Malam ini nampak cerah. Bintang di langit juga enggan menyembunyikan dirinya. Mungkin awan sedang malas untuk membantu mereka bersembunyi.Kedai Koopi ramai seperti biasa. Hilir mudik konsumen terpantau ramai lancar. Cielah...kenapa malah seperti laporan lalu lintas."Benar juga ya. Aku sepertinya harus merasa beruntung berteman denganmu karena aku punya teman yang kaya,""Kok malah sepertinya?""Iya, sepertinya beruntung tapi karena ada kandungan sifat cerewet dan bawelnya. Apalagi suka curhat sana-sini. Itu yang menjadi kekurangannya,""Semua orang berhak punya kekurangan kali,""Iya. Ampun bos.""Lalu, kenapa kamu selalu saja sendiri disini. Aku nggak pernah lihat pacarmu ada disini?""Memangnya kalau pacar aku kesini, harus absen sama kamu gitu?"Stanley meneruskan memeriksa laporan keuangan kedainya. Tidak ada yang buruk. Hanya pendapatan yang berkurang dari bulan sebelumnya.Ia mendesah sekali, agak kuat."Kenapa? Terbukti omongan aku benar? Dia nggak pernah kesini?""Pernah kok
Suasana senyap di ruang dapur. Papa Ananta masih berdiri di pintu dapur. Ananta nggak berani mengirim pesan ke Stanley lagi.Dirinya pun tak bicara. Hanya terdengar sendok dan piring yang saling beradu."Loh, Papa kebangun ya?" Mama malah ikutan Papa ke dapur."Iya nih. Anakmu ini. Cemberut terus mukanya,""Habis pulang capek kali, Pa! Sekarang aja udah jam berapa? Udah jam 9 malam dan dia baru makan loh,""Makan sih makan, tapi sambil main HP,""Yah, nggak apa-apa toh, Pak. Namanya juga anak muda. Udah kembali tidur sana. Katanya mau ke toilet malah ke dapur,"Papa memilih untuk mengalah. Papa pergi ke toilet."Ana, habis ini jangan lupa masukkan lauk ke lemari. Lalu piring bekas makan, dicuci dan lap meja ya. Mama sudah capek banget. Jadi, mau lanjut tidur lagi,""Iya, ma. Siap. Ini juga sudah mau selesai. Nanti Ana bersihin semuanya biar nggak ada semut atau cicak yang ambil kesempatan,""Bisa aja kamu." Ibu Ananta berbalik lalu berjalan lurus ke kamarnya."Hmmm...Papa datang-datan
"Selamat pagi pak! Saya Ananta." Ia mengucap salam dan tersenyum.Duduk di sofa seberang pria besar itu."Saya tidak suka basa-basi. Saya langsung aja. Saya dari Majalah Saya Tahu! Saya dengar kalau penerbitan ini akan membuat toko buku eksklusif. Jadi, kami ingin menawarkan majalah kami untuk disediakan tempat khusus di toko Anda nanti,""Sebelumnya mohon maaf pak. Apa bapak ada membawa majalah bapak yang sudah terbit. Mungkin satu dua edisi cukup untuk menjadi bahan referensi kami,""Saya akan mengirimkannya via surel. Tolong tuliskan alamat surel Anda dan akan saya kirimkan,""Baik, pak." Ananta mengambil kartu nama dari saku bajunya. "Ini kontak saya dan alamat surel saya pak. Bapak bisa langsung kirimkan kesana,"Pria itu menyambut kartu nama Ananta."Ananta Rosalina. Penulis junior?" Ia membaca kartu nama Ananta dengan lantang."Iya pak. Itu nama dan jabatan saya.""Saya kira kamu adalah penulis senior. Siapa penulis senior disini? Saya
"Saya belum pantas jadi penulis senior, pak!""Memangnya kamu mau terus-terusan jadi penulis junior? Nggak mau naik jabatan?""Mau pak. Tapi bagaimana dengan pendapat karyawan lain tentang saya?""Kenapa butuh pendapat yang lain? Saya yang jadi atasan disini, bukan mereka. Saya yang berhak untuk menilai seseorang dibandingkan mereka. Saya juga sangat yakin, Bu Pramita akan setuju sama saya. Walaupun kamu ada kecacatan disini, nama buruk. Kalau pun kamu mau pindah ke perusahaan lain, saran saya kamu pikir-pikir dulu. Pontianak itu sempit. Satu kali gosip saja, menyebarnya bisa kemana-mana,""Iya, pak,""Kamu sudah kerjain yang saya minta?""Sudah pak. Semalam saya sudah taruh ke meja editor,""Baiklah. Satu minggu ke depan kamu juga revisi sesuai versi kamu sendiri. Lalu bawa kesini. Langsung. Kamu mengerti?""Mengerti, pak.""Artikel itu juga bisa menjadi salah satu alasan kamu untuk naik jabatan,""Baik, pak. Terima kasih.""Kalau be
"Ah, sudahlah. Aku menyerah. Kamu kenapa sih? Kok jadi beda?" Gracia mengerjap-ngerjap matanya. Matanya perih akibat menahan kedua matanya tetap terbuka tanpa berkedip.Ia menggeser posisi duduknya ke belakang, menyenderkan kepala ke atas sofa."Kalau bicara dengan atasan bisa sopan nggak?" Nicho masih menggunakan intonasi tegas."Kenapa sih? Kan kita teman juga!""Bu Gracia!"Gracia menegakkan kembali posisi kepalanya. Segera duduk dalam kondisi tegak."Sudah saya katakan kepada kamu dari awal, bahwa di kantor, kita hanyalah sebatas atasan dan bawahan. Apalagi tadi kamu mau menyela kan? Tidak sopan!""Aku bukannya tidak sopan. Hanya saja aku masih belum terbiasa dengan hubungan atasan dan karyawan. Itu saja,""Oke, sebaiknya saya harus menggunakan kalimat informal saja supaya Bu Gracia bisa lebih mengerti,""Silakan. Tidak ada yang melarangmu,""Saya mau bertanya mengenai omongan kamu tentang menjelekkan Ananta, maksud kamu apa?""Memang kenyataannya benar kok. Kan dia nggak naik-nai
Pukul 16:05. Ananta masih terus menatap komputer tercintanya. Idenya kali ini berjalan cukup lancar."Ana, cepat kamu ke ruang editor. Bu Lina telepon, katanya perlu kamu disana," seorang teman penulis yang duduk dekat telepon berseru dari jauh."Tumben telepon. Kenapa dia nggak kirim pesan? Oh, pasti kuota habis dan kode keamanan internet kantor ia lupakan. " Terima kasih ya!" lanjutnya pada sesama temannya."Ini kerjaan lagi banyak. Bu Lina kenapa telepon sih? Atau mungkin sekarang waktunya tunjukin ke semuanya," Ananta bergumam.Saat ia masuk ke ruang editor, ia menemukan Bu Lina sedang duduk di meja Gracia. Kini meja Gracia memang tidak ada yang menempati, dimulai dari Gracia pindah jabatan menjadi sekretaris Nicho sampai sekarang."Bu Lina, ada apa?""Ini loh. Artikel ini sudah direvisi beberapa kali oleh anak editor. Tapi masih saja ditolak oleh Bu Pramita. Gimana ini?"Beberapa karyawan editor mulai melirik satu sama lain. Bahkan Bu Lina dan Ananta tidak lupa dijadikan sasaran
Ananta pulang dari kedai pukul 20:15. "Aku pulang!""Malam sekali pulangnya. Udah makan belum?""Belum, Ma." Ananta menyeka kakinya di keset kaki berwarna coklat. Tertulis di keset, Hi..Look at me. I'm fly..friend. Ia celingak-celinguk memandang ke sekeliling ruangan. Lalu, ia melihat ke arah luar. Motor Papa tak ditemukannya. "Papa lagi nggak di rumah?""Iya. Kumpul sama kawannya,""Hujan-hujan gini?" Setelah kakinya sudah kering. Ia masuk ke dalam rumah. Duduk di sofa ruang tamu. Dirinya membutuhkan istirahat sejenak."Sudah dari tadi sore. Biasa, kalau kumpul sama kawan pasti lupa waktu. Eh, kamu tumben nggak makan di kedai Stanley? Kan biasa kamu ditawarin makan disana,""Nggak ah, ma. Pas sampai di sana aja, belum juga aku tarik napas untuk kesekian kalinya, Stanley sudah menodongku dengan pergi liburan ke Singkawang. Nginap lagi! Mama kan tahu aku nggak mau,""Ya, iya dong. Papa Mama pasti nggak izinin juga. Tapi Stanley ngajak itu maksudnya pergi berdua?""Nggak sih. Sama pegaw
Jakarta. Pukul 07:30.Nicho baru saja selesai lari pagi menyusuri taman hotel. Seseorang meneleponnya."Pak, maaf pak. Tapi bapak perlu cepat kesini!""Baiklah. Si Jefri mana? Saya ingin ngobrol sama dia. Penting,""Halo, Nicho! Kalau ada masalah aja, baru lo bisa dihubungin. Kenapa sih lo lama banget sampai ke Jakarta. Bukannya lo bilang perusahaan Pramita udah baik-baik aja?" Jefri langsung memberi sapaan yang panjang lebar."Iya. Panjang ceritanya. Tapi seharusnya saya marah sama kamu, kenapa perusahaan bisa ada masalah dengan klien? Apakah keahlianmu berkurang?""Ya, nggak lah bro! Cuman ini nih perusahaan entah kenapa nolak proposal gue mulu. Padahal gue udah minta tim kita nih beberapa revisi sampai hampir semua keuntungan udah gue kasih ke klien baru ini. Aduh, pokoknya panjang banget deh! Mending lo cepetan kesini. Kita ngopi dulu seperti biasa. Eh, lo ngeteh, gue ngopi maksudnya,""Iya. Iya. Tapi sepertinya saya nggak bisa kalau sekarang. Saya masih ada perlu. Kamu kirim prop
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b