"Aku nggak kenal sama dia, Ma! Makanya, aku bisa seenaknya sendiri kalo ngomong ini!" pekik lelaki itu dengan nada tinggi. Ariana menggerutu di dalam hatinya, "Ya kalo gitu, jangan sok-sok an nuduh orang, Mas. Kamu itu gimana, sih?" "Heum, iya, deh. Saya minta maaf ya, Mas. Maklum, Istri saya orangnya emang nggak bener, makanya saya suka khawatir kalo sampek dia kenapa-napa.""Heum, seyakin apa Anda kalo Istri kamu ini nggak bener? Kamu lupa sama saya, Devan?! Saya ini sahabat Ariana dari sejak kami kecil! Jangan seenaknya sendiri kami ngomong kayak gitu! Saya jauh lebih ngerti Ariana dibanding kamu!" jawab Adnan dengan suara lantang. Deg!Devan terpenjerat dengan kalimat itu. Ia tahu betul siapa Adnan. Namun, dia tidak menyangka bila lelaki itu telah berubah menjadi sosok laki-laki yang berwibawa, jauh berbeda dari yang dia kenal sebelumnya. "A--aduh, sekali lagi saya minta maaf, Adnan. Saya bener-bener nggak ngerti," ucap Devan dengan suara lirih. "Kalo kamu mau minta maaf, haru
"Baiklah kalau begitu, bagaimana kamu akan menyelesaikannya, Ariana?" tanya Adnan dengan suara lirih. Deg!Ariana lagi-lagi berpikir keras, ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Entah kenapa pikirannya berkecamuk. Namun, wanita itu tahu apa yang harus dia lakukan. "Nan, pertama-tama. Aku harus punya pekerjaan tetap dulu buat nyukupin kehidupanku sama anak aku. Kedua, aku harus bicara pelan-pelan dan tunggu waktu yang tepat buat ngomong soal ini. Karena aku tahu, kalo Ayahku lagi sakit. Dan sekarang, pasti dia butuh banyak biaya buat pengobatan. Aku nggak bisa seegois itu, Adnan." Ariana mengatakannya meski dadanya sendiri merasa sesak. Adnan seketika terdiam untuk beberapa saat, dia sangat mengerti kondisi Ariana. Lelaki itu sama sekali tak berniat membuat sahabatnya tambah menderita bila nanti terjadi hal yang buruk setelah dia mengatakan masalahnya kepada keluarganya. "Ah, iya, aku bisa mengerti kegelisahan kamu. Ya udah, gini aja. Besok, kamu aku ajak ke cafe. Kamu ng
Di hari itu, Adnan merasa senang. Dia berangkat ke kantornya dengan wajah penuh tawa. Ingin rasanya dia cepat-cepat pulang agar dia bisa mengobrol dengan Ariana. ******"Ariana, kamu masih di ruangan suami kamu? Gimana kondisinya?" tanya Adnan dari seberang telepon. Ariana tersenyum tipis. "Iya, aku ada di rumah sakit. Alhamdulilah kondisinya membaik, ada apa Adnan?" Ariana kembali bertanya. "Oh, ya udah kalo gitu. Setelah ini, aku bakalan ke rumah sakit buat nganterin uang yang dititipin Tita ke kamu. Gitu-gitu, dia sebenernya perhatian sama kamu, Ariana. Saking aja, dia nggak mau kalo uangnya kamu gunakan buat bayar pengobatan suami kamu," ucap Adnan dari seberang telepon. Deg!Ariana seketika tertegun, dia tak mengerti kenapa adiknya melakukan hal itu. "Heum, udah kuduga sih, Adnan. Ya udah, cepetan ke sini, gih. Lagi bokek, nih kebetulan. Hahaha," ucap Ariana. "Oke-oke, kamu mau titip makanan, nggak? Sekalian aku anterin nanti," kata Adnan sembari tersenyum. Ariana menganggu
Mereka berdua melaju dengan kecepatan sedang. Tak lama kemudian, keduanya sampai ke sebuah cafe. Di dalam cafe itu, terdapat beberapa karyawan yang tengah bersiap-siap untuk membuka cafenya. "Ariana, ayo turun," ucap Adnan. Ariana menganggukkan kepalanya pelan. Setelahnya, mereka berdua masuk ke dalam cafe. Kedua mata Ariana terpana akan cafe yang indah. Beberapa meja klasik dengan ukiran dinding ala Eropa membuatnya takjub. Jauh di dalam hatinya, dia sudah lama mendambakan pergi ke benua Eropa. Namun, sampai hari ini, dia tak bisa memenuhi impiannya. "Ariana, kenapa bengong? Ayo, aku mau kenalin kamu sama karyawanku," ucap Adnan. Ariana yang berada di sampingnya, seketika menoleh ke arah Adnan. "Eh, enggak apa-apa kok, Adnan. Aku takjub aja sama lukisan dan bentuk furniture di sini. Semuanya ala Eropa. Kamu ngerti nggak sih? Dari dulu, aku pengen banget jalan-jalan ke benua Eropa," balas Ariana sembari tersenyum lebar. Adnan yang mendengarnya seketika tersenyum. "Oh, jadi kamu d
"Iya, Mas Adnan. Mohon maaf kalo suami saya keterlaluan," ucap Ariana sembari tersenyum. Adnan menganggukkan kepalanya pelan. Tak lama kemudian, Devan akhirnya bungkam.Walaupun dia sangat membenci kehadiran Adnan. Setidaknya, dia merasa tenang karena akhirnya, istrinya mendapatkan jatah untuk bekerja lagi. Dan itu berarti, istrinya akan memiliki uang. "Ya udah, maaf karena bikin keributan. Besok, aku langsung pulang.""Iya, Mas. Besok kamu pulang sendiri aja, ya. Aku besok juga mau pulang ke rumah orang tua aku, kamu belum tahu kalo Vasya lagi di-""Ngapain kamu balik ke rumah orang tua kamu?! Kamu mau minta kita cerai, ha?" tanya Devan, ia merasa curiga dengan sikap Ariana. "Apaan sih, Mas?! Aku mau bawa Vasya balik! Kamu tahu kalo dia itu juga harus sekolah, kan?! Nggak usah negthink, Mas!" pekik Ariana. Wanita itu menjawabnya dengan nada ketus. "Oh, jadi gitu. Ya udah, iya. Besok aku juga bisa pulang sendiri, kok," balas Devan dengan nada ketus. Ariana menaikkan salah satu alis
"Cih! Kamu itu! Masih aja bahas-bahas masa lalu!" pekik Devan dengan tatapan sinis. Ariana menepuk jidatnya. Tanpa basa-basi, ia langsung memasukkan uangnya ke dalam kantong. "Ya udah, Mas! Kalo kamu nggak mau, aku langsung pergi aja! Bye! Pulang aja sana sambil jalan kaki!" bentak Ariana, meski tidak terlalu keras. Apa yang dia katakan cukup untuk membuat Devan berada di ambang kesabaran. "Eh! Enak aja! Sini uangnya! Aku terima meski aku nggak ikhlas!" pekik Devan dengan tatapan sinis. Ariana menghirup nafas panjang, dan mengeluarkannya secara perlahan. Tak lama kemudian, ia menatap kedua mata lelaki itu dengan tatapan tajam. Meski ia tahu bahwa suaminya tidak memiliki perasaan, dia hanya diam dan bungkam. Tak lama kemudian, Devan menerima uang hasil pemberian dari Ariana. "Ariana!" panggil Adnan dari ambang pintu. Ariana menoleh, dia tersenyum melihat kehadiran Adnan, tapi tidak dengan Devan. Lelaki itu memberi peringatan kepada Adnan. "Nan! Saya tahu kalo kamu ini sahabat pere
"Iya, aku paham dengan apa yang kamu maksud, Adnan. Aku akan lebih berhati-hati lagi sama Mas Devan mulai sekarang. Tapi, harus aku akui. Sepertinya, dia sekarang kayanya agak cemas, karena kedekatan kita berdua," ucap Ariana dengan wajah ragu. Adnan menelan ludahnya. "Dia bisa cemas?! Hahaha, kenapa? Takut, ya?" tanya Adnan, ia menoleh ke arah Ariana sembari tersenyum tipis. Ariana spontan mengerutkan dahi. "Takut? Takut apa maksudmu, Adnan?" tanya Ariana dengan suara lirih. Adnan menyeringai tajam. "Masa aku harus jelasin ke kamu, Ariana? Kamu tahu, kan? Gimana reaksi suami kalo Istrinya deket sama laki-laki lain?" Adnan tersenyum sinis. Ariana seketika menganggukkan kepala. "Heum, jadi itu masalahnya," balas Ariana sembari menganggukkan kepalanya. Ia menundukkan kepala sembari merenungkan perkataan Adnan. Untuk beberapa saat, Ariana dan Adnan terdiam. Keduanya sama sekali tak memulai obrolan. Sampai akhirnya, ketika mereka bedua berada di terminal. Keduanya memulai percakapan m
Dua hari kemudian, keduanya langsung pamit undur diri, mereka berdua hendak pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ariana dikejutkan dengan keadaan rumah yang terlihat berantakan. "Astaghfirullah, ini kenapa kok bisa berantakan kaya gini, sih?" tanya Ariana. Ia menelusuri setiap ruangan, mencoba mencari kehadiran suaminya. "Mas Devan, Mas Devan di mana?" Ariana menoleh ke segala rumahan. Dia sedang berada di ruangan tengah. "APA?!" bentak Devan dengan suara lantang. Lelaki itu berjalan ke arah Ariana dengan tatapan setengah mengantuk. Ariana yang berada di hadapannya, seketika terkejut setelah melihat kehadiran lelaki itu. "Astaghfirullah, Mas?! Kamu kenapa? Kok lemes banget? Kamu sakit lagi, Mas?" tanya Ariana dengan suara lirih. "Nggak usah banyak tanya kamu sama aku! Cepet, bantuin aku ke kamar!" pekik Devan dengan suara lantang. Ariana yang panik, langsung membawa Devan ke kamar. Dia membiarkan suaminya tidur di sana. Tak lama kemudian, Ariana kembali ke dapur. Di sana, ia l
Keesokan harinya, tepat di hari Senin pagi. Farel menyarankan bibinya untuk mendatangi Ariana. Tak hanya itu, Beliau juga diminta untuk menjelaskan pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh Ariana. Alhasil, dirinya pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ariana. Di sana, Farel menyuruh Devan untuk meninggalkan keduanya. Sebelum itu, dia mengucapkannya melalui telepon yang dia miliki. Tak lama kemudian, ketika Farel berangkat dengan sang bibi, Beliau pun bertanya dengan sopan kepada keponakannya. "Farel, gimana kalo Bibi nanti nggak bisa bayar perempuan itu? Kamu kan tahu, Bibi memang baru aja pindah di sini. Sebenernya, kalo untuk makan dan biaya kehidupan sehari-hari, uangnya masih cukup. Tapi, kalo untuk bayarin perempuan itu, gimana? Bibi bingung loh, Farel." Wanita berkerudung hitam itu melihat ke arah Farel dengan wajah gelisahnya. Namun, tak lama kemudian, Farel menghembuskan nafas panjang. "Nggak papa, Bi. Nanti, Farel juga ikut bantuin Bibi untuk bayar gajinya. Lag
Farel dan Devan saling beradu dalam diam, keduanya hendak menimbang satu sama lain. Lalu, tak lama setelah itu, Devan kembali angkat bicara. "Ariana, Farel sama aku berusaha menyelamatkan kamu, tadi. Terus, pas itu, Farel nyamar jadi pemulung. Tapi, nggak taunya dia itu udah bawa temennya. Keduanya langsung nyergap orang yang udah jahatin kamu, kemarin. Makanya itu, hehehe," ucap Devan sambil tertawa. Lelaki itu hanya bisa diam ketika dirinya berusaha untuk tak mengerti apa-apa. "Hah?! Yang bener aja dong, Devan! Apa katamu tadi?! Beneran, nih?! Jadi, kalian berdua berusaha menangkap orang itu, ya?!" Ariana menaikkan salah satu alisnya. Lantas, keduanya mengangguk kan kepala. Ariana langsung menghembuskan nafas panjang, mengusap peluh di kepalanya, sambil menunggu momen yang tepat, untuknya berbicara. "Huh, untung aja kalo gitu," balas Ariana dengan perasaan ragu. Meski demikian, kedua matanya menoleh ke beberapa arah. Lantas, dirinya langsung memberi salam dan pergi ke dalam ruma
"Siapa yang menyelamatkan siapa, Farel?! Jangan mengada-ngada! Kalo kamu membongkar kasus ini, bisa-bisa Istriku kenapa-napa lagi!" bentak Devan dari dalam mobil. Lelaki itu melirik Farel sekilas. Lantas, ia meneguk ludahnya sendiri. "Seratus! Aku nggak nyangka kamu sepintar itu. Tapi, kamu tenang aja. Aku ke sini untuk ngasih pilihan ke kamu. Yang penting, aku kan udah ngasih tahu kamu lokasinya di sini. Kalo urusan kamu mau ngehajar dia atau enggak, itu urusan kamu. Lagian, aku udah tahu satu korban yang berhasil kabur dari rumah itu," ucap Farel."Apa maksudmu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Lelaki itu merasa geram setengah mati. Ingin rasanya dia menghajar Farel, karena baginya, apa yang dia lakukan sama saja membuang waktu percuma."Enggak ada. Aku cuman mau kamu amati aja, siapa orang-orang mereka. Lihat, mereka semua sedang mengobrol di halaman depan rumah. Berpakaian seperti orang biasa. Terlihat seperti orang baik pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Rumah mereka juga
Dari kejadian itu, Devan semakin gencar melindungi Ariana. Dirinya tak segan-segan menelepon wanitanya, sekalipun dia berada di hari yang sibuk. Beberapa jam sekali, Devan menyempatkan diri untuk ke kamar mandi dan menelpon istrinya. Ketika jam kerja selesai, dirinya juga tak segan-segan untuk langsung pulang. Sementara itu, Farel langsung bergegas mencari tahu. Tentu saja, dia tidak melakukannya sendiri. Karena, setelah lima hari lamanya, dia menghubungi Devan dan mengajaknya ke suatu tempat. "Van, kamu ada waktu luang, nggak? Kayaknya, aku udah menemukan pelakunya. Dan berita baiknya, aku tahu siapa orang ini. Kamu mau ngasih dia pelajaran?" tanya Farel sembari tersenyum sinis, di balik teleponnya. Deg!Devan menghembuskan nafas panjang. Mulanya, ia kebingungan dengan kalimat Farel yang agak dominan mengarah ke perkelahian. "Tunggu dulu, apa dia adalah seorang wanita? Atau laki-laki? Ariana sebelumnya sudah pernah bercerita denganku. Hanya saja, aku tidak tahu apakah yang meneror
Devan yang di hari itu bekerja, sama sekali tak bisa konsen terhadap pekerjaannya. Ia kebingungan memikirkan sang istri yang bertahan di rumah. "Ya Allah, tolong lindungi Istriku," batinnya meraung keras. Sementara itu, Ariana yang sedari tadi di rumah, menghela napas panjang. Dia merasa sedikit tenang ketika seorang wanita yang merupakan tetangga sebelah rumahnya datang dan menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Mbak Ariana." Wanita bernama Yunita itu, memanggil nama Ariana dengan suara lantang. Tak lama kemudian, Ariana berlari kecil ke depan rumah. "Wa'alaikumussalam, Mbak Yunita," balas wanita itu dengan suara lirih. "Ya Allah, Mbak. Untung Mbak Ariana nggak kenapa-napa. Saya tuh cemas loh, Mbak. Dari tadi, saya lihat kalo Mbak didatengin sama dua orang itu. Orang yang biasa nyari perempuan buat dijadiin pekerja kayak gitu," ucap wanita itu dengan suara lirih. Kedua matanya melihat ke kanan dan kiri, mengawasi daerah sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang ada di
Ariana yang masih berada di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan diri. Alhasil, dia benar-benar menghubungi suaminya melalui sebuah pesan. Devan yang saat itu masih berada di jam kerja, tidak sempat melihatnya. Namun, karena hp Devan diletakkan di sebuah meja yang letaknya berdekatan dengan kursi milik ayah Farel. Beliau langsung memberitahukan hal itu kepada Devan. "Van, ada SMS dari Istri kamu," ucap sang ayah dengan wajah gelisah. Beliau menoleh ke arah Devan. Lelaki itu spontan menoleh ke arah ayah Farel. Lalu, dia berjalan ke meja dan mengambil hpnya. "Iya, Pak. Makasih, saya lihat dulu, ya," balas Devan sembari tersenyum. Devan mengambil hp dan kemudian membaca isi pesannya. "Astaghfirullah, Ariana? Kenapa ini?" batin Devan dengan wajah gelisah. Ayah Farel yang mengetahuinya, langsung menoleh ke arah Devan. "Ada masalah apa, Van? Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya lelaki itu dengan suara lirih. Devan segera menoleh, menceritakan apa yang terjadi. "Ini, Istri saya lagi a
Ariana menelan ludah ketika dia berada di posisi terdesak. Dia benar-benar tidak ingin berada di tempat itu sebetulnya. Tapi dia harus mencari cara agar bisa kabur dengan cara yang mulus. Alhasil, dia berusaha untuk tetap tenang. “Oh, ya udah kalo gitu. Mbak Jihan bisa ikut sama saya ke toilet, kok,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. Ariana dan jihan langsung pergi ke toilet bersama-sama. Ariana segera melesat ke toilet. Lalu, di sana dia mencoba untuk mencari cara. “Heum, gimana, ya? Apa aku minta tolong temenku aja biar bisa anterin aku ke sini? Kayaknya, aku masih inget kalo Mbak Arum tinggal di sekitar sini,” batin Ariana. Wanita itu mengambil hp dari saku dan memberikan sebuah pesan untuk Mbak Arum. Dia langsung meminta agar Mbak Arum datang dan menjemutnya. Pada akhirnya, dia menungu sampai Mbak Arum tiba. Selang beberapa saat setelahnya, Mbak Arum datang dengan seorang lelaki yang memakai pakaian seperti polisi. Di satu sisi, Ariana masih saja bertahan di dalam kamar m
Devan menghabiskan waktunya sembari menangis di pelukan sang istri. Di hari itu, mereka seakan merasa dekat satu sama lain. "Mas, janji sama aku kalo kamu nggak bakalan aneh-aneh lagi," ucap Ariana, wanita itu mencoba melakukan kompromi dengan suaminya. Devan menganggukkan kepala, bilang bahwa dia berjanji akan melakukannya. "Ma, ini nggak papa kan, kalo perhiasannya kita gadaikan?" tanya Devan sekali lagi, wanita itu menoleh ke arah sang suami dengan wajah gelisah."Iya, Mas. Nggak papa, kok. Masalahnya, emang uangnya cukup apa kalo dibuat bayar kos-kosan? Biasanya, kan. Ada kos yang maunya dibayar setahun untuk di tahun awal," balas Ariana dengan wajah cemas. Wanita itu sungguh penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Iya juga ya, Ma. Nanti aku bicarakan lagi sama Farel ya," ucap Devan dengan suara lirih. Lelaki itu kembali terpenjara dengan masalahnya sendiri. Entah kenapa, apa yang dikatakan oleh Ariana memang selalu benar. Alhasil, ketika Devan pergi rumahnya. Ari
Devan mengenal napas, mengiyakan perkataan sang kakak. Lalu, diam-diam dia keluar dari rumah. Mengerjakan hal lain tanpa sibuk membahas hal tadi. ******"Van, kamu salah naruh itu, loh. Kenapa kamu?" tanya Farel dengan suara lirih. Lelaki itu mendaratkan debrakan di meja. Lalu setelahnya, orang itu menggelengkan kepala. "Aku nggak kenapa-napa, kok. Kamu ngapain di sini? Mau ketemu sama Bapak, Rel?" Farel melontarkan pertanyaan yang membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Iya, aku mau ketemu Bapak, sekalian mau ketemu kamu. Denger-denger, kamu lagi ada masalah, ya? Kenapa? Mau ngobrol sama aku?" Farel menaikkan alisnya ke atas. "Heum, enggak juga, sih. Cuman aku bingung aja, nggak ngerti harus gimana lagi. Kemarin, aku udah nyoba ngomong sama orang tuaku, tapi mereka nggak ada yang mau bantu buat ngasih modal. Jadi, kayaknya aku nggak ada uang buat pindah kos," Devan mengatakannya dengan frontal. Tidak ingin basa-basi. Lalu, Farel menganggukkan kepala."Aku paham, tapi kamu ngg