"Hei, kalau mau di tempat lain. Mahal. Mesti bayar orang. Kalau ada yang gratis dan ada yang cantik disini. Kenapa nggak?""Iih. Kamu kan orang kaya. Tinggal beli baru dan nggak usah begini," Gracia melempar celana Nicho yang digenggamnya dari tadi."Eh, kok malah main lempar-lempar sih? Celana ini mahal tahu,""Bodoh! Kan situ banyak uang!""Astaga, ayo cepetan. Kamu sudah memulainya, kamu juga yang harus menyelesaikannya,""Iya-iya. Sini. Mana celananya,""Kan gini bagus,""Au..Arrgh," Gracia memekik cukup keras."Kenapa?""Ketusuk ini,""Udah sini-sini. Pelan-pelan dong!"***"Akhirnya ini selesai juga. Aku sekarang ke meja editor aja kali ya. Mana tahu aku bisa ngobrol lebih dalam dengan Gracia,"Ananta melepaskan earphone-nya. Membawa flashdisk yang sudah diisi oleh dokumen artikel."Eh, kok Gracia nggak ada?"Kantor Gracia benar-benar sepi. Lampu memang terang, tapi nggak ada seorang pun disini."Mungkin di meja sekretaris!"Ananta berjalan menuju ke ruangan Nicho."Arrgh! Pelan
Malam ini nampak cerah. Bintang di langit juga enggan menyembunyikan dirinya. Mungkin awan sedang malas untuk membantu mereka bersembunyi.Kedai Koopi ramai seperti biasa. Hilir mudik konsumen terpantau ramai lancar. Cielah...kenapa malah seperti laporan lalu lintas."Benar juga ya. Aku sepertinya harus merasa beruntung berteman denganmu karena aku punya teman yang kaya,""Kok malah sepertinya?""Iya, sepertinya beruntung tapi karena ada kandungan sifat cerewet dan bawelnya. Apalagi suka curhat sana-sini. Itu yang menjadi kekurangannya,""Semua orang berhak punya kekurangan kali,""Iya. Ampun bos.""Lalu, kenapa kamu selalu saja sendiri disini. Aku nggak pernah lihat pacarmu ada disini?""Memangnya kalau pacar aku kesini, harus absen sama kamu gitu?"Stanley meneruskan memeriksa laporan keuangan kedainya. Tidak ada yang buruk. Hanya pendapatan yang berkurang dari bulan sebelumnya.Ia mendesah sekali, agak kuat."Kenapa? Terbukti omongan aku benar? Dia nggak pernah kesini?""Pernah kok
Suasana senyap di ruang dapur. Papa Ananta masih berdiri di pintu dapur. Ananta nggak berani mengirim pesan ke Stanley lagi.Dirinya pun tak bicara. Hanya terdengar sendok dan piring yang saling beradu."Loh, Papa kebangun ya?" Mama malah ikutan Papa ke dapur."Iya nih. Anakmu ini. Cemberut terus mukanya,""Habis pulang capek kali, Pa! Sekarang aja udah jam berapa? Udah jam 9 malam dan dia baru makan loh,""Makan sih makan, tapi sambil main HP,""Yah, nggak apa-apa toh, Pak. Namanya juga anak muda. Udah kembali tidur sana. Katanya mau ke toilet malah ke dapur,"Papa memilih untuk mengalah. Papa pergi ke toilet."Ana, habis ini jangan lupa masukkan lauk ke lemari. Lalu piring bekas makan, dicuci dan lap meja ya. Mama sudah capek banget. Jadi, mau lanjut tidur lagi,""Iya, ma. Siap. Ini juga sudah mau selesai. Nanti Ana bersihin semuanya biar nggak ada semut atau cicak yang ambil kesempatan,""Bisa aja kamu." Ibu Ananta berbalik lalu berjalan lurus ke kamarnya."Hmmm...Papa datang-datan
"Selamat pagi pak! Saya Ananta." Ia mengucap salam dan tersenyum.Duduk di sofa seberang pria besar itu."Saya tidak suka basa-basi. Saya langsung aja. Saya dari Majalah Saya Tahu! Saya dengar kalau penerbitan ini akan membuat toko buku eksklusif. Jadi, kami ingin menawarkan majalah kami untuk disediakan tempat khusus di toko Anda nanti,""Sebelumnya mohon maaf pak. Apa bapak ada membawa majalah bapak yang sudah terbit. Mungkin satu dua edisi cukup untuk menjadi bahan referensi kami,""Saya akan mengirimkannya via surel. Tolong tuliskan alamat surel Anda dan akan saya kirimkan,""Baik, pak." Ananta mengambil kartu nama dari saku bajunya. "Ini kontak saya dan alamat surel saya pak. Bapak bisa langsung kirimkan kesana,"Pria itu menyambut kartu nama Ananta."Ananta Rosalina. Penulis junior?" Ia membaca kartu nama Ananta dengan lantang."Iya pak. Itu nama dan jabatan saya.""Saya kira kamu adalah penulis senior. Siapa penulis senior disini? Saya
"Saya belum pantas jadi penulis senior, pak!""Memangnya kamu mau terus-terusan jadi penulis junior? Nggak mau naik jabatan?""Mau pak. Tapi bagaimana dengan pendapat karyawan lain tentang saya?""Kenapa butuh pendapat yang lain? Saya yang jadi atasan disini, bukan mereka. Saya yang berhak untuk menilai seseorang dibandingkan mereka. Saya juga sangat yakin, Bu Pramita akan setuju sama saya. Walaupun kamu ada kecacatan disini, nama buruk. Kalau pun kamu mau pindah ke perusahaan lain, saran saya kamu pikir-pikir dulu. Pontianak itu sempit. Satu kali gosip saja, menyebarnya bisa kemana-mana,""Iya, pak,""Kamu sudah kerjain yang saya minta?""Sudah pak. Semalam saya sudah taruh ke meja editor,""Baiklah. Satu minggu ke depan kamu juga revisi sesuai versi kamu sendiri. Lalu bawa kesini. Langsung. Kamu mengerti?""Mengerti, pak.""Artikel itu juga bisa menjadi salah satu alasan kamu untuk naik jabatan,""Baik, pak. Terima kasih.""Kalau be
"Ah, sudahlah. Aku menyerah. Kamu kenapa sih? Kok jadi beda?" Gracia mengerjap-ngerjap matanya. Matanya perih akibat menahan kedua matanya tetap terbuka tanpa berkedip.Ia menggeser posisi duduknya ke belakang, menyenderkan kepala ke atas sofa."Kalau bicara dengan atasan bisa sopan nggak?" Nicho masih menggunakan intonasi tegas."Kenapa sih? Kan kita teman juga!""Bu Gracia!"Gracia menegakkan kembali posisi kepalanya. Segera duduk dalam kondisi tegak."Sudah saya katakan kepada kamu dari awal, bahwa di kantor, kita hanyalah sebatas atasan dan bawahan. Apalagi tadi kamu mau menyela kan? Tidak sopan!""Aku bukannya tidak sopan. Hanya saja aku masih belum terbiasa dengan hubungan atasan dan karyawan. Itu saja,""Oke, sebaiknya saya harus menggunakan kalimat informal saja supaya Bu Gracia bisa lebih mengerti,""Silakan. Tidak ada yang melarangmu,""Saya mau bertanya mengenai omongan kamu tentang menjelekkan Ananta, maksud kamu apa?""Memang kenyataannya benar kok. Kan dia nggak naik-nai
Pukul 16:05. Ananta masih terus menatap komputer tercintanya. Idenya kali ini berjalan cukup lancar."Ana, cepat kamu ke ruang editor. Bu Lina telepon, katanya perlu kamu disana," seorang teman penulis yang duduk dekat telepon berseru dari jauh."Tumben telepon. Kenapa dia nggak kirim pesan? Oh, pasti kuota habis dan kode keamanan internet kantor ia lupakan. " Terima kasih ya!" lanjutnya pada sesama temannya."Ini kerjaan lagi banyak. Bu Lina kenapa telepon sih? Atau mungkin sekarang waktunya tunjukin ke semuanya," Ananta bergumam.Saat ia masuk ke ruang editor, ia menemukan Bu Lina sedang duduk di meja Gracia. Kini meja Gracia memang tidak ada yang menempati, dimulai dari Gracia pindah jabatan menjadi sekretaris Nicho sampai sekarang."Bu Lina, ada apa?""Ini loh. Artikel ini sudah direvisi beberapa kali oleh anak editor. Tapi masih saja ditolak oleh Bu Pramita. Gimana ini?"Beberapa karyawan editor mulai melirik satu sama lain. Bahkan Bu Lina dan Ananta tidak lupa dijadikan sasaran
Ananta pulang dari kedai pukul 20:15. "Aku pulang!""Malam sekali pulangnya. Udah makan belum?""Belum, Ma." Ananta menyeka kakinya di keset kaki berwarna coklat. Tertulis di keset, Hi..Look at me. I'm fly..friend. Ia celingak-celinguk memandang ke sekeliling ruangan. Lalu, ia melihat ke arah luar. Motor Papa tak ditemukannya. "Papa lagi nggak di rumah?""Iya. Kumpul sama kawannya,""Hujan-hujan gini?" Setelah kakinya sudah kering. Ia masuk ke dalam rumah. Duduk di sofa ruang tamu. Dirinya membutuhkan istirahat sejenak."Sudah dari tadi sore. Biasa, kalau kumpul sama kawan pasti lupa waktu. Eh, kamu tumben nggak makan di kedai Stanley? Kan biasa kamu ditawarin makan disana,""Nggak ah, ma. Pas sampai di sana aja, belum juga aku tarik napas untuk kesekian kalinya, Stanley sudah menodongku dengan pergi liburan ke Singkawang. Nginap lagi! Mama kan tahu aku nggak mau,""Ya, iya dong. Papa Mama pasti nggak izinin juga. Tapi Stanley ngajak itu maksudnya pergi berdua?""Nggak sih. Sama pegaw