"Yes, akhirnya aku jalan-jalan juga di Jakarta!" seru Gracia hampir berteriak. Beberapa mata pengunjung mall melirik ke arah Gracia."Kayak nggak pernah ke Jakarta aja," Nicho yang sadar langsung berlari kecil di samping Gracia. Jangan sampai ia akan berteriak lagi."Bukannya nggak pernah. Tapi kalau pun ke Jakarta, pasti nggak kemana-mana. Namanya juga menemani seorang Kepala Keluarga yang bekerja,""Nggak sempat ke mall juga?""Paling cuman makan doang. Mana ada sempat untuk kulineran, belanja, main-main,""Emang sekarang kita kulineran, belanja, atau main-main yang seperti kamu harapkan?""Memangnya bukan?""Saya ada tujuan kesini. Temani saya ketemu seseorang dulu,""Tuh kan. Beneran ini? Lagi? Nggak sama Papa, nggak sama Mama, sama kamu juga? Ngeselin deh,""Nanti kamu juga tahu. Ayo," Nicho berjalan mendahului Gracia. Gracia mengikutinya dengan gerakan super malas. Bahkan mengangkat kaki aja susah baginya."Tante?""Ternyata Nicho beneran bawa kamu kesini,""I-iya, Tante!""Ini,
"Hebat juga kamu ternyata," Tanu masuk ke ruang pertemuan saat Sang Penulis telah pergi."Memang semua pekerjaan jangan main hati, tetapi sesekali pendekatan dengan hati juga bagus,""Kamu pasti disukai sama orang kantor ya,""Boro-boro, pak. Dibenci iya,""Masa sih?""Sudah. Aku nggak mau bahas itu lagi. Sebaiknya sekarang aku pulang," Ananta bangkit berdiri. Sambil menurunkan kemeja yang naik saat ia duduk. Menampakkan paha atasnya."Kamu yakin mau pulang dengan pakaian seperti itu?""Yah. Tenang saja aku akan segera mengembalikannya saat pulang nanti," Ia mengambil gawainya dari meja. "Aku minta nomormu dulu,""Oh, jadi ini trik yang kamu pakai untuk mendapatkan nomor pria ganteng?""Pak, Bapak jangan terlalu percaya diri deh. Aku juga sudah punya pacar. Aku minta nomor Bapak supaya aku bisa kembalikan kemeja ini,"Udah punya pacar toh. Malas banget jadinya."Tidak perlu. Kemejanya kamu buang aja. Saya sibuk," Tanu keluar dari ruangan, berjalan cepat ke ruangannya."Lo bisa simpan
"Kenapa sih matamu? Lihat aku segitunya banget!" Ananta protes. Ia hampir akan terjatuh ke belakang saat Tanu tiba-tiba ada di belakangnya. Blam. Pintu mobil ojek daring ditutup dengan keras olehnya."Kau tidak terhipnotis karena ketampananku?"Ananta mengangkat salah satu alisnya. Balas menatapnya."Kau ikut aku. Aku yang akan antar kau pulang," Tanu menarik lengan kiri Ananta. Saat ia teringat sesuatu, ia berhenti. Lalu menurunkan kepalanya, berbicara dengan supir ojek daring. "Pak, nanti Bapak sampai ke tujuan aja. Pesanan ini tidak dibatalkan. Tetapi maaf saya mengambil alih, karena wanita ini berharga bagi saya. Saya harap Bapak mengerti,""Baik, pak!" Si supir menjawab cepat. Dengan cepat juga ia membanti setir ke arah kanan, keluar dari antrian. Lalu, keluar dari lapangan kantor."Pak, Bapak kenapa sih? Lalu kenapa tiba-tiba berbicara informal?" Lagi-lagi Ananta protes. Ia kesal sekali. Pulang ke hotel saja kenapa bisa seribet ini?"Memangnya hanya kau yang boleh bicara informa
Kepulan asap dari alat pemanggang terlihat membumbung ke udara. Sebagian asap itu membelai rambut Ananta. Orang-orang nampak ramai disini.Suara-suara orang bicara pun terdengar saling menimpa satu sama lain sehingga menimbulkan suara yang tumpang tindih. Agak memusingkan memang. Apalagi sekarang beberapa orang sudah mulai menyenggol lengannya.Mereka sedang berada di daerah pecinan. Daerah permukiman masyarakat etnis Tionghoa. Ornamen berwarna mayoritas merah dan kuning juga nampak dimana-mana. Sepanjang jalan dibuka pertokoan dan restoran."Hei, kenapa kau termenung disana? Kau mau dipanggang kayak sate itu juga?" Tanu menghentikan langkahnya saat mendapati Ananta telah berada lima langkah jauh di belakangnya.Ananta tak mendengar pertanyaan Tanu. Sekali lagi ia melihat ke sekitar dan ke arah atas. Beberapa lampion berwarna merah terang terpajang di atas. Lampion itu disambung dengan sebuah tali berwarna merah yang dihubungkan dari satu gedung ke gedung lainny
"Dia dimana?" Ananta langsung menembak dengan perkataannya saat Tanu masuk ke dalam restoran."Haiya, Tanu. Udah lama kau tak main kesini? Datang-datang malah udah ada cewek aja kau. Sukses sekali kau." Seorang ibu paruh baya datang mendekat saat Nicho hampir saja sudah akan duduk di kursi depan Ananta."Bukan gi-""Bentar. Bentar," Ibu itu berjalan cepat kembali ke dapur."Kamu terkenal sekali, pak!" Ananta menenggak air minum dengan sekali teguk. Memang gelasnya kecil sekali."Dulu sebelum aku sukses seperti sekarang, aku sering dikasih makan gratis sama pemilik restoran ini. Jadinya, sebagai balas budi, aku kerja disini. Asal kau tahu aja, semenjak aku kerja disini, restoran ini semakin terkenal. Yah, padahal dulunya hanya seperti restoran pilihan terakhir orang-orang jika restoran di depan telah penuh. Padahal makanannya enak sekali,""Hei, aku tidak perlu mendengar masa lalu Pak Tanu. Pertanyaan pertamaku saja belum dijawab,""Dia udah aku suruh
"Ana!" Nicho berteriak dengan lantang saat melihat Ana berjalan masuk ke dalam hotel. Lalu, matanya menelusuri bahwa Ana tidak sendiri, dia bersama seorang pria. Apalagi seingat dirinya, Ana tidak berpakaian seperti itu. Mengenakan gaun?"Kamu habis dari mana aja?" Nicho berjalan cepat mendekati Ana.'Gawat! Ini aku harus bilang apa nih! Masa aku bilang keluar sama Pak Tanu? Nanti dikira aku suka macam-macam sama laki-laki'"Ana, jawab dong! Itu bosmu tanya loh!" Tanu mencolek lengan Ananta."Kamu siapa?" Kini Nicho yang bertanya curiga dengan Tanu. 'Dia berpenampilan rapi dan setelan pakaiannya bukan main. Dia bukan orang sembarang. Apakah Ananta memang ada kenalan di Jakarta?'"Perkenalkan saya adalah Tanu Wijaya. Kamu pasti Pak Nicho bukan?" Tanu menjulurkan lengannya."Iya, benar. Saya Nicholas Alexus, atasannya Ananta," Nicho menerima uluran tangan Tanu. "Maaf, pak! Saya baru pulang jam segini. Tadi saya dibantu oleh Pak Tanu saat hujan tadi,"
"Ini Gracia kenapa sih? Segitunya banget sama Ana. Ana juga, dia emang suka cari musuh banget sih! Apa nggak cukup 1 kantor benci sama dia? Sekarang malah Gracia juga memusuhinya? Dan lagi-lagi Ana nggak cerita banyak ke aku. Pakai marah nggak jelas lagi. Pusing ah," Stanley masuk kembali ke kamar hotelnya. Ia tak mau lagi memikirkan hal aneh lainnya. Besok, ia harus mendatangi kantor Nicho lagi.***"Ana, sekarang kamu bilang ke saya. Apa yang terjadi semalam? Siapa Tanu Wijaya?" Nicho melipat kedua tangannya di depan dadanya. Nicho baru saja selesai olahraga. Ia meminta Ana menemaninya karena Gracia juga menolak ajakannya untuk olahraga bersama."Saya minta maaf, pak. Saya benar-benar menyesal atas perbuatan saya kemarin. Gawai saya mati dan saya tidak bawa pengisi daya listrik," Ana menggeser posisi duduknya. Posisi Nicho terlalu dekat dengannya. Mereka duduk di kursi taman. Kursi taman yang terbuat dari besi. Dinginnya hampir terasa menusuk ke dalam tulang.
Aroma semerbak bubuk kopi langsung tercium saat Ananta mendorong pintu masuk. Terdengar juga beberapa konsumen mulai berbincang, suara mereka bertimpakan melewati telinga Ananta. Dari sejak awal kedatangannya ke hotel, kedai kopi ini sudah menarik perhatiannya. Kedai berlantai satu yang dibangun dengan kayu bukan beton. Masih berdiri kokoh di antara area perkantoran yang gedungnya menjulang tinggi.Gracia mengikutinya dari belakang. Aroma kopi yang dihasilkan dari racikan si barista sungguh menarik minatnya. Kedai kopi klasik namun tidak dengan barista dan kasirnya. Semuanya adalah pria muda yang mungkin saja masih menempuh perkuliahan atau baru saja lulus. Kedai ini memang sudah menarik kekagumannya sejak ia pertama kali menginjak ke Jakarta 2 tahun yang lalu. Namun, baru sekarang ia bisa kesini, bersama dengan orang yang sekarang telah masuk daftar hitamnnya."Mas, aku pesan morning tea satu ya," ujar Ananta kepada kasir. "Kamu mau pesan apa?" Ananta menoleh ke arah G