"Ah, sudahlah. Aku menyerah. Kamu kenapa sih? Kok jadi beda?" Gracia mengerjap-ngerjap matanya. Matanya perih akibat menahan kedua matanya tetap terbuka tanpa berkedip.Ia menggeser posisi duduknya ke belakang, menyenderkan kepala ke atas sofa."Kalau bicara dengan atasan bisa sopan nggak?" Nicho masih menggunakan intonasi tegas."Kenapa sih? Kan kita teman juga!""Bu Gracia!"Gracia menegakkan kembali posisi kepalanya. Segera duduk dalam kondisi tegak."Sudah saya katakan kepada kamu dari awal, bahwa di kantor, kita hanyalah sebatas atasan dan bawahan. Apalagi tadi kamu mau menyela kan? Tidak sopan!""Aku bukannya tidak sopan. Hanya saja aku masih belum terbiasa dengan hubungan atasan dan karyawan. Itu saja,""Oke, sebaiknya saya harus menggunakan kalimat informal saja supaya Bu Gracia bisa lebih mengerti,""Silakan. Tidak ada yang melarangmu,""Saya mau bertanya mengenai omongan kamu tentang menjelekkan Ananta, maksud kamu apa?""Memang kenyataannya benar kok. Kan dia nggak naik-nai
Pukul 16:05. Ananta masih terus menatap komputer tercintanya. Idenya kali ini berjalan cukup lancar."Ana, cepat kamu ke ruang editor. Bu Lina telepon, katanya perlu kamu disana," seorang teman penulis yang duduk dekat telepon berseru dari jauh."Tumben telepon. Kenapa dia nggak kirim pesan? Oh, pasti kuota habis dan kode keamanan internet kantor ia lupakan. " Terima kasih ya!" lanjutnya pada sesama temannya."Ini kerjaan lagi banyak. Bu Lina kenapa telepon sih? Atau mungkin sekarang waktunya tunjukin ke semuanya," Ananta bergumam.Saat ia masuk ke ruang editor, ia menemukan Bu Lina sedang duduk di meja Gracia. Kini meja Gracia memang tidak ada yang menempati, dimulai dari Gracia pindah jabatan menjadi sekretaris Nicho sampai sekarang."Bu Lina, ada apa?""Ini loh. Artikel ini sudah direvisi beberapa kali oleh anak editor. Tapi masih saja ditolak oleh Bu Pramita. Gimana ini?"Beberapa karyawan editor mulai melirik satu sama lain. Bahkan Bu Lina dan Ananta tidak lupa dijadikan sasaran
Ananta pulang dari kedai pukul 20:15. "Aku pulang!""Malam sekali pulangnya. Udah makan belum?""Belum, Ma." Ananta menyeka kakinya di keset kaki berwarna coklat. Tertulis di keset, Hi..Look at me. I'm fly..friend. Ia celingak-celinguk memandang ke sekeliling ruangan. Lalu, ia melihat ke arah luar. Motor Papa tak ditemukannya. "Papa lagi nggak di rumah?""Iya. Kumpul sama kawannya,""Hujan-hujan gini?" Setelah kakinya sudah kering. Ia masuk ke dalam rumah. Duduk di sofa ruang tamu. Dirinya membutuhkan istirahat sejenak."Sudah dari tadi sore. Biasa, kalau kumpul sama kawan pasti lupa waktu. Eh, kamu tumben nggak makan di kedai Stanley? Kan biasa kamu ditawarin makan disana,""Nggak ah, ma. Pas sampai di sana aja, belum juga aku tarik napas untuk kesekian kalinya, Stanley sudah menodongku dengan pergi liburan ke Singkawang. Nginap lagi! Mama kan tahu aku nggak mau,""Ya, iya dong. Papa Mama pasti nggak izinin juga. Tapi Stanley ngajak itu maksudnya pergi berdua?""Nggak sih. Sama pegaw
Jakarta. Pukul 07:30.Nicho baru saja selesai lari pagi menyusuri taman hotel. Seseorang meneleponnya."Pak, maaf pak. Tapi bapak perlu cepat kesini!""Baiklah. Si Jefri mana? Saya ingin ngobrol sama dia. Penting,""Halo, Nicho! Kalau ada masalah aja, baru lo bisa dihubungin. Kenapa sih lo lama banget sampai ke Jakarta. Bukannya lo bilang perusahaan Pramita udah baik-baik aja?" Jefri langsung memberi sapaan yang panjang lebar."Iya. Panjang ceritanya. Tapi seharusnya saya marah sama kamu, kenapa perusahaan bisa ada masalah dengan klien? Apakah keahlianmu berkurang?""Ya, nggak lah bro! Cuman ini nih perusahaan entah kenapa nolak proposal gue mulu. Padahal gue udah minta tim kita nih beberapa revisi sampai hampir semua keuntungan udah gue kasih ke klien baru ini. Aduh, pokoknya panjang banget deh! Mending lo cepetan kesini. Kita ngopi dulu seperti biasa. Eh, lo ngeteh, gue ngopi maksudnya,""Iya. Iya. Tapi sepertinya saya nggak bisa kalau sekarang. Saya masih ada perlu. Kamu kirim prop
Tut.Jaringan komunikasi berakhir."Map biru dan flashdisk," Ananta mengulang kembali perkataan Nicho. Ia mengambilnya dari laci yang dimaksud oleh Nicho. "Eh, flashdisk kenapa malah jatuh sih?" Flashdisk-nya tergelincir dari tangannya. Masuk kembali ke dalam laci, meluncur halus di celah-celah map dan barang lainnya.Ananta memutuskan berjongkok. Ia memasukkan tangannya ke celah-celah itu. "Aduh, mana ya? Ini sih lama-lama tanganku yang bisa tenggelam. Pak Nicho, maaf ya. Barangnya aku keluarkan dulu. Nanti aku masukkan ke dalam laci ya,"Ia mengeluarkan barang demi barang. Kegiatannya terhenti saat ia melihat sebuah kertas yang telah diremas. "Ini apa ya?" Ia penasaran. Ia mulai membukanya. Lalu melemparnya kemudian. "Jangan, Ana. Ini punya orang!""Eh, apa ini?" Aini tiba-tiba datang. Melihat Ananta yang masih berjongkok. Perhatian utamanya tertuju pada remasan kertas yang baru aja dilempar oleh Ananta. Ia mengambilnya."Ini tadi punyaku!" Ananta berdiri, langsung merebutnya dari A
Pontianak. 9 tahun yang lalu."Hei, Eric mana sih? Lama amat?" Gracia menyeletuk tanda tak sabar.Ia dan Nicho sudah menunggu di depan sekolah dari satu jam yang lalu. "Sabar. Tadi dia masih dipanggil guru,""Buat ulah apalagi sih dia?""Ulah ngehajar orang yang ganggu kamu kemarin,""Apa? Richard maksudnya?""Iya dan teman-temannya juga sih,""Parah. Kenapa sih anak itu? Kemarin kan kalian udah labrak Richard. Habis itu dia nggak berani ganggu aku lagi kok,""Ya iya. Tapi sebenarnya beberapa hari yang lalu, Eric ada melihat mereka ngomongin kamu. Bilang kamu itu sebenarnya nggak cantik-cantik amat. Lalu malah kegeeran karena dideketin. Padahal dideketin cuman untuk iseng aja. Malah datangin 2 orang pria cupu buat nantangin dia,""Apa? Kapan? Kok kamu baru ngomong sekarang? Eric juga nggak ngomong apa-apa,""Anak itu sejak kapan kalau berantem pakai acara ngomong segala. Ini aja aku baru tahu dari kelas sebelah,""Aku ke ruang guru deh!" Gracia membalikkan badan."Jangan. Nanti kamu
Seperti kemarin pagi, Nicho kembali berolahraga. Ia berlari mengitari taman hotel. Dengan menggunakan celana boxer, kaos tak berlengan, dan topi semakin menambah perhatian orang-orang. Otot bisepnya nampak mengkilat saat mentari menempa lengannya yang berkeringat."Hei, bro!" Jefri memanggil dari jauh. Nicho berhenti berlari. Membalas dengan senyuman."Ooh!" Beberapa wanita yang ada di sekitar sana berkomentar kompak. Bagi Nicho ini sudah biasa baginya."Lo menyilaukan mata gue. Ngapain sih pagi-pagi udah tebar pesona aja," Jefri berlari kecil. Ia datang mendekat."Tebar pesona apa? Ini namanya jaga kesehatan. Perut kamu tuh lihatin, lingkarannya udah tambah berapa sentimeter itu?""Malah bahas perut gue. Yang penting sejahtera, bos. Ada pepatah bilang, perut senang hati senang,""Iya, iya. Tapi tumben kamu kesini? Kenapa?""Nggak muluk. Mau nyapa calon istri bos gue aja kok,""Apaan sih?""Gue lihat kali kemarin pas lo ngantarin dia sampai pintu kamarnya,""Apa? Tunggu-tunggu. Kok bi
"Aku yakin Om yang terlalu kaku ke mereka. Coba Om diam,"Pak Marwan diam. Ia tak jadi membuka mulutnya."Iya benar. Kalau mereka belum kenal Om mereka akan menganggap Om itu jahat. Saat Om diam saja, raut muka Om terlihat seram,""Segitunya?""Iya,"Drrt.Pesan dari Nicho.(Kamu dimana? Saya sudah selesai. Waktunya jalan?)(Aku ada di taman. Ada kenalan Papa disini. Kamu kesini aja. Dia adalah orang penting loh. Aku yakin kamu akan berterima kasih padaku setelah ini.)(Oh ya, kita lihat nanti. Memangnya aku bisa setakjub apa sih?)(Setakjub-takjubnya sampai kamu akan mentraktirku belanja.)Nicho tersenyum setelah membaca balasan dari Gracia."Ehem..kayaknya ada yang lagi kasmaran nih. Pantesan bunga pada mekar," Jefri menyinggung."Apaan sih? Ini Gracia bilang kalau dia sedang bersama seseorang. Dia mau kenalkan aku ke beliau. Katanya saya akan berterima kasih sekali setelah dikenalkan,""Siapa sih? Gue jadi ikut penasaran. Gue boleh ikut kan? Atau setidaknya gue pantau dari jauh deh