"Hebat juga kamu ternyata," Tanu masuk ke ruang pertemuan saat Sang Penulis telah pergi."Memang semua pekerjaan jangan main hati, tetapi sesekali pendekatan dengan hati juga bagus,""Kamu pasti disukai sama orang kantor ya,""Boro-boro, pak. Dibenci iya,""Masa sih?""Sudah. Aku nggak mau bahas itu lagi. Sebaiknya sekarang aku pulang," Ananta bangkit berdiri. Sambil menurunkan kemeja yang naik saat ia duduk. Menampakkan paha atasnya."Kamu yakin mau pulang dengan pakaian seperti itu?""Yah. Tenang saja aku akan segera mengembalikannya saat pulang nanti," Ia mengambil gawainya dari meja. "Aku minta nomormu dulu,""Oh, jadi ini trik yang kamu pakai untuk mendapatkan nomor pria ganteng?""Pak, Bapak jangan terlalu percaya diri deh. Aku juga sudah punya pacar. Aku minta nomor Bapak supaya aku bisa kembalikan kemeja ini,"Udah punya pacar toh. Malas banget jadinya."Tidak perlu. Kemejanya kamu buang aja. Saya sibuk," Tanu keluar dari ruangan, berjalan cepat ke ruangannya."Lo bisa simpan
"Kenapa sih matamu? Lihat aku segitunya banget!" Ananta protes. Ia hampir akan terjatuh ke belakang saat Tanu tiba-tiba ada di belakangnya. Blam. Pintu mobil ojek daring ditutup dengan keras olehnya."Kau tidak terhipnotis karena ketampananku?"Ananta mengangkat salah satu alisnya. Balas menatapnya."Kau ikut aku. Aku yang akan antar kau pulang," Tanu menarik lengan kiri Ananta. Saat ia teringat sesuatu, ia berhenti. Lalu menurunkan kepalanya, berbicara dengan supir ojek daring. "Pak, nanti Bapak sampai ke tujuan aja. Pesanan ini tidak dibatalkan. Tetapi maaf saya mengambil alih, karena wanita ini berharga bagi saya. Saya harap Bapak mengerti,""Baik, pak!" Si supir menjawab cepat. Dengan cepat juga ia membanti setir ke arah kanan, keluar dari antrian. Lalu, keluar dari lapangan kantor."Pak, Bapak kenapa sih? Lalu kenapa tiba-tiba berbicara informal?" Lagi-lagi Ananta protes. Ia kesal sekali. Pulang ke hotel saja kenapa bisa seribet ini?"Memangnya hanya kau yang boleh bicara informa
Kepulan asap dari alat pemanggang terlihat membumbung ke udara. Sebagian asap itu membelai rambut Ananta. Orang-orang nampak ramai disini.Suara-suara orang bicara pun terdengar saling menimpa satu sama lain sehingga menimbulkan suara yang tumpang tindih. Agak memusingkan memang. Apalagi sekarang beberapa orang sudah mulai menyenggol lengannya.Mereka sedang berada di daerah pecinan. Daerah permukiman masyarakat etnis Tionghoa. Ornamen berwarna mayoritas merah dan kuning juga nampak dimana-mana. Sepanjang jalan dibuka pertokoan dan restoran."Hei, kenapa kau termenung disana? Kau mau dipanggang kayak sate itu juga?" Tanu menghentikan langkahnya saat mendapati Ananta telah berada lima langkah jauh di belakangnya.Ananta tak mendengar pertanyaan Tanu. Sekali lagi ia melihat ke sekitar dan ke arah atas. Beberapa lampion berwarna merah terang terpajang di atas. Lampion itu disambung dengan sebuah tali berwarna merah yang dihubungkan dari satu gedung ke gedung lainny
"Dia dimana?" Ananta langsung menembak dengan perkataannya saat Tanu masuk ke dalam restoran."Haiya, Tanu. Udah lama kau tak main kesini? Datang-datang malah udah ada cewek aja kau. Sukses sekali kau." Seorang ibu paruh baya datang mendekat saat Nicho hampir saja sudah akan duduk di kursi depan Ananta."Bukan gi-""Bentar. Bentar," Ibu itu berjalan cepat kembali ke dapur."Kamu terkenal sekali, pak!" Ananta menenggak air minum dengan sekali teguk. Memang gelasnya kecil sekali."Dulu sebelum aku sukses seperti sekarang, aku sering dikasih makan gratis sama pemilik restoran ini. Jadinya, sebagai balas budi, aku kerja disini. Asal kau tahu aja, semenjak aku kerja disini, restoran ini semakin terkenal. Yah, padahal dulunya hanya seperti restoran pilihan terakhir orang-orang jika restoran di depan telah penuh. Padahal makanannya enak sekali,""Hei, aku tidak perlu mendengar masa lalu Pak Tanu. Pertanyaan pertamaku saja belum dijawab,""Dia udah aku suruh
"Ana!" Nicho berteriak dengan lantang saat melihat Ana berjalan masuk ke dalam hotel. Lalu, matanya menelusuri bahwa Ana tidak sendiri, dia bersama seorang pria. Apalagi seingat dirinya, Ana tidak berpakaian seperti itu. Mengenakan gaun?"Kamu habis dari mana aja?" Nicho berjalan cepat mendekati Ana.'Gawat! Ini aku harus bilang apa nih! Masa aku bilang keluar sama Pak Tanu? Nanti dikira aku suka macam-macam sama laki-laki'"Ana, jawab dong! Itu bosmu tanya loh!" Tanu mencolek lengan Ananta."Kamu siapa?" Kini Nicho yang bertanya curiga dengan Tanu. 'Dia berpenampilan rapi dan setelan pakaiannya bukan main. Dia bukan orang sembarang. Apakah Ananta memang ada kenalan di Jakarta?'"Perkenalkan saya adalah Tanu Wijaya. Kamu pasti Pak Nicho bukan?" Tanu menjulurkan lengannya."Iya, benar. Saya Nicholas Alexus, atasannya Ananta," Nicho menerima uluran tangan Tanu. "Maaf, pak! Saya baru pulang jam segini. Tadi saya dibantu oleh Pak Tanu saat hujan tadi,"
"Ini Gracia kenapa sih? Segitunya banget sama Ana. Ana juga, dia emang suka cari musuh banget sih! Apa nggak cukup 1 kantor benci sama dia? Sekarang malah Gracia juga memusuhinya? Dan lagi-lagi Ana nggak cerita banyak ke aku. Pakai marah nggak jelas lagi. Pusing ah," Stanley masuk kembali ke kamar hotelnya. Ia tak mau lagi memikirkan hal aneh lainnya. Besok, ia harus mendatangi kantor Nicho lagi.***"Ana, sekarang kamu bilang ke saya. Apa yang terjadi semalam? Siapa Tanu Wijaya?" Nicho melipat kedua tangannya di depan dadanya. Nicho baru saja selesai olahraga. Ia meminta Ana menemaninya karena Gracia juga menolak ajakannya untuk olahraga bersama."Saya minta maaf, pak. Saya benar-benar menyesal atas perbuatan saya kemarin. Gawai saya mati dan saya tidak bawa pengisi daya listrik," Ana menggeser posisi duduknya. Posisi Nicho terlalu dekat dengannya. Mereka duduk di kursi taman. Kursi taman yang terbuat dari besi. Dinginnya hampir terasa menusuk ke dalam tulang.
Aroma semerbak bubuk kopi langsung tercium saat Ananta mendorong pintu masuk. Terdengar juga beberapa konsumen mulai berbincang, suara mereka bertimpakan melewati telinga Ananta. Dari sejak awal kedatangannya ke hotel, kedai kopi ini sudah menarik perhatiannya. Kedai berlantai satu yang dibangun dengan kayu bukan beton. Masih berdiri kokoh di antara area perkantoran yang gedungnya menjulang tinggi.Gracia mengikutinya dari belakang. Aroma kopi yang dihasilkan dari racikan si barista sungguh menarik minatnya. Kedai kopi klasik namun tidak dengan barista dan kasirnya. Semuanya adalah pria muda yang mungkin saja masih menempuh perkuliahan atau baru saja lulus. Kedai ini memang sudah menarik kekagumannya sejak ia pertama kali menginjak ke Jakarta 2 tahun yang lalu. Namun, baru sekarang ia bisa kesini, bersama dengan orang yang sekarang telah masuk daftar hitamnnya."Mas, aku pesan morning tea satu ya," ujar Ananta kepada kasir. "Kamu mau pesan apa?" Ananta menoleh ke arah G
Stanley mau tidak mau mengikuti Nicho. Tak ada yang bisa dibuatnya kali ini. Jika ia mengintip Ananta dan Gracia yang sedang mengobrol dan dia ketahuan. Maka hubungan dia dan Ananta akan semakin runyam."Saya akan berlari di taman. Kamu mau ikut atau duduk di taman saja?" Nicho bertanya saat mereka sudah sampai di depan taman."Aku ikut berlari saja," Berlari santai di jalur lari sepertinya memang bukan ide yang buruk.Kondisi taman ramai namun tidak sampai harus berdesak-desakan. Ada orang tua muda yang membawa anak kecilnya main. Ada pasangan muda yang berlari beriringan. Ada juga anak-anak yang riang gembira berlarian di tempat bermain.'Ternyata olahraga pagi tidaklah buruk,' pikir Stanley."Hei, kamu memang biasa suka olahraga pagi-pagi?" Stanley berlari kecil menyusul Nicho."Iya. Udara pagi dan berkeringat di pagi hari bisa membantu saya melepaskan stres,""Kamu sekarang nggak gelisah?""Gelisah? Kenapa harus gelisah?""Ananta dan Grac
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b