RANAJAYA dibantu Sudhatu meladeni serangan demi serangan sambil terus ganda tertawa. Sebuah tawa mengejek! Membuat darah Tumanggala semakin mendidih. Serasa hendak muncrat dari ubun-ubun.
Traaangg! Traaangg!
Suara berdentrangan keras sekali lagi terdengar manakala mata pedang Tumanggala menghantam golok lawan. Dua jenis senjata itu berbenturan sebanyak dua kali. Dua percikan bunga api meletup di udara pagi yang menghangat.
Setiap kali pedangnya membentur golok Ranajaya, wajah Tumanggala mengernyit. Tangannya yang memegang gagang pedang terasa ngilu. Pertanda lawan mempunyai tenaga dalam yang tidak dapat dianggap main-main.
Tapi sang wira tamtama Panjalu yang sudah dibakar amarah itu tidak ambil peduli. Kembali tangannya bergerak cepat mengayunkan pedang. Mengantar dua sabetan sekaligus ke muka.
Sringgg! Sringgg!
Diserang begitu rupa, Ranajaya dan Sudhatu hanya menyeringai. Golok besar di tangan mereka kembali digerakkan untuk menangkis sabet
DUA senjata beradu. Heningnya suasana pagi kembali terkoyak oleh suara berdentrangan keras. Percik-percik bunga api muncul dari titik-titik beradunya mata tajam golok besar dan pedang tersebut. Karena baik Tumanggala maupun Ranajaya sama-sama kerahkan tenaga dalam, benturan itu menyebabkan tangan keduanya merasakan kesemutan hebat. Dari pergelangan tangan hingga ke siku. Separuh tangan mereka seolah mati rasa. Tumanggala berdiri tergontai-gontai dengan napas memburu. Rasa geram yang memuncak ia luapkan dengan meludah ke tanah. "Kalian tidak perlu jauh-jauh mati di alun-alun, bajingan tengik! Karena aku, Tumanggala, yang akan memenggal kepala kalian semua di sini sekarang juga!" geram sang wira tamtama membentak. Tumanggala tutup ucapannya dengan satu serangan. Pedang di tangannya kembali berputar-putar sebat. Membuat senjata itu hanya terlihat sebagai sebuah gulungan keperakan memanjang. Ujung tajam pedang mengarah lurus ke dada lawan. "Hiiaaa
USAI berkata begitu, Ranajaya kembali masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Dengan demikian, kembali Tumanggala dikeroyok dua oleh lelaki bercambang bauk lebat itu dan Sudhatu."Dasar pengecut! Beraninya hanya main keroyok," dengus Tumanggala mengejek.Tentu saja Ranajaya dan Sudhatu tak ambil peduli. Lagi pula mereka mengeroyok bukan karena takut kalah. Tapi lebih disebabkan ingin segera menyudahi pertarungan tersebut. Dan selanjutnya menyuguhkan kejutan tambahan bagi Tumanggala.Secara berbarengan kedua lelaki itu meladeni serangan Tumanggala dengan sabetan golok besar. Dua bilah senjata berkelebat cepat, menimbulkan suara berdesing. Lalu berdentrangan keras saat beradu dengan pedang sang prajurit Panjalu."Hiaaaatt!"Sriiinggg! Sriiinggg!Meski kelebatan golok di tangan mereka tampak begitu ganas, namun Ranajaya dan Sudhatu sama sekali tidak berniat menghabisi Tumanggala. Tugas mereka bukan membunuh prajurit itu. Melainkan hanya memb
SAMBIL tutup ucapannya, Ranajaya lepaskan tangan Tumanggala yang tadi dipegang. Gerakan yang dilakukan lelaki bercambang bauk lebat itu begitu kasar. Sehingga tangan Tumanggala terbanting dengan keras.Tapi bukan itu yang kemudian membuat sepasang mata Tumanggala terbelalak lebar. Prajurit Panjalu itu kembali dibuat kaget karena mendengar ucapan Ranajaya barusan.Apa lagi ini? Desis Tumanggala di dalam hati. Wajah sang prajurit menjadi bertambah tegang dan pucat. Seolah darahnya sudah berhenti mengalir."A-apa maksudmu, Ranajaya?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal.Ranajaya tak menanggapi. Lelaki bercambang bauk lebat itu hanya menyeringai sembari bangkit berdiri. Lalu ia memberi isyarat kepala pada kedua temannya untuk segera pergi.Telinga Ranajaya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali di kejauhan. Semakin lama suara tersebut bertambah dekat. Menuju ke arah mereka berada.Benar saja. Begitu ketiga lelaki terse
ALIRAN Bengawan Sigarada berkelok ke timur begitu melintasi wilayah Lodoyong. Menjadi batas alam yang memisahkan bagian barat Panjalu, dengan bagian selatan kerajaan yang membentang di seberang bengawan.Penduduk Kerajaan Panjalu lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Brang Kidul. Gua Lawendra yang disebutkan lelaki jahanam bernama Ranajaya terletak di sana. Maka, ke sanalah Tumanggala menuju siang itu juga.Dari Surawana, sang prajurit harus menempuh jarak sejauh lebih dari empat puluh dua ribu depa (sekitar 78 kilometer). Dengan memacu kudanya sekencang mungkin, Tumanggala akan tiba di gua tersebut dalam waktu paling lama dua kali penanakan nasi.Awalnya niat itu sempat dicegah oleh Wyara. Sahabat Tumanggala yang bergegas datang ke Surawana begitu mendapat laporan warga itu merasa khawatir. Namun tentu saja Tumanggala berkeras, atau isterinya yang bakal jadi korban berikutnya."Aku tidak punya pilihan lain, Wyara. Aku harus mendatangi gua itu guna me
MENJELANG senja, Tumanggala sudah memasuki wilayah Lawadan di kawasan Brang Kidul. Gua Lawendra terletak tidak terlalu jauh dari tempat tersebut.Namun selepas melewati Lawadan medan perjalanan berubah menanjak dan berbatu-batu. Lalu rapatnya rimbunan daun pepohonan membuat sinar matahari tak leluasa menerangi permukaan tanah.Tumanggala terpaksa harus mengendalikan kudanya dengan sangat perlahan dan berhati-hati. Setelah menyusuri sepanjang punggungan satu pebukitan kapur, tibalah ia di muka gua yang ditandai dengan deretan beberapa obor tinggi."Hmmm, agaknya Ranajaya sengaja memberi tanda dengan jejeran obor itu, sehingga aku tak kesulitan menemukan gua yang dia maksudkan," ujar Tumanggala pada dirinya sendiri.Dengan tatapan tajam Tumanggala edarkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Tak seorang pun terlihat di sekitaran mulut gua.Tumanggala lantas pentang sepasang telinganya lebar-lebar. Tapi juga tak ada suara-suara mencurigakan yang tertangkap
AKIBAT tendangan itu Tumanggala bergulingan sejauh beberapa langkah. Baru berhenti setelah punggungnya menghantam satu batu besar. Sang prajurit merasakan punggungnya yang terkena tendangan lawan sakit bukan main. Seolah dihantam dua balok kayu secara bersamaan. Sementara dadanya seketika menjadi sesak. Wajah Tumanggala seketika mengernyit kesakitan. Napasnya tersengal-sengal seolah mau putus. Namun semangatnya kembali bangkit begitu mendengar suara pekikan ngeri seorang perempuan. Suara isterinya! Cepat-cepat sang prajurit Panjalu bangkit berdiri. Meski sambil terus pegangi dadanya yang sangat sesak. Batu besar di mana dirinya terantuk dan berhenti bergulingan ternyata adalah tempat di mana isterinya terbaring tanpa daya. "Kakang Tumanggala?!" seru perempuan tersebut dengan suara lemah. Air muka di wajahnya sangat sulit diartikan. "Maafkan aku, Kakang ..." "Ssshhh ...!" tukas Tumanggala, sembari gelengkan kepala kencang-kencang. "Tida
TUMANGGALA merasakan pegangan tangan kedua orang di sebelahnya mengencang. Lalu tubuhnya diseret ke sebuah batu kapur berbentuk kerucut yang berdiri tegak di lantai gua.Seutas tali besar terbuat dari anyaman ijuk lantas direntangkan. Tubuh dan kedua tangan Tumanggala diikat erat di batu menggunakan tali tersebut."Baiklah, pertunjukan kita mulai," ujar Ranajaya setelah melihat dua anak buahnya selesai mengikat.Dalam keadaan terikat kuat, Tumanggala menduga-duga apa yang bakal dilakukan begundal-begundal tersebut. Tatapan matanya terarah pada sang isteri yang terbaring lemah. Tiba-tiba saja satu pikiran buruk terlintas di kepalanya."Oh, tidak!" seru Tumanggala tanpa sadar. Kepalanya digeleng-gelengkan sekeras-keras mungkin, berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk yang tiba-tiba muncul."Tumanggala, aku harap kau senang dengan pertunjukan yang kami suguhkan ini," kata Ranajaya, membuat sang prajurit memusatkan perhatian ke depan.Lagi-lag
MEMUNCAK sudah amarah Tumanggala. Prajurit Panjalu ini tidak dapat menahan diri lagi. Mulutnya keluarkan suara menggeram dahsyat. Tubuhnya bergerak ke depan, menjauh dari batu tinggi tempatnya terikat. Kedua tangan dihentakkan kuat-kuat untuk memutus tali.Pada percobaan pertama usaha tersebut gagal. Tumanggala justru merasakan bagian tubuh dan tangannya yang terikat sakit bukan main. Apalagi luka akibat sabetan golok di dadanya yang masih belum kering. Rasa perihnya sungguh tak terkira.Tapi sang prajurit tak mau ambil peduli. Hanya satu yang ada di kepalanya saat ini: menghabisi Ranajaya dan gerombolannya. Ia bahkan rela mati menyusul isterinya untuk itu."Heeeeeaaaa!"Tumanggala kembali menggembor keras. Sekali lagi badan dan kedua tangannya digerakkan secara bersamaan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan habis-habisan. Tali-temali yang mengikat sang prajurit seketika menegang, sampai akhirnya ....Taasss! Taasss!Beberapa bagian tali putu