PURNAMA sidi menggantung di langit malam Kotaraja Dahanapura. Sinarnya yang benderang membuat keadaan menjadi terang. Sayang, tak seorang pun yang menikmati suasana indah selepas dini hari itu.
Ketika semua orang masih terlelap dalam alam impian, kesibukan terlihat di satu rumah petak kecil. Enam lelaki menyelinap keluar dari tempat tersebut secara bergantian. Lalu lenyap dalam bayang-bayang dedaunan menghitam.
Setelah menerabas semak belukar selama sekitar dua peminuman teh, mereka berenam tiba di tepi Bengawan Sigarada. Pada lindungan sebatang pohon randu nan tinggi enam lelaki hentikan langkah.
"Kita berpencar di sini," kata salah seorang dari mereka. Dalam remang sorot sinar rembulan, cambang bauk lebat yang meranggas di wajah lelaki itu masih jelas terlihat.
"Baiklah, Ranajaya. Kita jalankan bagian masing-masing sesuai rencana," sahut lelaki satu lagi. Dari suaranya dapat diketahui jika orang itu tak lagi berusia muda.
"Ah, aku sebenarnya meng
MENTARI pagi belum lagi menyembul di kaki langit timur. Namun bocah berusia tiga tahun itu sudah terus merengek, mengajak Tumanggala mandi ke sungai. Sementara sang ayah masih merasa lelah usai bercinta semalaman. Setelah terus merengek, akhirnya Tumanggala mengalah juga. Diboyongnya anak kecil itu menuju sungai yang tak terlalu lebar, tak jauh di belakang rumah. Byur! Begitu mencebur ke dalam sungai, hawa dingin mencucuk tulang seketika membuat Tumanggala menggigil. Gerahamnya bergemeletak tak karuan. Tapi melihat puteranya asyik berenang tanpa sedikit pun kedinginan, dilawannya rasa itu kuat-kuat. Isteri Tumanggala ikut ke sungai pula. Hanya sebentar, sebab perempuan itu hanya mandi secukupnya. Setelah itu langsung kembali ke rumah untuk menyiapkan sarapan. "Jangan lama-lama, Kakang. Jangan sampai kulit anak kita jadi keriput seperti kemarin," pesan isteri Tumanggala sebelum meninggalkan sungai. Tapi dasar namanya anak-anak, putera T
LELAKI bercambang bauk lebat sambut serangan Tumanggala sembari ganda tertawa. Sekali gerak saja sabetan pedang si empunya rumah berhasil ia hindari. Membuat Tumanggala menggeram, semakin marah. Sebelum Tumanggala kembali menyerang, tubuh lelaki bercambang bauk melesat ke luar rumah. Agaknya ia mengajak sang wira tamtama untuk melanjutkan pertarungan di halaman yang luas. Tanpa pikir panjang Tumanggala ikut keluar. Namun begitu tiba di halaman, wajah sang wira tamtama seketika berubah. Kini tak hanya satu orang yang berdiri di hadapannya. Melainkan tiga! "Celaka! Ini alamat tidak bagus," desis Tumanggala tercekat. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada dua orang yang baru muncul. Orang pertama memiliki wajah dipenuhi cambang bauk lebat. Begitu lebatnya rambut-rambut hitam legam itu, sampai-sampai hanya bagian pipi ke atas dari lelaki itu yang terlihat. Sedangkan yang satu lagi berbadan tegap berisi, dengan rambut ikal awut-awutan yang be
RANAJAYA dibantu Sudhatu meladeni serangan demi serangan sambil terus ganda tertawa. Sebuah tawa mengejek! Membuat darah Tumanggala semakin mendidih. Serasa hendak muncrat dari ubun-ubun.Traaangg! Traaangg!Suara berdentrangan keras sekali lagi terdengar manakala mata pedang Tumanggala menghantam golok lawan. Dua jenis senjata itu berbenturan sebanyak dua kali. Dua percikan bunga api meletup di udara pagi yang menghangat.Setiap kali pedangnya membentur golok Ranajaya, wajah Tumanggala mengernyit. Tangannya yang memegang gagang pedang terasa ngilu. Pertanda lawan mempunyai tenaga dalam yang tidak dapat dianggap main-main.Tapi sang wira tamtama Panjalu yang sudah dibakar amarah itu tidak ambil peduli. Kembali tangannya bergerak cepat mengayunkan pedang. Mengantar dua sabetan sekaligus ke muka.Sringgg! Sringgg!Diserang begitu rupa, Ranajaya dan Sudhatu hanya menyeringai. Golok besar di tangan mereka kembali digerakkan untuk menangkis sabet
DUA senjata beradu. Heningnya suasana pagi kembali terkoyak oleh suara berdentrangan keras. Percik-percik bunga api muncul dari titik-titik beradunya mata tajam golok besar dan pedang tersebut. Karena baik Tumanggala maupun Ranajaya sama-sama kerahkan tenaga dalam, benturan itu menyebabkan tangan keduanya merasakan kesemutan hebat. Dari pergelangan tangan hingga ke siku. Separuh tangan mereka seolah mati rasa. Tumanggala berdiri tergontai-gontai dengan napas memburu. Rasa geram yang memuncak ia luapkan dengan meludah ke tanah. "Kalian tidak perlu jauh-jauh mati di alun-alun, bajingan tengik! Karena aku, Tumanggala, yang akan memenggal kepala kalian semua di sini sekarang juga!" geram sang wira tamtama membentak. Tumanggala tutup ucapannya dengan satu serangan. Pedang di tangannya kembali berputar-putar sebat. Membuat senjata itu hanya terlihat sebagai sebuah gulungan keperakan memanjang. Ujung tajam pedang mengarah lurus ke dada lawan. "Hiiaaa
USAI berkata begitu, Ranajaya kembali masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Dengan demikian, kembali Tumanggala dikeroyok dua oleh lelaki bercambang bauk lebat itu dan Sudhatu."Dasar pengecut! Beraninya hanya main keroyok," dengus Tumanggala mengejek.Tentu saja Ranajaya dan Sudhatu tak ambil peduli. Lagi pula mereka mengeroyok bukan karena takut kalah. Tapi lebih disebabkan ingin segera menyudahi pertarungan tersebut. Dan selanjutnya menyuguhkan kejutan tambahan bagi Tumanggala.Secara berbarengan kedua lelaki itu meladeni serangan Tumanggala dengan sabetan golok besar. Dua bilah senjata berkelebat cepat, menimbulkan suara berdesing. Lalu berdentrangan keras saat beradu dengan pedang sang prajurit Panjalu."Hiaaaatt!"Sriiinggg! Sriiinggg!Meski kelebatan golok di tangan mereka tampak begitu ganas, namun Ranajaya dan Sudhatu sama sekali tidak berniat menghabisi Tumanggala. Tugas mereka bukan membunuh prajurit itu. Melainkan hanya memb
SAMBIL tutup ucapannya, Ranajaya lepaskan tangan Tumanggala yang tadi dipegang. Gerakan yang dilakukan lelaki bercambang bauk lebat itu begitu kasar. Sehingga tangan Tumanggala terbanting dengan keras.Tapi bukan itu yang kemudian membuat sepasang mata Tumanggala terbelalak lebar. Prajurit Panjalu itu kembali dibuat kaget karena mendengar ucapan Ranajaya barusan.Apa lagi ini? Desis Tumanggala di dalam hati. Wajah sang prajurit menjadi bertambah tegang dan pucat. Seolah darahnya sudah berhenti mengalir."A-apa maksudmu, Ranajaya?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal.Ranajaya tak menanggapi. Lelaki bercambang bauk lebat itu hanya menyeringai sembari bangkit berdiri. Lalu ia memberi isyarat kepala pada kedua temannya untuk segera pergi.Telinga Ranajaya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali di kejauhan. Semakin lama suara tersebut bertambah dekat. Menuju ke arah mereka berada.Benar saja. Begitu ketiga lelaki terse
ALIRAN Bengawan Sigarada berkelok ke timur begitu melintasi wilayah Lodoyong. Menjadi batas alam yang memisahkan bagian barat Panjalu, dengan bagian selatan kerajaan yang membentang di seberang bengawan.Penduduk Kerajaan Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul. Gua Lawendra yang disebutkan lelaki jahanam bernama Ranajaya terletak di sana. Maka, ke sanalah Tumanggala menuju siang itu juga.Dari Surawana, sang prajurit harus menempuh jarak sejauh lebih dari empat puluh dua ribu depa (sekitar 78 kilometer). Dengan memacu kudanya sekencang mungkin, Tumanggala akan tiba di gua tersebut dalam waktu paling lama dua kali penanakan nasi.Awalnya niat itu sempat dicegah oleh Wyara. Sahabat Tumanggala yang bergegas datang ke Surawana begitu mendapat laporan warga itu merasa khawatir. Namun tentu saja Tumanggala berkeras, atau isterinya yang bakal jadi korban berikutnya."Aku tidak punya pilihan lain, Wyara. Aku harus mendatangi gua itu guna me
MENJELANG senja, Tumanggala sudah memasuki wilayah Lawadan di kawasan Brang Kidul. Gua Lawendra terletak tidak terlalu jauh dari tempat tersebut.Namun selepas melewati Lawadan medan perjalanan berubah menanjak dan berbatu-batu. Lalu rapatnya rimbunan daun pepohonan membuat sinar matahari tak leluasa menerangi permukaan tanah.Tumanggala terpaksa harus mengendalikan kudanya dengan sangat perlahan dan berhati-hati. Setelah menyusuri sepanjang punggungan satu pebukitan kapur, tibalah ia di muka gua yang ditandai dengan deretan beberapa obor tinggi."Hmmm, agaknya Ranajaya sengaja memberi tanda dengan jejeran obor itu, sehingga aku tak kesulitan menemukan gua yang dia maksudkan," ujar Tumanggala pada dirinya sendiri.Dengan tatapan tajam Tumanggala edarkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Tak seorang pun terlihat di sekitaran mulut gua.Tumanggala lantas pentang sepasang telinganya lebar-lebar. Tapi juga tak ada suara-suara mencurigakan yang tertangkap