MENTARI pagi belum lagi menyembul di kaki langit timur. Namun bocah berusia tiga tahun itu sudah terus merengek, mengajak Tumanggala mandi ke sungai. Sementara sang ayah masih merasa lelah usai bercinta semalaman.
Setelah terus merengek, akhirnya Tumanggala mengalah juga. Diboyongnya anak kecil itu menuju sungai yang tak terlalu lebar, tak jauh di belakang rumah.
Byur!
Begitu mencebur ke dalam sungai, hawa dingin mencucuk tulang seketika membuat Tumanggala menggigil. Gerahamnya bergemeletak tak karuan. Tapi melihat puteranya asyik berenang tanpa sedikit pun kedinginan, dilawannya rasa itu kuat-kuat.
Isteri Tumanggala ikut ke sungai pula. Hanya sebentar, sebab perempuan itu hanya mandi secukupnya. Setelah itu langsung kembali ke rumah untuk menyiapkan sarapan.
"Jangan lama-lama, Kakang. Jangan sampai kulit anak kita jadi keriput seperti kemarin," pesan isteri Tumanggala sebelum meninggalkan sungai.
Tapi dasar namanya anak-anak, putera T
LELAKI bercambang bauk lebat sambut serangan Tumanggala sembari ganda tertawa. Sekali gerak saja sabetan pedang si empunya rumah berhasil ia hindari. Membuat Tumanggala menggeram, semakin marah. Sebelum Tumanggala kembali menyerang, tubuh lelaki bercambang bauk melesat ke luar rumah. Agaknya ia mengajak sang wira tamtama untuk melanjutkan pertarungan di halaman yang luas. Tanpa pikir panjang Tumanggala ikut keluar. Namun begitu tiba di halaman, wajah sang wira tamtama seketika berubah. Kini tak hanya satu orang yang berdiri di hadapannya. Melainkan tiga! "Celaka! Ini alamat tidak bagus," desis Tumanggala tercekat. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada dua orang yang baru muncul. Orang pertama memiliki wajah dipenuhi cambang bauk lebat. Begitu lebatnya rambut-rambut hitam legam itu, sampai-sampai hanya bagian pipi ke atas dari lelaki itu yang terlihat. Sedangkan yang satu lagi berbadan tegap berisi, dengan rambut ikal awut-awutan yang be
RANAJAYA dibantu Sudhatu meladeni serangan demi serangan sambil terus ganda tertawa. Sebuah tawa mengejek! Membuat darah Tumanggala semakin mendidih. Serasa hendak muncrat dari ubun-ubun.Traaangg! Traaangg!Suara berdentrangan keras sekali lagi terdengar manakala mata pedang Tumanggala menghantam golok lawan. Dua jenis senjata itu berbenturan sebanyak dua kali. Dua percikan bunga api meletup di udara pagi yang menghangat.Setiap kali pedangnya membentur golok Ranajaya, wajah Tumanggala mengernyit. Tangannya yang memegang gagang pedang terasa ngilu. Pertanda lawan mempunyai tenaga dalam yang tidak dapat dianggap main-main.Tapi sang wira tamtama Panjalu yang sudah dibakar amarah itu tidak ambil peduli. Kembali tangannya bergerak cepat mengayunkan pedang. Mengantar dua sabetan sekaligus ke muka.Sringgg! Sringgg!Diserang begitu rupa, Ranajaya dan Sudhatu hanya menyeringai. Golok besar di tangan mereka kembali digerakkan untuk menangkis sabet
DUA senjata beradu. Heningnya suasana pagi kembali terkoyak oleh suara berdentrangan keras. Percik-percik bunga api muncul dari titik-titik beradunya mata tajam golok besar dan pedang tersebut. Karena baik Tumanggala maupun Ranajaya sama-sama kerahkan tenaga dalam, benturan itu menyebabkan tangan keduanya merasakan kesemutan hebat. Dari pergelangan tangan hingga ke siku. Separuh tangan mereka seolah mati rasa. Tumanggala berdiri tergontai-gontai dengan napas memburu. Rasa geram yang memuncak ia luapkan dengan meludah ke tanah. "Kalian tidak perlu jauh-jauh mati di alun-alun, bajingan tengik! Karena aku, Tumanggala, yang akan memenggal kepala kalian semua di sini sekarang juga!" geram sang wira tamtama membentak. Tumanggala tutup ucapannya dengan satu serangan. Pedang di tangannya kembali berputar-putar sebat. Membuat senjata itu hanya terlihat sebagai sebuah gulungan keperakan memanjang. Ujung tajam pedang mengarah lurus ke dada lawan. "Hiiaaa
USAI berkata begitu, Ranajaya kembali masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Dengan demikian, kembali Tumanggala dikeroyok dua oleh lelaki bercambang bauk lebat itu dan Sudhatu."Dasar pengecut! Beraninya hanya main keroyok," dengus Tumanggala mengejek.Tentu saja Ranajaya dan Sudhatu tak ambil peduli. Lagi pula mereka mengeroyok bukan karena takut kalah. Tapi lebih disebabkan ingin segera menyudahi pertarungan tersebut. Dan selanjutnya menyuguhkan kejutan tambahan bagi Tumanggala.Secara berbarengan kedua lelaki itu meladeni serangan Tumanggala dengan sabetan golok besar. Dua bilah senjata berkelebat cepat, menimbulkan suara berdesing. Lalu berdentrangan keras saat beradu dengan pedang sang prajurit Panjalu."Hiaaaatt!"Sriiinggg! Sriiinggg!Meski kelebatan golok di tangan mereka tampak begitu ganas, namun Ranajaya dan Sudhatu sama sekali tidak berniat menghabisi Tumanggala. Tugas mereka bukan membunuh prajurit itu. Melainkan hanya memb
SAMBIL tutup ucapannya, Ranajaya lepaskan tangan Tumanggala yang tadi dipegang. Gerakan yang dilakukan lelaki bercambang bauk lebat itu begitu kasar. Sehingga tangan Tumanggala terbanting dengan keras.Tapi bukan itu yang kemudian membuat sepasang mata Tumanggala terbelalak lebar. Prajurit Panjalu itu kembali dibuat kaget karena mendengar ucapan Ranajaya barusan.Apa lagi ini? Desis Tumanggala di dalam hati. Wajah sang prajurit menjadi bertambah tegang dan pucat. Seolah darahnya sudah berhenti mengalir."A-apa maksudmu, Ranajaya?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal.Ranajaya tak menanggapi. Lelaki bercambang bauk lebat itu hanya menyeringai sembari bangkit berdiri. Lalu ia memberi isyarat kepala pada kedua temannya untuk segera pergi.Telinga Ranajaya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali di kejauhan. Semakin lama suara tersebut bertambah dekat. Menuju ke arah mereka berada.Benar saja. Begitu ketiga lelaki terse
ALIRAN Bengawan Sigarada berkelok ke timur begitu melintasi wilayah Lodoyong. Menjadi batas alam yang memisahkan bagian barat Panjalu, dengan bagian selatan kerajaan yang membentang di seberang bengawan.Penduduk Kerajaan Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul. Gua Lawendra yang disebutkan lelaki jahanam bernama Ranajaya terletak di sana. Maka, ke sanalah Tumanggala menuju siang itu juga.Dari Surawana, sang prajurit harus menempuh jarak sejauh lebih dari empat puluh dua ribu depa (sekitar 78 kilometer). Dengan memacu kudanya sekencang mungkin, Tumanggala akan tiba di gua tersebut dalam waktu paling lama dua kali penanakan nasi.Awalnya niat itu sempat dicegah oleh Wyara. Sahabat Tumanggala yang bergegas datang ke Surawana begitu mendapat laporan warga itu merasa khawatir. Namun tentu saja Tumanggala berkeras, atau isterinya yang bakal jadi korban berikutnya."Aku tidak punya pilihan lain, Wyara. Aku harus mendatangi gua itu guna me
MENJELANG senja, Tumanggala sudah memasuki wilayah Lawadan di kawasan Brang Kidul. Gua Lawendra terletak tidak terlalu jauh dari tempat tersebut.Namun selepas melewati Lawadan medan perjalanan berubah menanjak dan berbatu-batu. Lalu rapatnya rimbunan daun pepohonan membuat sinar matahari tak leluasa menerangi permukaan tanah.Tumanggala terpaksa harus mengendalikan kudanya dengan sangat perlahan dan berhati-hati. Setelah menyusuri sepanjang punggungan satu pebukitan kapur, tibalah ia di muka gua yang ditandai dengan deretan beberapa obor tinggi."Hmmm, agaknya Ranajaya sengaja memberi tanda dengan jejeran obor itu, sehingga aku tak kesulitan menemukan gua yang dia maksudkan," ujar Tumanggala pada dirinya sendiri.Dengan tatapan tajam Tumanggala edarkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Tak seorang pun terlihat di sekitaran mulut gua.Tumanggala lantas pentang sepasang telinganya lebar-lebar. Tapi juga tak ada suara-suara mencurigakan yang tertangkap
AKIBAT tendangan itu Tumanggala bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar. Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak. Wajah Tumanggala seketika mengernyit kesakitan. Napasnya tersengal-sengal seolah mau putus. Namun semangatnya kembali bangkit begitu mendengar suara pekikan ngeri seorang perempuan. Suara isterinya! Cepat-cepat sang prajurit Panjalu bangkit berdiri. Meski sambil terus pegangi dadanya yang sangat sesak. Batu besar di mana dirinya terantuk dan berhenti bergulingan ternyata adalah tempat di mana isterinya terbaring tanpa daya. "Kakang Tumanggala?!" seru perempuan tersebut dengan suara lemah. Air muka di wajahnya sangat sulit diartikan. "Maafkan aku, Kakang ..." "Ssshhh ...!" tukas Tumanggala, sembari gelengkan kepala kencang-kencang. "Tida
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!