Jakarta. Pukul 07:30.Nicho baru saja selesai lari pagi menyusuri taman hotel. Seseorang meneleponnya."Pak, maaf pak. Tapi bapak perlu cepat kesini!""Baiklah. Si Jefri mana? Saya ingin ngobrol sama dia. Penting,""Halo, Nicho! Kalau ada masalah aja, baru lo bisa dihubungin. Kenapa sih lo lama banget sampai ke Jakarta. Bukannya lo bilang perusahaan Pramita udah baik-baik aja?" Jefri langsung memberi sapaan yang panjang lebar."Iya. Panjang ceritanya. Tapi seharusnya saya marah sama kamu, kenapa perusahaan bisa ada masalah dengan klien? Apakah keahlianmu berkurang?""Ya, nggak lah bro! Cuman ini nih perusahaan entah kenapa nolak proposal gue mulu. Padahal gue udah minta tim kita nih beberapa revisi sampai hampir semua keuntungan udah gue kasih ke klien baru ini. Aduh, pokoknya panjang banget deh! Mending lo cepetan kesini. Kita ngopi dulu seperti biasa. Eh, lo ngeteh, gue ngopi maksudnya,""Iya. Iya. Tapi sepertinya saya nggak bisa kalau sekarang. Saya masih ada perlu. Kamu kirim prop
Tut.Jaringan komunikasi berakhir."Map biru dan flashdisk," Ananta mengulang kembali perkataan Nicho. Ia mengambilnya dari laci yang dimaksud oleh Nicho. "Eh, flashdisk kenapa malah jatuh sih?" Flashdisk-nya tergelincir dari tangannya. Masuk kembali ke dalam laci, meluncur halus di celah-celah map dan barang lainnya.Ananta memutuskan berjongkok. Ia memasukkan tangannya ke celah-celah itu. "Aduh, mana ya? Ini sih lama-lama tanganku yang bisa tenggelam. Pak Nicho, maaf ya. Barangnya aku keluarkan dulu. Nanti aku masukkan ke dalam laci ya,"Ia mengeluarkan barang demi barang. Kegiatannya terhenti saat ia melihat sebuah kertas yang telah diremas. "Ini apa ya?" Ia penasaran. Ia mulai membukanya. Lalu melemparnya kemudian. "Jangan, Ana. Ini punya orang!""Eh, apa ini?" Aini tiba-tiba datang. Melihat Ananta yang masih berjongkok. Perhatian utamanya tertuju pada remasan kertas yang baru aja dilempar oleh Ananta. Ia mengambilnya."Ini tadi punyaku!" Ananta berdiri, langsung merebutnya dari A
Pontianak. 9 tahun yang lalu."Hei, Eric mana sih? Lama amat?" Gracia menyeletuk tanda tak sabar.Ia dan Nicho sudah menunggu di depan sekolah dari satu jam yang lalu. "Sabar. Tadi dia masih dipanggil guru,""Buat ulah apalagi sih dia?""Ulah ngehajar orang yang ganggu kamu kemarin,""Apa? Richard maksudnya?""Iya dan teman-temannya juga sih,""Parah. Kenapa sih anak itu? Kemarin kan kalian udah labrak Richard. Habis itu dia nggak berani ganggu aku lagi kok,""Ya iya. Tapi sebenarnya beberapa hari yang lalu, Eric ada melihat mereka ngomongin kamu. Bilang kamu itu sebenarnya nggak cantik-cantik amat. Lalu malah kegeeran karena dideketin. Padahal dideketin cuman untuk iseng aja. Malah datangin 2 orang pria cupu buat nantangin dia,""Apa? Kapan? Kok kamu baru ngomong sekarang? Eric juga nggak ngomong apa-apa,""Anak itu sejak kapan kalau berantem pakai acara ngomong segala. Ini aja aku baru tahu dari kelas sebelah,""Aku ke ruang guru deh!" Gracia membalikkan badan."Jangan. Nanti kamu
Seperti kemarin pagi, Nicho kembali berolahraga. Ia berlari mengitari taman hotel. Dengan menggunakan celana boxer, kaos tak berlengan, dan topi semakin menambah perhatian orang-orang. Otot bisepnya nampak mengkilat saat mentari menempa lengannya yang berkeringat."Hei, bro!" Jefri memanggil dari jauh. Nicho berhenti berlari. Membalas dengan senyuman."Ooh!" Beberapa wanita yang ada di sekitar sana berkomentar kompak. Bagi Nicho ini sudah biasa baginya."Lo menyilaukan mata gue. Ngapain sih pagi-pagi udah tebar pesona aja," Jefri berlari kecil. Ia datang mendekat."Tebar pesona apa? Ini namanya jaga kesehatan. Perut kamu tuh lihatin, lingkarannya udah tambah berapa sentimeter itu?""Malah bahas perut gue. Yang penting sejahtera, bos. Ada pepatah bilang, perut senang hati senang,""Iya, iya. Tapi tumben kamu kesini? Kenapa?""Nggak muluk. Mau nyapa calon istri bos gue aja kok,""Apaan sih?""Gue lihat kali kemarin pas lo ngantarin dia sampai pintu kamarnya,""Apa? Tunggu-tunggu. Kok bi
"Aku yakin Om yang terlalu kaku ke mereka. Coba Om diam,"Pak Marwan diam. Ia tak jadi membuka mulutnya."Iya benar. Kalau mereka belum kenal Om mereka akan menganggap Om itu jahat. Saat Om diam saja, raut muka Om terlihat seram,""Segitunya?""Iya,"Drrt.Pesan dari Nicho.(Kamu dimana? Saya sudah selesai. Waktunya jalan?)(Aku ada di taman. Ada kenalan Papa disini. Kamu kesini aja. Dia adalah orang penting loh. Aku yakin kamu akan berterima kasih padaku setelah ini.)(Oh ya, kita lihat nanti. Memangnya aku bisa setakjub apa sih?)(Setakjub-takjubnya sampai kamu akan mentraktirku belanja.)Nicho tersenyum setelah membaca balasan dari Gracia."Ehem..kayaknya ada yang lagi kasmaran nih. Pantesan bunga pada mekar," Jefri menyinggung."Apaan sih? Ini Gracia bilang kalau dia sedang bersama seseorang. Dia mau kenalkan aku ke beliau. Katanya saya akan berterima kasih sekali setelah dikenalkan,""Siapa sih? Gue jadi ikut penasaran. Gue boleh ikut kan? Atau setidaknya gue pantau dari jauh deh
"Jelaskan kepada aku sekarang, aku nggak mau Jefri yang jelaskan. Nicho yang jelasin ke aku. Titik," Gracia tetap kekeh."Saya ke kantor aja belum, Gracia,""Kamu sih nunda-nunda mulu kemarin," Gracia protes."Bukannya kemarin ada yang nagih jalan-jalan? Kalau nggak, saya sudah tahu masalah ini secara keseluruhan,""Jadi, kamu salahin saya nih?""Yah, kalau dibilang iya, artinya realita, tapi jika saya bilang bukan, artinya ekspektasi,""Ish. Sekarang Jefri deh yang jelasin ke aku. Ada apa sebenarnya? Mengapa Om Marwan kurang suka pada kalian?"Jefri melirik Nicho. Meminta izin apakah boleh dibicarakan saat ini, di meja makan.Nicho mengangguk, bilang aja."Eits, bentar. Kan makanan udah pada habis. Sekarang tenggorokan kering, beli minum aja yuk!," komentar Gracia."Pesan lagi aja," komentar Nicho."Nggak. Jangan disini. Minuman disini biasa aja,"Nicho kali ini malas berkomentar. Lagi-lagi Gracia memberikan kode."Aku tahu tempat minum yang enak. Ada makanan ringan juga disana. Past
"Pak Nicho, maaf. Keuntungan 60% sudah kami cantumkan di proposal pertama, tetapi Pak Marwan tetap saja menolak," Jefri memberikan ulasan atas pernyataan Nicho."Apa kamu yakin, beliau benar-benar menolak? Atau beliau hanya sekedar bertanya?""Kami rasa itu bukanlah hanyalah sebuah pertanyaan,""Pak Jefri dan untuk yang lainnya, bekerja memang berawal dari hati, tetapi pekerjaan tidak hanya mengandalkan perasaan. Ubah jadi 60%,""Baik, pak,""Lanjut!""Kerjasama akan melibatkan kedua belah pihak dalam hal penulisan buku. Dari masing-masing pihak akan memilih satu penulis dan satu editor terbaik. Mereka harus berkolaborasi dalam pembuatan cerita fiksi maupun non fiksi dengan percobaan menerbitkan satu buku,""Saya tidak setuju. Pak Jefri silakan catat. Kerjasama seharusnya adalah menggandeng beberapa penulis dan editor dari kedua belah perusahaan. Lalu berkontribusi untuk menerbitkan buku secara signifikan. Jika, mengalami kenaikan pasar, maka akan ada kontrak selanjutnya. Begitu juga
Ananta mengajak Stanley untuk mengobrol di kafetaria. Perusahaan Pramita membebaskan para karyawan untuk makan, mandi, bahkan tidur kapan saja. Bebas. Intinya pekerjaan selesai tepat waktu."Aku mau minta maaf karena aku egois. Aku seharusnya tidak memaksamu untuk ikut jika nggak mau. Aku terlalu egois ya?""Nggak apa-apa. Toh aku juga biasa egois kan? Kamu lelah akan sikap aku kan? Bahkan kadang aku bingung akan sikap aku sendiri,""Iya juga ya," Stanley menaikkan pelan-pelan kepalanya. Mulai berani menatap mata Ananta. Senyum manis gigi susu tampil indah dari balik wajahnya."Kenapa senyum-senyum?""Yah, senyum dong. Kan kamu maafin aku,""Siapa bilang?""Tadi barusan kamu bilang nggak apa-apa, iya kan?""Iya. Tapi aku nggak bilang kalau aku maafin kan?""Yah, hmm....""Ley,mengucapkan maaf memang gampang. Tetapi ibarat luka jika diobati, apakah bisa pulih kembali tanpa meninggalkan bekas?""Nggak bisa. Maaf,""Iya. Aku maafkan, tapi aku sudah terima permintaan maaf dari kamu berapa