Maaf baru bisa upload jam segini. Soalnya sibuk ater-ater, karena mau lebaran. Terima kasih atas pengertiannya ^^
Dua hari kemudian, keduanya langsung pamit undur diri, mereka berdua hendak pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Ariana dikejutkan dengan keadaan rumah yang terlihat berantakan. "Astaghfirullah, ini kenapa kok bisa berantakan kaya gini, sih?" tanya Ariana. Ia menelusuri setiap ruangan, mencoba mencari kehadiran suaminya. "Mas Devan, Mas Devan di mana?" Ariana menoleh ke segala rumahan. Dia sedang berada di ruangan tengah. "APA?!" bentak Devan dengan suara lantang. Lelaki itu berjalan ke arah Ariana dengan tatapan setengah mengantuk. Ariana yang berada di hadapannya, seketika terkejut setelah melihat kehadiran lelaki itu. "Astaghfirullah, Mas?! Kamu kenapa? Kok lemes banget? Kamu sakit lagi, Mas?" tanya Ariana dengan suara lirih. "Nggak usah banyak tanya kamu sama aku! Cepet, bantuin aku ke kamar!" pekik Devan dengan suara lantang. Ariana yang panik, langsung membawa Devan ke kamar. Dia membiarkan suaminya tidur di sana. Tak lama kemudian, Ariana kembali ke dapur. Di sana, ia l
"Udahlah, Ma! Jangan ngomong sama aku lagi! Aku udah muak sama kamu! Terserah sekarang, kamu mau ngapain aja! Aku udah nggak peduli sama kamu lagi! Ngerti kamu, ha?!" pekik Devan dengan suara lantang. Ariana menampilkan senyum sinisnya. "Kamu pikir, aku gimana, Mas?! Aku juga sama kali, Mas! Aku nggak peduli sama kamu lagi! Tapi, aku masih peduli sama sekolah anakku!" teriak Ariana, tak mau kalah. Devan yang berada di ruang makan, seketika membanting piring. Setelahnya, dia pergi meninggalkan ruangan dan berjalan ke kamar. Sebelum sampai di kamarnya, dia tidak sengaja berhenti di depan kamar Vasya. Dia tahu bahwa gadis itu sedang menangis di kamarnya. Namun, apa yang bisa dia lakukan setelahnya? Tidak ada. Keesokan harinya, Vasya kembali membisu, dia tidak ingin berbicara sepatah katapun kepada ibu atau ayahnya. "Vasya, kamu hati-hati ya, di sekolah. Jangan sampek kamu mau diganggu sama anak-anak sekolah," ucap Ariana dengan suara lirih. Vasya tersentak dengan kalimat itu. Ingin
"Huuh, untung aja aman," batin Ariana. Ia merasa tenang setelah tahu bahwa uang pemberian dari Tita masih ada. Ariana memiliki ide untuk menaruhnya di bank. Sehingga, dia tidak perlu bersusah payah menyimpan uang di rumah. Hal itu dia lakukan keesokan harinya. ******Di satu sisi, ketika Ariana bersusah payah untuk bekerja, Tita, Dinda dan juga kedua orang tuanya sedang berkumpul di ruangan keluarga. "Buk, Pak, Dinda. Tita mau ngomong sesuatu sama kalian semua," ucap Tita dengan suara lirih. Jujur saja, dia sebenarnya ragu untuk mengatakan hal itu. Namun, mau tidak mau, mereka memang harus mengetahuinya. "Kamu mau ngomong apa, Ndok? Apa ini ada kaitannya sama Mbak kamu, Tita?" tanya ayah Tita dengan wajah cemas. "Iya, ini ada kaitannya sama Mbak Ariana. Tapi, dengerin aku dulu, Pak, Buk. Kalo aku ngomongin ini sama kalian, aku mohon, kalian jangan langsung menghakimi Mbak Ariana, ya," balas Tita dengan senyuman di wajahnya. "Hadeh, kirain ngomongin yang lebih penting, ternyata ng
"Iya, he. Kok bisa ya, Mbak Ariana bisa kayak gitu? Aku hampir nggak percaya, loh. Tapi, mau gimana lagi. Udah kejadian juga, soalnya. Dan, satu hal lagi, aku nggak nyangka kalo Mbak Ariana juga diem aja dan nyembunyikan soal Vasya dari kita semua. Padahal, kita ini juga khawatir, loh," ucap Tita dengan suara lirih. Dinda menganggukkan kepalanya pelan. "Heum, sepertinya, Mbak Ariana itu memang sengaja. Dia nggak ada niatan mau buat kita kepikiran," komentar Dinda. "Iya, tapi itu tetep aja salah, Dinda," kata Tita sembari menatap kedua mata Dinda tatapan tajam. "Heum, aku penasaran, apa lagi yang Mbak Ariana sembunyikan dari kita semua, Tita?" tanya Dinda dengan wajah penasaran. Kedua orang itu saling melempar pandangan. Tatapannya mengarah ke segala penjuru. Di satu sisi, Ariana tengah bekerja. Ia melakukan pekerjaan itu dengan setulus hati. Tak disangka, hal itu membawa Ariana merasa senang. Karena ia tahu, bila pekerjaan ini adalah salah satu pekerjaan yang tidak terlalu berat.
"Ma, kamu udah buatin makanan apa belum?" tanya Devan. Lelaki itu berjalan ke arah dapur. Tak alam setelahnya, dia melihat kehadiran Ariana yang tengah menyiapkan makanan. "Udah, kamu makan aja, Mas," balas Ariana. Ia hanya bisa menaikkan salah satu alis matanya, menandakan bahwa ia ingin menunjukkan tatapan sinisnya. Devan mengabaikan ucapan Ariana. Namun, dia langsung mengambil makanan dan memakannya untuk dirinya sendiri. Setelahnya, dia langsung beranjak pergi dari rumah itu. "Mas, aku nggak tahu kamu bakalan mikirin ini atau enggak. Tapi, aku harap, kamu bisa cari kerjaan yang bener. Waktuku di sini udah nggak lama, Mas. Dan aku cuman berharap, suatu hari nanti, kalo aku udah nggak sama kamu lagi. Kamu udah siap buat aku tinggal," kata Ariana dengan suara lirih. Devan yang mendengarnya seketika tertawa, dia menjawab wanita itu dengan suara lirih. "Oh iya, bisa nggak, sih? Nggak usah sok baik sama aku," ucap Devan dengan suara lirih."Mas, sekalipun kamu udah jahatin aku sama
"Aku nggak ngerti kalo mereka berdua udah ada di penjara, Ferel?! Bisa kamu antar aku ke sana? Aku mau ketemu sama mereka," ucap Devan dengan wajah cemas. Bagaimana pun, mereka berdua adalah teman seperjuangannya dahulu. "Ayo, aku antar. Tapi, kamu harus janji sama aku, Devan. Jangan sampai kamu terpengaruh sama omongan mereka berdua. Aku nggak suka kalo kamu terlalu deket sama mereka lagi," balas Ferel. Devan menganggukkan kepala pelan. Selang beberapa saat, mereka berdua pergi ke sebuah penjara. Di tengah perjalanan, Devan mengingat beberapa kenangan tentang dirinya dan juga teman-temannya. Dah yah, beberapa kali dia mengingat kenangan pahit yang telah dilakukan oleh teman-temannya. Ketika mereka berdua sampai di penjara. Ferel langsung menggiring Devan untuk pergi ke salah satu sel penjara."Van, ayo ikut aku," ajak Ferel. Lelaki itu menatap ke segala ruangan. Di sana, dia menyadari kehadiran pak polisi yang mencegah mereka berdua. "Mohon maaf, Pak. Anda mau bertemu dengan siap
Setelah Devan bertemu dengan kedua temannya, ia kembali merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya, pula dengan segala hal yang telah dia lakukan. "Ferel, kayaknya, selama ini langkahku udah salah, ya. Terlalu jauh aku melangkah sampai aku sendiri nggak sadar, kalo aku ini brengsek! Cowo brengsek yang nggak pantes buat wanita manapun, sekalipun itu Istriku sendiri," ucap Devan. Lelaki itu menahan air matanya. Ferel yang melihat dirinya, seketika menepuk pundaknya. "Iya, Devan. Syukurlah kalo kamu udah sadar. Tapi, aku harap, kamu nggak berlarut-larut dalam kesalahan kamu. Yang penting, sekarang kamu bisa belajar buat nata diri kamu sendiri. Anak dan Istri kamu itu bener-bener butuh kamu, jangan sia-siakan mereka, atau kamu akan menyesal," ucap Ferel. Devan menganggukkan kepalanya pelan. Ia tidak mengerti tindakan apa yang harus dia lakukan setelah ini. Karena dia tahu, langkah manapun yang dia coba, hanya akan membuatnya tersiksa."Ayo bicarain ini di luar, Van. Aku mau bantu
Di hari itu, Devan bekerja keras untuk mendapatkan uang kerja pertamanya. Ketika sore tiba, Devan segera pulang. "Van, ayo pulang, aku anterin kamu pulang, ya," ucap Ferel sembari tersenyum. Devan merasa malu, ia menggelengkan kepala. "Aku bisa pulang sendiri kok, Rel. Nggak papa. Makasih, ya," balas Devan. "Heum, enggak, ah. Aku pengen tahu rumah kamu di mana soalnya, Van," ucap Ferel. Devan seketika tersentak, ia semakin malu karena sikap Ferel. Alhasil, lelaki itu menganggukkan kepalanya pelan. "Ya udah kalo gitu, iya, boleh, kok. Sekali lagi, makasih banyak, ya," kata Devan. Lelaki itu tersenyum lebar. Tak lama kemudian, keduanya langsung bergegas pulang. Di tengah perjalanan, Devan menoleh ke arah Ferel. "Oh iya, Ferel. Mumpung aku dapet uang banyak, aku mau beliin anak sama Istriku makanan kesukaan mereka. Aku mau bel mie ayam sama nasi goreng dulu, nggak papa, kan?" tanya Devan. "Oh, iya, nggak papa. Siapa yang suka nasi goreng, Van?" Ferel menaikkan salah satu alisnya.