Di hari itu, Devan bekerja keras untuk mendapatkan uang kerja pertamanya. Ketika sore tiba, Devan segera pulang. "Van, ayo pulang, aku anterin kamu pulang, ya," ucap Ferel sembari tersenyum. Devan merasa malu, ia menggelengkan kepala. "Aku bisa pulang sendiri kok, Rel. Nggak papa. Makasih, ya," balas Devan. "Heum, enggak, ah. Aku pengen tahu rumah kamu di mana soalnya, Van," ucap Ferel. Devan seketika tersentak, ia semakin malu karena sikap Ferel. Alhasil, lelaki itu menganggukkan kepalanya pelan. "Ya udah kalo gitu, iya, boleh, kok. Sekali lagi, makasih banyak, ya," kata Devan. Lelaki itu tersenyum lebar. Tak lama kemudian, keduanya langsung bergegas pulang. Di tengah perjalanan, Devan menoleh ke arah Ferel. "Oh iya, Ferel. Mumpung aku dapet uang banyak, aku mau beliin anak sama Istriku makanan kesukaan mereka. Aku mau bel mie ayam sama nasi goreng dulu, nggak papa, kan?" tanya Devan. "Oh, iya, nggak papa. Siapa yang suka nasi goreng, Van?" Ferel menaikkan salah satu alisnya.
"Vasya, tunggu Mama, Nak! Mama belum selesai ngomong sama kamu, loh," ucap Ariana dengan suara lantang. Vasya yang mendengarnya, hanya berdiam diri. Dia segera pergi ke ruangan tengah. Namun, sesampainya di ruangan tengah, dia berpikiran bahwa dia tak ingin bertemu dengan sang ibu. Sehingga, dia segera pergi dari ruangan itu. Dan pada akhirnya, dia memutuskan untuk pergi ke kamarnya sendiri. "Astaghfirullah, Vasya, kenapa sikapnya begitu, Ya Allah?" batin Ariana dengan suara lirih. Ia segera bergegas ke ruangan tengah, duduk, menonton tv sembari menikmati makanannya. Di satu sisi, Devan yang tadinya membuat kopi, segera mengantarkannya untuk Ferel. Di sana, mereka berdua menikmati secangkir kopi sembari berbincang-bincang satu sama lain. Setelah itu, mereka berpisah. Keesokan harinya, Devan tiba-tiba bangun pagi, dia mandi terlebih dahulu dibandingkan dengan yang lain. Vasya yang berada di kamarnya, seketika terbangun. Dia mendengar suara orang di kamar mandi. "Aduh, siapa, sih?
Halo semuanya, karena ini hari lebaran, jadi author libur dulu selama dua hari, ya, yaitu: Sabtu & Minggu. Minal 'Aidzin wal Fa'idzin semuanya🙏☺️. Terima kasih untuk para pembaca yang masih setia untuk membaca novel ini. Saya harap, pembaca bisa mengambil hikmah dari cerita ini. Oh iya, saat ini saya telah membuat cerita pendek yang terinspirasi dari kisah nyata di salah satu platform, yakni short novel. Di platform tersebut, saya membuat cerita dengan judul: "Pernikahan Dua Belas Hari." Menceritakan tentang seorang perempuan yang terkejut setelah menikah, karena ternyata, suaminya adalah penderita OCD dan temperamental. Barangkali ada yang tertarik, bisa membaca dan memberikan vote, terima kasih. Berikut ini, adalah linknya. https://app.shortnovelapp.com/articleView/?invite_code=ix120305&aid=2350&deeplink=/short/2350Sekian dari saya, terima kasih sekali lagi. ☺️🙏
Setelah Vasya pergi, Devan hanya bisa berdiam diri. Ia menahan diri untuk tidak kembali memaki anak dan istrinya lagi. Tak lama kemudian, dia beranjak pergi, mengambil kunci motor, dan pergi ke gudang tempat di mana dia bekerja. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan Ferel. Saat itu, Ferel sedang asyik melihat sekitar. Ia ingin memastikan semuanya beres tanpa ada satu hal terlewatkan. "Eh, Devan. Kamu udah dateng, Van?" tanya Ferel sembari tersenyum lirih. Devan menganggukkan kepala. "Udah, aku masuk dulu, ya. Nggak enak nanti, aku mau langsung persiapan aja, mumpung masih jam segini," balas Devan. Ia melirik jarum jam di angka tujuh. "Tunggu dulu, Devan. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap Ferel. Lelaki itu meraih lengan Devan, berusaha menghentikannya. "Iya, kenapa, Rel?" tanya Devan, ia menaikkan salah satu alisnya. "Tunggu di sini dulu, aku mau membicarakan soal kedua temenmu itu. Kemarin, aku sempet ngobrol langsung sama mereka. Kamu tahu, nggak? Kayanya, dia udah benc
"Jangan sampek kamu tertipu sama kebaikan dia, Ariana! Lelaki kayak Devan itu emang harus dikasih pelajaran! Kalo nggak! Dia bakalan gitu terus! Kamu tahu?! Dia bakalan baik kalo dia udah ditali pocong! Dan saat itu terjadi! Dia nggak ada kesempatan buat tobat!" pekik Adnan dengan suara lantang. Ariana seketika menepuk jidatnya, dia berusaha menenangkan Adnan yang terus-terusan marah di hadapannya. "Adnan, kamu itu kenapa, sih? Kalo kamu mau marah! Ya udah, marah aja di hadapan Devan! Jangan di hadapanku! Bikin takut orang tau, nggak?" tanya Ariana dengan suara lirih. "Maaf, aku nggak bisa ngendaliin emosi, Ariana. Aku nggak bisa kalo terus-terusan disuruh sabar sama orang modelan suami kamu itu!" balas Adnan dengan suara lantang. Ariana menghembuskan nafas panjang. "Iya, aku juga sama, Vasya juga gitu. Nggak kamu aja, hati-hati nyetirnya, jangan sampek nanti oleng. Bahaya tahu, Adnan," ucap Vasya dengan suara lirih. Wanita itu mencoba menjelaskan bahwa dirinya tidak ingin bertengk
"Aku cuman mau kasih tahu kamu sesuatu aja," ucap Devan dengan wajah gelisah. Lelaki itu mencoba untuk tetap tenang. Sekalipun dia tahu, bila hal itu hanya akan menyakiti wanitanya. "Apa, Mas? Jangan bikin aku gelisah dong, Mas," balas Ariana. Ia mencoba menahan emosinya sendiri. Devan lagi-lagi menghembuskan nafas panjangnya. Kali ini, tindakannya sedikit lebih berani. Dia memegang tangan Ariana sembari berkata pelan. "Ariana, kamu masih inget soal Udin sama Jarot, kan? Mereka berdua sekarang udah dipenjara. Tapi, jatah mereka dipenjara cuman dua tahun. Kalo mereka ke luar penjara nanti, Mas harap, kamu bisa kabur dari rumah ini," ucap Devan dengan suara lirih. Ariana seketika menaikkan salah satu alisnya. Dia tak menyangka bila suaminya mengatakan hal yang menegangkan seperti ini. "Mas, ngapain aku harus khawatir? Orang mereka juga lagi dipenjara. Kalo pun mereka ke luar dari penjara, mereka apa nggak malu sama orang-orang di sekitar sini, Mas? Jadi, mereka nggak mungkin macem-m
"Sementara waktu, kita di sini aja ya, Mbak. Takutnya, nanti kalo malah kitanya yang kenapa-napa. Bisa bahaya, Mbak," ucap Risma. Ia berusaha memberikan peringatan kepada Ariana. "Iya, Mbak Risma. Tapi, kalo mereka berdua nemuin kita, gimana?" tanya Ariana dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Risma dengan wajah ketakutan. "Mbak jangan mikir negatif dulu, kita berdua nanti kenapa-napa kalo Mbak mikirnya gitu," balas Risma dengan suara lirih. "I--iya, Mbak," komentar Ariana. Ia menganggukkan kepalanya pelan, sebelum akhirnya, dia kembali berdiam diri. Beberapa saat setelahnya, suasana kembali tenang. Namun, kedua orang itu tidak kunjung pergi. "Gimana ini?! Apa kita berdua kehilangan jejaknya?!" pekik Rey, ia menoleh ke arah Latif dengan tatapan tajam. "Iya kayanya, awas aja tuh perempuan! Habis sama kita nanti! Ayo! Cabut dari sini!" teriak Latif, ia segera mengajak temannya pergi dari pasar itu. Setelah keadaan benar-benar aman, keduanya langsung pergi dari pasar. "Huh, untung
"Astaghfirullah, Mbak Ariana, gimana ini? Gimana kalo mereka berdua beneran masuk ke sini?" tanya Risma dengan suara lirih. Wajahnya gelisah, sesekali, dia menoleh ke segala arah dengan perasaan takut. Ariana menggigit jemarinya sendiri, memikirkan beberapa cara yang bisa dilalukan. "Heum, kita harus pergi dari sini, Risma. Kita bisa pergi lewat belakang," balas Ariana. Wanita itu berjalan ke belakang dengan Risma dengan hati-hati. Sebelum itu, petugas satpam yang ada di lingkungan itu, segera pergi ke rumah dan segera berjalan ke dua preman itu. "Woy! Siapa kalian?!" teriak petugas keamanan itu seraya mengangkat tongkat yang biasa dia bawa. Lantas, dua preman yang ada di depan rumahnya, seketika pergi dari rumah itu. "Sialan! Kenapa ada satpam di sini?" tanya salah satu preman yang ada di sana. Ia melirik ke arah temannya, memberi kode kepadanya untuk pergi dari sana. Pada akhirnya, keduanya pergi meninggalkan rumahnya."Ayo pergi!" pekik preman yang ada di sampingnya. Mereka ber