"Kamu kenapa sih tarik-tarik? Nanti orang lain kira kita homo loh!" Stanley menghempaskan lengannya. Berhasil. Lengannya berhasil terlepas dari genggaman Nicho.Kini mereka berada di area lapangan tenis dan lapangan papan seluncur. Hanya ada beberapa remaja yang sedang bermain disana. Nicho memutuskan untuk duduk di jalanan yang lebih tinggi dari tempat mereka berdiri."Saya bukannya menghindari masalah, tetapi dengan perbuatanmu memukul saya akan ada 2 hal yang terjadi. Pertama, kamu bisa dilaporkan oleh seseorang dengan tindak kriminal. Kedua, kamu nampak seperti anak kecil yang sedang merengek sedangkan saya lebih seperti orang tua jahat," jelas Nicho. Ia menengguk air mineral dari botol yang ia bawa. Isinya sudah hampir habis."Dan kamu nggak mau kalau orang lain tahu kalau kamu itu jahat kan?" komentar Stanley sambil berkacak pinggang."Bukan itu maksud saya," Nicho mendongakkan kepalanya dengan malas. "Sebaiknya kamu duduk saja, saya kurang
"Ananta, tunggu!" Stanley segera berlari menghampiri Ananta. Berlari lalu berdiri di depan Ananta."Apa? Energiku sudah habis Stanley. Aku sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar denganmu," rengek Ananta."Nggak. Kali ini aku nggak mau marah atau apapun itu. Aku mau minta maaf. Aku terlalu egois. Bahkan aku tidak ada bersamamu saat kamu ada masalah dengan Gracia. Aku minta maaf,""Iya. Aku terima maafmu. Sekarang udah ya, aku mau siap-siap ke kantor. Aku nggak enak kalau harus terlambat,""Gitu aja? Kamu nggak mau jelasin kamu semalam sama siapa?""Stanley, ada apa lagi sih?" Kesabaran Ananta sebentar lagi akan habis.Setelah semalam syok karena Nicho tungguin dia, lalu pagi-pagi jantungnya harus berdegup kencang karena harus mengobrol empat mata dengan Gracia. Sekarang malah Stanley yang buat ulah di saat yang tidak tepat."Kamu mau hubungan kita gimana sih? Seharusnya sebagai pacar yang baik, kamu harus bilang sejuju
"Kenapa kalian kerjanya bisa salah-salah gitu sih? Besok saya sudah harus balik ke Pontianak,"Nicho marah-marah di kantor. Sedari tadi pagi, tak ada seorang pun yang bisa menerima permintaan Nicho dengan benar."Semua salah. Kerjain dari awal. Kan saya sudah bilang, pada saat kalian nulis, kalian harus curahkan konsentrasi dan perasaan kalian. Buat seakan-akan kalian memang ada di sana. Saya nggak mau tahu. Kerjaan kalian sudah harus selesai."Nicho mondar-mandir mengecek kerjaan karyawannya. Dari satu meja ke meja. Lalu, ia berhenti di tengah, berteriak,"Tak ada yang bisa pulang kecuali kalau kalian sudah selesai. Mengerti!""Baik, pak!" jawab mereka dengan kompak.Gracia dan Ananta hanya bisa bengong. Di pikiran mereka terlintas hal yang sama. Seolah Nicho adalah kepala koki dan karyawan lainnya adalah koki yang sedang sibuk mengerjakan makanan konsumen."Dan kamu Gracia, cepat ikut saya ke dalam!" Nicho menunjuk ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra