yang berusaha merayunya.

“Pergi!” Layla mengangkat kepala dan meneguk minumannya kembali. “Kamu gak lihat aku lagi patah hati?! Aku gak ada waktu buat makan rayuanmu!”

Layla tidak langsung mendengar balasan pria itu, hanya suara dengusan yang cukup keras. Kepalanya sudah berdenyut karena efek tangisan dan alkohol ini. Pandangannya pun mulai memburam.

“Kamu memang punya tempramen yang buruk,” gumam pria itu, yang masih bisa didengar oleh Layla.

“APA?!” Layla menoleh cepat, membuat kepalanya tiba-tiba diserang rasa pusing luar biasa.

Samar-samar ia melihat penampakan sosok familiar di depannya. Ujung hidungnya pun merasakan aroma yang kuat bercampur dengan bau alkohol dari mulutnya.

Jari Layla terangkat, menunjuk pria itu. “Eh... kamu, kan—“

Bruk!

Layla tidak ingat apa pun setelah itu, hanya merasakan dahinya membentur sesuatu yang empuk, tapi keras sekaligus. Lalu, pandangannya menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status