Heels merah menyala itu seolah tengah mengejek Layla. Ia tergeletak sembarangan, seperti dibuka secara terburu-buru. Di dekatnya, ada sepatu warna hitam yang sangat dikenalnya—itu milik Raikhal.
Tubuh Layla langsung menegang. Ia bukan wanita polos yang tidak bisa berspekulasi macam-macam. Usianya sudah menginjak 27 tahun, dan hal dewasa seperti ini sudah menjadi gosip yang didengarnya hampir setiap hari.
“R-Rai?” Layla masuk dengan debar jantung yang sudah menggila.
Kepalanya sudah kosong saking cepatnya aliran darah yang mengalir ke kepala. Keringat dingin membanjiri punggungnya. Sampai ia mencapai ruang tengah, genggaman tangannya pada tas menjadi lemas.
Kemeja dan celana jeans berserakan di sana, lengkap dengan pakaian dalam wanita.
“Mhhm... lebih cepat, Sayang....”
Layla menoleh, tepat ke arah pintu kamar tidur yang terbuka sedikit. Itu suara desahan wanita.
“Kamu gak sabaran banget ya....”
Sekarang, Layla tahu persis siapa pemilik suara itu. Raikhal. Suaranya terdengar lebih berat, bahkan bercampur dengan geraman tidak sabar. Bunyi menjijikan pun mengikuti suara desahan dua orang di dalam sana.
Ini merupakan tahun ketiganya bersama Raikhal. Bukan tidak pernah ia membayangkan kejadian seperti ini akan terjadi. Raikhal sangat ekstrover, dan sebagai fotografer, pria itu memiliki banyak kenalan model cantik dan seksi.
Namun selama ini, Layla mencoba untuk menyangkalnya. Ia percaya, Raikhal akan setia kepadanya, sama seperti dirinya yang selalu mendukung Raikhal. Sejak pria itu bukan siapa-siapa, sampai menjadi fotografer profesional yang sedang membangun studionya sendiri.
Walaupun kakinya sudah lemas, Layla tetap memaksakan diri untuk mendekati pintu kamar itu. Di tengah cahaya yang terang benderang, ia melihat dua orang manusia bergumul layaknya binatang. Mereka saling mengecap dan memeluk dengan keadaan telanjang bulat.
Layla membuka pintu itu semakin lebar. “Wah....”
“LAYLA?!”
Raikhal yang lebih dulu sadar kehadirannya. Pria itu buru-buru mengambil selimut dan celananya yang tergeletak di ujung kasur.
Kepala Layla sudah kosong dengan pemandangan di depannya. Ia kehabisan kata.
“Setidaknya kalian gak lakuin ini di hari kita punya janji....” Layla bergumam dengan mata menerawang. “Bajingan!”
Layla merasa jijik ketika Raikhal ingin meraih tangannya dan memanggilnya dengan panggilan itu. Layla mundur selangkah. Gejolak amarah di kepalanya sudah tak terbendung lagi.
“Menjijikan!” desis Layla.
Sepertinya ucapan Layla itu mampu membuat ego Raikhal tersentil. Ekspresi pria itu langsung berubah. Ia mendengus, lalu berteriak di depan Layla. “Sekarang kamu sadar, kan?”
“Apa?”
“Kamu selalu nolak aku untuk lakuin ini.” Raikhal menyugar rambutnya ke belakang, tatapannya kepada Layla berubah menjadi merendahkan.
“Kamu kira, aku ini nabi yang bisa tahan berdekatan sama model-model itu?! Aku cuma pria biasa, aku punya nafsu! Dan kamu selalu gak mau jadiin pelampiasan hasrat aku!”
Tangan Layla terkepal di sisi tubuhnya. “Jadi, selama ini kamu cuma lihat aku sebagai bahan pelampiasan hasrat kamu?”
Layla melirik ke wanita yang masih ada di atas kasur, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut. Bisa ia tebak, wanita itu adalah salah satu kenalan modelnya Raikhal.
Layla kembali menatap Raikhal dengan mata yang sudah memanas. “Semua waktu, perhatian, tenaga, bahkan tabungan aku buat kamu itu sama sekali gak berarti ya?”
“Jujur aja, kamu gak menarik, Lay.”
Deg!
Rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal tenggorokan Layla. Ia tidak bisa bernapas. Seluruh tubunya mati rasa.
“Pemikiran kamu itu kolot. Kamu selalu anggap aku ini anak kecil, kayak murid-murid kamu di sekolah. Dan maaf aja, aku bukan makhluk penurut kayak mereka itu.”
Hanya karena suka memanjakan Raikhal, pria itu mengganggap semua perhatian Layla itu sia-sia. Perlu diakui, terkadang Layla masih suka membawa mode guru pre-school-nya walaupun sedang bersama Raikhal. Layla suka beberapa kali kelepasan memarahi Raikhal seperti menasehati balita.
Namun, apa itu salah? Padahal Layla hanya ingin menunjukkan perhatiannya.
“Oke, aku paham sekarang.” Layla menarik napas panjang, berusaha menghalau rasa sakit luar biasa ini.
“Aku kasih kamu kesempatan satu minggu....”
“Aku kasih kamu kesempatan satu minggu buat balikin semua uang yang kamu pakai buat isi apartemen, beli kamera, dan sewa studio kamu.”Wajah Raikhal langsung memucat begitu mendengar permintaan Layla.Hampir semua barang yang ada di apartemen ini adalah hasil tabungan Layla. Jangan lupakan deretan kamera antik dan terbaru yang berjejer di lemari sana. Layla bahkan rela mendatangi rumah lelang untuk mendapatkan kamera keluaran tahun 1980-an sebagai hadiah ulang tahun Raikhal tahun lalu.Studio yang sedang dirintis Raikhal pun adalah campur tangan Layla juga. Kalau saja ia tidak bilang akan memberikannya modal untuk studio itu, Raikhal akan selamanya menjadi fotografer freelance saja.Pengkianatan ini akan menjadi tamparan untuk Raikhal. Layla harus menunjukkan pra itu bukan apa-apa tanpa dirinya.Layla menarik napas ketika setetes air mata hampir keluar. “Kalau gak, kamu akan berhadapan sama pengacara aku.”“Pengacara?” Raikhal mendengus kala Layla ingin berbalik badan. “Guru pre-schoo
Efek alkohol memang luar biasa. Belum ada 12 jam Layla meneguk minuman itu, ia sudah benar-benar melupakan masalahnya semalam.Atau... tidak juga.Karena faktanya, ia malah membuat masalah baru. Begitu membuka mata, Layla melihat langit-langit yang asing di depannya. Semua terasa sangat mewah, bahkan kasur yang ditempatinya terasa seperti tumpukan bulu.Mata Layla terbelalak. “AKU DI MANA?!”Ini bukan kamar kosnya, melainkan di sebuah kamar hotel mewah.Ia berusaha untuk duduk dengan cepat, tapi rasa pening langsung menyerangnya. Ia menggeram, dan terpaksa merebahkan diri lagi. Di tengah kepanikan, Layla menengok ke arah tubuhnya yang terbalut selimut.‘Oh... untung aja!’ pakaiannya masih utuh, bahkan blazernya masih dipakai.Layla kembali mencoba bangun dari kasur, kali ini perlahan. Tepat saat itu, rasa mual yang luar biasa terasa mengaduk perutnya.“HUWEKKK!”Layla langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya di kloset. Ini adalah hangover terparah yang pern
“APA?! KENAPA?!”Layla menjauhkan ponselnya saat neneknya berteriak.“Udah Nenek duga, dia itu emang gak baik buat kamu!” lanjut neneknya, suaranya lebih menggebu-gebu daripada saat menyuruh Layla pulang tadi.Layla mengerutkan dahinya. “Dari mana Nenek tau?”“Memangnya kamu pikir Nenek gak cari tau?” Ah... benar juga, Layla berdecak. Hal apa yang tidak diketahui nenek bawel ini.“Udah! Kamu cepat pulang. Nenek akan jodohin kamu sama cucu Wandara saja!”“Hah?!”Layla tanpa sadar berteriak ketika mendengar ocehan neneknya lagi. Tiba-tiba menyuruhnya pulang, tiba-tiba ingin menjodohkannya. Apalagi dengan keluarga Wandara yang terkenal banyak skandalnya itu.Bahkan belum lama ini kabarnya salah satu cucunya terkena skandal narkoba.Layla merinding kalau benar neneknya mau menjodohkannya dengan pria itu.“Kamu dengar gak, Layla?” ulang neneknya.Layla tidak mau mendengarnya lagi. Ia pun mengambil tisu di meja dan membuatnya jadi bola. Setelah itu, menggesekkannya ke speaker ponselnya.“A
“Bu!” Layla memekik. Bukan karena dirinya dihina, tetapi karena ibu itu mengucapkan kata tidak baik di depan anaknya sendiri.Layla melirik khawatir ke anak ibu itu. Bocah laki-laki itu tampak tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.Layla menghela napas, lalu menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan bocah itu. Ia pun melirik name tag yang berisi informasi nama dan kelas itu.“Vano bisa masuk dulu, ya, Nak. Gabung sama teman-teman yang lain,” ujar Layla dengan senyuman manis.“HALAH! Gak usah ya sok-sokan nasehatin anak saya!” sang ibu malah marah dan menarik si anak ke belakang tubuhnya. “Kamu aja gak benar kelakukannya!”Layla kehabisan kesabaran. Dia memang seorang guru pre-school yang dituntut selalu sabar. Namun, jika menghadapi orang dewasa yang seperti ini, kesabarannya bisa setara dengan tisu dibagi 3, lalu dicelupkan ke air.“Bu—““Lay, Lay, Lay!” suara Poppy bersamaan dengan langkah kaki terburu-buru pun terdengar, memaksa Layla menelan amarahnya.Poppy tiba di sebelah
Jantung Layla seolah sudah jatuh sampai ke kakinya. Mulutnya ternganga, melihat pria yang sama sekali tak diharapkan kehadirannya justru hadir di ruangan itu.Dia adalah Aldimas Mandrawoto, si pria sombong yang sudah mengalihkan tatapan kepadanya.Tanpa sadar, Layla menelan air liurnya.“P-Pak Aldimas, silakan masuk,” Bu Retno berdiri dari kursinya dan menghampiri Aldimas.Layla semakin melongo. Siapa sebenarnya pria ini, sampai membuat Bu Retno yang tegas itu menjadi tunduk?!Namun, alih-alih duduk di sofa yang ditunjukkan Bu Retno, Aldimas malah menghampiri Layla yang masih membulatkan mata. Wanita itu refleks mundur satu langkah saat langkah Aldimas semakin dekat.Pria itu berhenti tepat di depan Layla, lalu mengulaskan senyum tipis yang terlihat misterius dan... mencurigakan.“Saya tanya sekali lagi.” Aldimas pun memutar tubuhnya kembali, tapi tidak beranjak dari sisi Layla. “Atas tuduhan apa, Anda melaporkan tunangan saya.”“APA?!”Pekikkan itu tidak hanya berasal dari mulut Layl
Setelah selesai perbincangan di ruangan Bu Retno, Layla segera menarik Aldimas ke salah satu ruang konsultasi. Hanya berdua. Ia ingin mendapatkan penjelasan soal semua ucapannya tadi.Sekarang, mereka sudah duduk saling berhadapan, terhalang sebuah meja berukuran sedang. Aldimas duduk dengan santainya, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Layla duduk sambil melipat tangan di dada. Matanya menatap lurus ke arah wajah datar Aldimas.‘Pria ini sikapnya udah berubah lagi. Tadi aja selalu pasang senyum bisnis, sekarang mukanya datar kayak tembok!’ batin Layla jengkel.“Jadi, Tuan Aldimas—““Panggil Aldimas saja,” potong Aldimas datar.Layla menghela napas dan memutar bola mata. “Oke, Aldimas. Bisakah Anda menjelaskan semuanya yang terjadi tadi?”Aldimas mengangkat bahunya. “Singkatnya, saya sudah menyelamatkan kamu.”“Dengan menyebut saya sebagai tunangan Anda?”“Itu satu-satunya cara.”“Apa gak ada cara yang lebih masuk akal?!” Layla sadar, kalau ia hampir saja lepas kendali. Jad
“Tunggu, tunggu, tunggu.” Layla mengangkat tangannya. “Siapa yang bilang saya mau melakukan pernikahan kontrak dengan Anda?”“Jadi, kamu tidak mau berterima kasih?” Aldimas memiringkan kepala dan melipat tangannya di dada. “Saya tidak percaya, seorang guru berintegritas tinggi, ternyata suka mengingkari janji.”“Hei! Saya akan berterima kasih, tapi gak kayak gini....” Layla menunjuk surat-surat di depannya. “Mungkin dengan traktir makan? Atau kopi? Atau barang?”“Reputasimu hanya seharga secangkir kopi?”Layla menggeram. Tangannya sudah terkepal di atas meja, siap membalik meja itu dan melemparnya ke wajah datar Aldimas. Kenapa pria ini sangat mahir membalikkan kata-katanya?Namun, sebelum Layla melancarkan semua niatannya, pria itu sudah berdiri dan mengancingkan jasnya kembali. Mata Layla pun mengikuti sosoknya.“Kamu bisa pikirkan dengan baik-baik,” ucap Aldimas sebelum berjalan ke arah pintu dan membukanya. “Saya bukan orang yang sabaran. Tapi, kamu pengecualian, Layla.”Blam!Pin
Alis Layla menukik tajam melihat siapa orang yang ada di dalam mobil itu, terlebih pria itu menggunakan kalimat perintah.‘Kenapa pria ini kembali lagi?!’ pekik Layla dalam hati.“Kamu ngapain ke sini lagi?!” tanya Layla ketus, matanya menatap tajam ke arah Aldimas yang masih anteng duduk di dalam mobil.Aldimas tampak meliriknya, lalu beberapa detik kemudian, sopirnya sudah berdiri di depan Layla dan membukakan pintu mobil itu. Sopir itu jauh lebih sopan daripada majikannya, membuat Layla tidak tega sendiri kalau bersikap sinis kepadanya juga.“Masuklah,” ulang Aldimas lagi.Sopir itu masih setia tersenyum ramah dan memegangi pintu mobil. Dia menjadi titik kelemahan Layla kali ini. Akhirnya, wanita itu menghela napas panjang, dan masuk ke mobil.“Sudah saya bilang, saya sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Anda!” Layla langsung menyerocos begitu duduk manis di sebelah Aldimas.Bukannya menanggapi, Aldimas malah memberikan map lagi kepada Layla. Kali ini berwarna biru. “Saya bisa