"Ini Gracia kenapa sih? Segitunya banget sama Ana. Ana juga, dia emang suka cari musuh banget sih! Apa nggak cukup 1 kantor benci sama dia? Sekarang malah Gracia juga memusuhinya? Dan lagi-lagi Ana nggak cerita banyak ke aku. Pakai marah nggak jelas lagi. Pusing ah," Stanley masuk kembali ke kamar hotelnya. Ia tak mau lagi memikirkan hal aneh lainnya. Besok, ia harus mendatangi kantor Nicho lagi.***"Ana, sekarang kamu bilang ke saya. Apa yang terjadi semalam? Siapa Tanu Wijaya?" Nicho melipat kedua tangannya di depan dadanya. Nicho baru saja selesai olahraga. Ia meminta Ana menemaninya karena Gracia juga menolak ajakannya untuk olahraga bersama."Saya minta maaf, pak. Saya benar-benar menyesal atas perbuatan saya kemarin. Gawai saya mati dan saya tidak bawa pengisi daya listrik," Ana menggeser posisi duduknya. Posisi Nicho terlalu dekat dengannya. Mereka duduk di kursi taman. Kursi taman yang terbuat dari besi. Dinginnya hampir terasa menusuk ke dalam tulang.
Aroma semerbak bubuk kopi langsung tercium saat Ananta mendorong pintu masuk. Terdengar juga beberapa konsumen mulai berbincang, suara mereka bertimpakan melewati telinga Ananta. Dari sejak awal kedatangannya ke hotel, kedai kopi ini sudah menarik perhatiannya. Kedai berlantai satu yang dibangun dengan kayu bukan beton. Masih berdiri kokoh di antara area perkantoran yang gedungnya menjulang tinggi.Gracia mengikutinya dari belakang. Aroma kopi yang dihasilkan dari racikan si barista sungguh menarik minatnya. Kedai kopi klasik namun tidak dengan barista dan kasirnya. Semuanya adalah pria muda yang mungkin saja masih menempuh perkuliahan atau baru saja lulus. Kedai ini memang sudah menarik kekagumannya sejak ia pertama kali menginjak ke Jakarta 2 tahun yang lalu. Namun, baru sekarang ia bisa kesini, bersama dengan orang yang sekarang telah masuk daftar hitamnnya."Mas, aku pesan morning tea satu ya," ujar Ananta kepada kasir. "Kamu mau pesan apa?" Ananta menoleh ke arah G
Stanley mau tidak mau mengikuti Nicho. Tak ada yang bisa dibuatnya kali ini. Jika ia mengintip Ananta dan Gracia yang sedang mengobrol dan dia ketahuan. Maka hubungan dia dan Ananta akan semakin runyam."Saya akan berlari di taman. Kamu mau ikut atau duduk di taman saja?" Nicho bertanya saat mereka sudah sampai di depan taman."Aku ikut berlari saja," Berlari santai di jalur lari sepertinya memang bukan ide yang buruk.Kondisi taman ramai namun tidak sampai harus berdesak-desakan. Ada orang tua muda yang membawa anak kecilnya main. Ada pasangan muda yang berlari beriringan. Ada juga anak-anak yang riang gembira berlarian di tempat bermain.'Ternyata olahraga pagi tidaklah buruk,' pikir Stanley."Hei, kamu memang biasa suka olahraga pagi-pagi?" Stanley berlari kecil menyusul Nicho."Iya. Udara pagi dan berkeringat di pagi hari bisa membantu saya melepaskan stres,""Kamu sekarang nggak gelisah?""Gelisah? Kenapa harus gelisah?""Ananta dan Grac
"Kamu kenapa sih tarik-tarik? Nanti orang lain kira kita homo loh!" Stanley menghempaskan lengannya. Berhasil. Lengannya berhasil terlepas dari genggaman Nicho.Kini mereka berada di area lapangan tenis dan lapangan papan seluncur. Hanya ada beberapa remaja yang sedang bermain disana. Nicho memutuskan untuk duduk di jalanan yang lebih tinggi dari tempat mereka berdiri."Saya bukannya menghindari masalah, tetapi dengan perbuatanmu memukul saya akan ada 2 hal yang terjadi. Pertama, kamu bisa dilaporkan oleh seseorang dengan tindak kriminal. Kedua, kamu nampak seperti anak kecil yang sedang merengek sedangkan saya lebih seperti orang tua jahat," jelas Nicho. Ia menengguk air mineral dari botol yang ia bawa. Isinya sudah hampir habis."Dan kamu nggak mau kalau orang lain tahu kalau kamu itu jahat kan?" komentar Stanley sambil berkacak pinggang."Bukan itu maksud saya," Nicho mendongakkan kepalanya dengan malas. "Sebaiknya kamu duduk saja, saya kurang
"Ananta, tunggu!" Stanley segera berlari menghampiri Ananta. Berlari lalu berdiri di depan Ananta."Apa? Energiku sudah habis Stanley. Aku sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar denganmu," rengek Ananta."Nggak. Kali ini aku nggak mau marah atau apapun itu. Aku mau minta maaf. Aku terlalu egois. Bahkan aku tidak ada bersamamu saat kamu ada masalah dengan Gracia. Aku minta maaf,""Iya. Aku terima maafmu. Sekarang udah ya, aku mau siap-siap ke kantor. Aku nggak enak kalau harus terlambat,""Gitu aja? Kamu nggak mau jelasin kamu semalam sama siapa?""Stanley, ada apa lagi sih?" Kesabaran Ananta sebentar lagi akan habis.Setelah semalam syok karena Nicho tungguin dia, lalu pagi-pagi jantungnya harus berdegup kencang karena harus mengobrol empat mata dengan Gracia. Sekarang malah Stanley yang buat ulah di saat yang tidak tepat."Kamu mau hubungan kita gimana sih? Seharusnya sebagai pacar yang baik, kamu harus bilang sejuju
"Kenapa kalian kerjanya bisa salah-salah gitu sih? Besok saya sudah harus balik ke Pontianak,"Nicho marah-marah di kantor. Sedari tadi pagi, tak ada seorang pun yang bisa menerima permintaan Nicho dengan benar."Semua salah. Kerjain dari awal. Kan saya sudah bilang, pada saat kalian nulis, kalian harus curahkan konsentrasi dan perasaan kalian. Buat seakan-akan kalian memang ada di sana. Saya nggak mau tahu. Kerjaan kalian sudah harus selesai."Nicho mondar-mandir mengecek kerjaan karyawannya. Dari satu meja ke meja. Lalu, ia berhenti di tengah, berteriak,"Tak ada yang bisa pulang kecuali kalau kalian sudah selesai. Mengerti!""Baik, pak!" jawab mereka dengan kompak.Gracia dan Ananta hanya bisa bengong. Di pikiran mereka terlintas hal yang sama. Seolah Nicho adalah kepala koki dan karyawan lainnya adalah koki yang sedang sibuk mengerjakan makanan konsumen."Dan kamu Gracia, cepat ikut saya ke dalam!" Nicho menunjuk ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke